Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Mengingat Kembali Kontroversi UU Cipta Kerja
27 Januari 2021 21:27 WIB
Tulisan dari Muhammad Rizky Putramadiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Isu mengenai penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja sepertinya sudah tidak lagi sehangat beberapa waktu lalu. Padahal bila kita flashback, sejak Presiden Joko Widodo mencanangkan untuk menerbitkan Omnibus Law pada pidatonya di tahun 2019, gelombang penolakan dari berbagai kalangan masyarakat terhadap RUU ini sangatlah besar. Bahkan gelombang penolakan tersebut terus bertambah hingga setelah Presiden Joko Widodo mengesahkan RUU ini menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Bila kita ingat kembali, kontroversi mengenai Undang-Undang tersebut selain dianggap berpotensi menyengsarakan rakyat, juga cacat secara secara prosedural dimana dalam proses penyusunannya beredar banyak versi halaman dari draft UU Cipta Kerja ini. Mulai dari versi naskah 1028 halaman, 905 halaman, 1035 halaman, hingga yang terakhir adalah 812 halaman (dikutp dari cnbcindonesia.com). Bahkan sumber lain ada yang mengatakan bahwa ada versi naskah 1052 halaman (akun instagram fraksirakyat.id). Tentu kecacatan ini seharusnya tidak bisa ditolerir karena statusnya adalah undang-undang yang tentunya bersifat mengatur orang banyak, sehingga apabila terdapat kesalahan penulisan maka akan berakibat pada terjadinya multitafsir dan berpotensi pada adanya kriminalisasi yang dilakukan oleh negara.
Tujuan pemerintah menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja ini adalah jelas untuk mempermudah perizinan dalam berinvestasi di Indonesia seperti penerbitan UU Minerba dan juga Omnibus Law. Akan tetapi pemerintah seakan-akan “menghalalkan” segala cara dalam hal kemudahan berinvestasi. Salah satu contohnya dapat kita lihat dalam UU Cipta Kerja Pasal 124 yang merevisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sebelumnya, Pada UU Nomor 41 Tahun 2009 pasal 44 ayat 2 disebutkan bahwa:
ADVERTISEMENT
Ketentuan dalam pasal tersebut dirubah dalam UU Cipta Kerja dengan menambahkan kalimat “dan/atau Proyek Strategis Nasional”. Sehinggu bunyi pasal 44 ayat 2 UU Nomor 41 Tahun 2009 menjadi berbunyi:
Bila kita lihat redaksional kata yang ditambahkan dalam pasal tersebut maka secara tidak langsung lahan pertanian pun akan semakin terancam dengan alasan kepentingan proyek strategis nasional. Apabila sebelumnya seringkali terjadi konflik sengketa lahan antara para petani dengan para pemilik modal yang membuat petani pun kehilangan mata pencahariannya, maka dengan adanya UU Cipta Kerja ini potensi konflik pun semakin besar antara petani dengan para pemilik modal dan bahkan mungkin dengan negara sekalipun yang notabennya adalah sebagai pemilik dari proyek strategis nasional.
Kemudian sektor lain yang terancam akibat dari disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja adalah keasrian lingkungan. Kita bisa lihat pada pasal 123 UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah. Pada ayat 5 terdapat 3 pasal tambahan di antara pasal 19 dan 20 UU Pengadaan Tanah. Di antara 3 pasal tambahan itu, salah satu pasal yang menarik perhatian adalah pada pasal 19 C yang menyebutkan bahwa :
ADVERTISEMENT
Tentu sangat kontroversial lagi apabila proses pengadaan tanah tidak lagi memerlukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), karena pada Pasal 22 Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki modal. Bila kita tafsirkan, maka proses pengadaan tanah dalam UU Pengadaan Tanah tidak lagi menjadi sebuah kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan.
ADVERTISEMENT
Apabila benar demikian, maka jelas UU Cipta Kerja tidak hanya merugikan buruh maupun petani, tetapi dampak dengan dibukanya lapangan kerja akan merusak lingkungan yang ada. Bukan hanya itu, hutan-hutan yang kita miliki pun terancam punah dengan keserakahan para elit penguasa. Padahal arti penting hutan bagi kita adalah oksigen yang dihasilkan dari pepohonan bisa menghidupi kita untuk tahun-tahun yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Tak hanya sampai di situ, UU Cipta Kerja juga berpotensi memperkuat kembali kekuasaan pemerintah pusat secara tidak langsung dalam hal pengambilan keputusan. Masih tentang AMDAL, dimana kali ini pemerintah pusat memiliki wewenang dalam hal uji kelayakan lingkungan hidup. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 22 UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada pasal 24 UU Nomor 32 Tahun 2009 terutama, ketentuannya diubah dalam UU Cipta Kerja ini menjadi :
ADVERTISEMENT