Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Tragedi Kanjuruhan: Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
4 Oktober 2022 17:53 WIB
Tulisan dari Muhammad Rizky Putramadiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Mengerikan. Itu mungkin sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan sebuah tragedi pilu di Stadion Kanjuruhan, Malang pada Sabtu (1/10) malam. Menurut data terakhir yang diumumkan Kapolri, sebanyak 125 suporter tewas akibat kejadian tersebut dan 33 di antaranya adalah anak-anak. Angka ini menjadi yang terbanyak ketiga dalam daftar tragedi sepak bola dengan jumlah korban jiwa terbanyak sepanjang sejarah sepak bola dunia.
ADVERTISEMENT
Tragedi itu terjadi pasca pertandingan Derby Jawa Timur yang mempertemukan antara tuan rumah Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Perlu diingat bahwa pada pertandingan tersebut tidak ada satu pun suporter tim tamu yang hadir di stadion. Sehingga dapat dipastikan kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan disebabkan bukan karena pertikaian antar suporter melainkan kepanikan yang terjadi akibat tembakan gas air mata yang diarahkan ke tribune penonton.
Keadaan ini diperparah dengan kondisi pintu keluar yang tertutup. Kepanikan ini dapat dilihat pada unggahan video milik akun Twitter @Iwak07161257 yang menggambarkan suasana di salah satu pintu keluar stadion yang tertutup. Sampai tulisan ini dibuat, masih belum jelas penyebab mengapa pintu tersebut dalam kondisi tertutup.
Menurut pengakuan dari salah satu korban yang selamat pada live Twitter Space yang dilakukan oleh Pandit Football, tidak ada imbauan untuk meninggalkan stadion. Para suporter terkunci di dalam dengan kondisi lampu diredupkan dan ditambah dengan adanya gas air mata membuat mereka kesulitan melihat.
ADVERTISEMENT
Saling Melempar Tanggung Jawab
Pasca kekacauan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, tidak ada satu pun pihak yang mengaku salah dan meminta maaf atas tragedi memilukan ini. Para pihak terkait yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian ini justru saling melempar tanggung jawab.
Dimulai dari Manajer Arema FC Ali Rifki yang menyatakan bahwa pihaknya sudah mengirimkan surat kepada PT. LIB untuk memajukan jam kick off menjadi sore hari, sesuai rekomendasi dari Kapolres Malang. (Dikutip dari Republika.co.id)
Pernyataan ini diperkuat oleh temuan Detik.com mengenai surat dari Polres Malang kepada Panpel Arema FC per tanggal 13 September 2022 yang berisi usulan untuk memajukan jam kick off, yang semula pukul 20.00 WIB menjadi pukul 15.30 WIB. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa alasan dimajukannya waktu kick off adalah murni karena alasan keamanan.
ADVERTISEMENT
Alih-alih mengabulkan permintaan panpel dan pihak keamanan, PT. LIB justru menolak permintaan tersebut. Melalui surat yang diteken Dirut Akhmad Hadian Lukita per tanggal 19 September 2022, PT. LIB meminta agar Panpel Arema FC berkoordinasi secara optimal kepada pihak keamanan untuk tetap melaksanakan pertandingan Arema FC melawan Persebaya sesuai jadwal yang telah ditentukan. Pihak Arema FC mau tidak mau patuh terhadap keputusan PT. LIB tersebut, yang justru berujung petaka pada malam setelah pertandingan tersebut.
Sekjen PSSI, Yunus Nusi memberikan penjelasan terkait hal tersebut. Menurutnya, hasil dari kesepahaman bersama dari Panpel dan PT. LIB itu mempertimbangkan soal tim pendukung lawan, yakni Persebaya. Dia menyebut pertandingan dapat dilaksanakan sesuai jadwal jika pendukung Persebaya tidak datang ke Stadion Kanjuruhan. (Dikutip dari Detik.com)
ADVERTISEMENT
Pada pertandingan itu, memang tidak ada pendukung Persebaya satu pun yang hadir di Stadion Kanjuruhan. Namun bukan berarti pertandingan akan berjalan aman-aman saja meski tanpa dihadiri pendukung dari tim rival. Sebuah pemikiran yang keliru apabila antisipasi keamanan hanya dipertimbangkan dari aspek ketidakhadiran suporter tim tamu.
Panpel Arema FC dalam tragedi ini juga tidak bisa dikatakan berada di posisi yang tidak bersalah. Berdasarkan pernyataan Menkopolhukam, Mahfud MD, tiket yang terjual pada pertandingan Arema FC melawan Persebaya sebanyak 42 ribu. Sedangkan kapasitas Stadion Kanjuruhan hanya mampu menampung 38 ribu penonton. Tentu ini juga menjadi salah satu titik permasalahan yang berakibat fatal dan harus dipertanggungjawabkan oleh Panpel Arema FC.
Lalu kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab?
Suporter yang melakukan pitch invasion secara aturan memang tidak dibenarkan. Namun jika itu dikategorikan sebagai tindak anarkisme yang dilakukan oleh oknum suporter, sepertinya tidak bisa dikatakan demikian. Mengapa? Karena tidak ada indikasi suporter ingin melakukan tindak kekerasan kepada para pemain maupun official. Para pemain Persebaya yang notabene merupakan tim rival juga sudah berada ruang ganti dan langsung menuju rantis (kendaraan taktis). Sementara para pemain Arema FC yang masih di lapangan juga tidak mendapatkan tindak kekerasan dari oknum suporter. Sehingga tidak bisa dibenarkan bahwa tragedi ini terjadi karena ulah suporter.
ADVERTISEMENT
Aparat keamanan yang bertugas mengamankan pemain dari kejaran suporter juga tidak bisa dibenarkan atas tindakannya dengan cara memukul dan menendang suporter serta menembakkan gas air mata ke arah tribune penonton. Selain hal tersebut merupakan bentuk kebrutalan aparat, juga apa yang diharapkan dari penembakkan gas air mata ke tribune penonton? Berharap penonton bubar? Ini kan bukan aksi massa yang berada di tempat terbuka. Dengan ditembakkan gas air mata ke tribune justru malah memperparah keadaan karena para suporter yang berhamburan dan berebut menuju pintu keluar stadion sehingga menyebabkan banyak dari mereka terjepit, terinjak-injak dan kehabisan oksigen.
Padahal menurut Pasal 19 FIFA Stadium Safety and Security Regulations, aparat keamanan tidak diperbolehkan menggunakan senjata api ataupun crowd control gas untuk mengamankan pemain dan official dari kejaran suporter. Nah pertanyaannya, apakah pihak keamanan sudah disosialisasikan terkait hal ini oleh PT. LIB atau PSSI? Jika sudah, mengapa tetap dilakukan? Jika belum, mengapa belum disosialisasikan?
ADVERTISEMENT
Keputusan PT. LIB dan PSSI yang menolak usulan panpel dan pihak keamanan untuk memajukan jam kick off adalah sebuah kelalaian yang juga harus dipertanggungjawabkan. Pengabaian PT. LIB dan PSSI terhadap potensi kerusuhan dengan hanya mendasarkan pada ketidakhadiran suporter Persebaya merupakan hal yang seharusnya juga diusut. Akan tetapi ketika diketahui bahwa tim investigasi dipimpin langsung oleh Ketua Umum PSSI, saya rasa poin ini akan sulit untuk diusut tuntas.
Mencetak tiket melebihi kapasitas stadion dan tidak memperhatikan pintu keluar stadion yang pada saat chaos dalam kondisi tertutup, menjadikan Panpel Arema FC sebagai pihak yang juga patut disalahkan atas Tragedi Kanjuruhan dan dapat diancam dengan hukuman pidana. Hal ini tertuang dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Sistem Keolahragaan yang menyebutkan bahwa:
ADVERTISEMENT
Memberhentikan kompetisi selama sepekan tanpa adanya evaluasi secara menyeluruh saya rasa hanya akan menjadi sebuah "omong kosong" belaka. Memberikan sangsi kepada klub atas kejadian tersebut juga dirasa tidak adil ketika para petinggi di PT. LIB dan PSSI tidak ada yang dinyatakan bersalah. Minimal ada sangsi tegas juga yang diberikan kepada pihak keamanan, PT. LIB dan PSSI. Atau akan lebih baik lagi bila pejabat di PT. LIB dan PSSI secara sadar ada yang mengundurkan diri.