Terjebak Stereotip: Pandangan Keliru terhadap Suku Minang

Konten dari Pengguna
24 Oktober 2018 12:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Hijriah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Terjebak Stereotip: Pandangan Keliru terhadap Suku Minang
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Oh, Orang Padang! Pantas saja pelit.” Salah satu ungkapan yang sering dilontarkan ketika bertemu dengan orang dari suku Minangkabau. Sebutan seperti ini sudah bukan hal yang asing di Indonesia, stereotip mengenai suku bangsa bahkan sering dijadikan candaan oleh sebagian orang. Berdasarkan jajak pendapat secara acak yang dilakukan melalui media sosial, Instagram, hampir 70 persen dari 126 responden mengaku memanggil temannya yang berasal dari Sumatera Barat dengan sebutan Orang Padang.
Penyebutan orang Padang pada suku Minang ini dilatarbelakangi oleh adanya keterbatasan pengetahuan geografis. Sebagaimana ungkapan Nurul Wafi, mahasiswi Unpad asal Bukittinggi, Sumatera Barat. “Orang Padang itu otomatis orang Minang, tetapi orang Minang itu belum tentu dia orang Padang," ujar Wafi saat diwawancarai selepas perkuliahan pada Kamis (04/10) di Gedung 2 Fikom Unpad.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang menjadi kekhasan suku Minangkabau adalah tradisi merantau dan makanan khas daerahnya. Seperti rendang, masakan berbahan baku daging sapi ini menduduki posisi 11 dari 50 makanan terlezat di dunia menurut survei CNN. Adapun tradisi merantau suku Minang, membentuk sebuah proses pertukaran pikiran dan makna dengan latar belakang budaya berbeda.
Proses itu disebut komunikasi antarbudaya, yang di dalamnya terdapat hambatan berkomunikasi karena adanya interaksi antarbudaya. Seperti stereotip dan prasangka, yaitu anggapan tertentu mengenai suatu sifat dan watak pribadi atau golongan yang bercorak negatif. Contohnya sifat pelit diasosiasikan pada orang Padang, tetapi dampaknya suku Minang yang bukan berasal dari Padang pun ikut terkena getahnya.
Bagaimana tidak, dengan adanya stereotip dan prasangka ini menghasilkan komunikasi yang tidak efektif. Hal ini menjadi pagar pembatas interaksi sosial antarbudaya bagi orang yang percaya akan stereotip tersebut, hingga memicu terjadinya konflik karena tidak terima dengan stereotip yang disematkan.
ADVERTISEMENT
Melihat permasalahan tersebut, menggugah penulis untuk mengulas dan mencari penuntasannya. Dimulai dengan mewawancarai beberapa narasumber terkait. Seperti suku Minang yang sedang merantau, meliputi mahasiswa dan pedagang, mahasiswa suku lain, hingga pakar ilmu komunikasi.
Saat melaksanakan reportase pada Jum’at (5/10), kami mengunjungi rumah masakan Padang Bofet Elok di daerah Ciseke Besar, Jatinangor. Karena letaknya yang tak jauh dari kampus Unpad, selepas Jum’atan tempat ini ramai dikunjungi oleh mahasiswa untuk makan siang. Kami temui banyak mahasiswa rantau asal Sumatera Barat yang berkumpul di sini.
Di tengah keramaian suasana makan siang, kami mewawancarai salah satu mahasiswa Unpad bersuku Minang asal Payakumbuh, Sumatera Barat bernama Dzikri. Kami bertanya tentang sifat pelit yang dijadikan stereotip pada suku Minang. Menurutnya mengapa suku Minang itu kerap kali disebut pelit. Karena keadaannya yang sedang merantau sehingga perlu hemat untuk mengatur keuangan.
Terjebak Stereotip: Pandangan Keliru terhadap Suku Minang (1)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
“Saya sendiri sih kalo dibilang pelit, pandangannya lebih ke orang Minang seorang perantau gitu. Yang di mana jauh dari orang tua, ngurus keuangan harus lebih baik," jelas Dzikri. Ia pun menambahkan bahwa orang Minang itu bukan pelit namun hemat. “Termasuk enggak setuju sih, tapi lebih ke hemat lah," ujarnya saat diwawancarai di depan teras RM. Masakan Padang Bofet Elok Ciseke Besar, Jatinangor.
Uni Ides, sebagai salah satu pedagang bersuku Minangkabau yang merantau di Jatinangor menambahkan. Bahwa memang ada orang Padang yang pelit, tapi itu tergantung masing-masing orangnya, tidak semua orang Padang pelit, tegasnya saat diwawancarai pada Jum’at (5/10).
Berbeda dengan Shevira Salsabila, mahasiswi Unpad asal Bandung yang percaya bahwa orang Padang itu pelit. Ia berprasangka dan merasa agak canggung berteman dekat dengan orang Minang, terutama jika bersinggungan dengan masalah keuangan. “Kalau berteman ya biasa aja, tapi kalau lebih dekat agak-agak, apalagi hal yang berbau kaya uang, sensitif”, ujar Shevira saat diwawancara.
ADVERTISEMENT
Sementara menurut Guru Besar Ilmu Komunikasi, Fikom Unpad, Prof. Deddy Mulyana saat dihubungi pada Sabtu pagi (6/10) menyampaikan bahwa stereotip tidaklah selalu berdasarkan kenyataan. Ketika kita menemui sebuah stereotip maka lihat dulu konteksnya, mengapa dan siapa yang menyatakan stereorip tersebut.
Bisa saja mereka sedang hidup hemat, karena banyak suku Minang merupakan perantau dan pedagang. Sehingga hal itu membuat mereka dianggap pelit. Jika memang ada orang Minang pelit, maka kita tidak bisa menggeneralisasi. Kita harus melihatnya sebagai individu yang berbeda dengan yang lain.
Sebagai hambatan komunikasi, stereotip dapat mengganggu pergaulan masyarakat dan menumbuhkan nubuat yang digenapi sendiri. Bisa jadi yang kita sebut pelit merasa tersinggung dan benar-benar menjadi pelit. Stereotip sendiri timbul dari kurang terbukanya memahami orang lain dan terlalu menyederhanakan sesuatu. Solusinya ialah perlu menumbuhkan empati, menempatkan diri kita pada posisi orang lain, sehingga kita dapat lebih terbuka dan memahami orang lain, maka stereotip akan jelas terlihat kebenaran atau ketidakbenarannya. Pungkas Deddy saat dihubungi melalui sambungan telepon.
ADVERTISEMENT
Stereotip tanpa sadar telah mengaburkan pandangan kita terhadap seseorang atau suatu suku. Adapun prasangka selalu membawa konotasi yang negatif. Padahal orang suku Minang memiliki lebih banyak hal positif untuk dijadikan sebagai tanda pengenal. Misal anggapan suku Minang pandai berbisnis di perantauan, yang mana anggapan ini disetujui oleh 89% dari 55 responden yang diambil datanya melalui voting di media sosial Instagram.
Dengan adanya pembanding positif, masyarakat dapat memandang dari sudut pandang yang baik. Agar tidak terjadi lagi kerenggangan dan ketidakharmonisan dalam interaksi sosial antara budaya. Selain dari itu keluaran yang diharapkan agar sifat toleran antarsuku tertanam juga tidak menggeneralisasi suatu kelompok.