Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hak Asuh Anak Terhadap Anak Adopsi Menurut Hukum Islam di Indonesia
12 Mei 2024 13:37 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Faishal Rizqullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri guna membentuk keluarga yang kekal dan harmonis berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Hal ini telah disebutkan pada Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Keluarga merupakan unit terkecil dalam sebuah sistem masyarakat, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak.
ADVERTISEMENT
Guna menciptakan keluarga yang harmonis, hendaknya sebagai pasangan suami istri harus saling mencintai dan menerima segala kekurangan, serta melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sebagai pasangan suami istri. Maka dalam hal ini pasangan suami istri diharapkan dapat mempertahankan rumah tangganya, kecuali bercerai karena kematian. Sebab islam pasti akan mempersulit terjadinya perceraian tersebut.
Hak asuh anak (hadhanah) merupakan suatu permasalahan yang seringkali menjadi perdebatan saat terjadi perceraian. Dimana kedua orang tua menginginkan asuh tersebut, maka pengadilan lah yang menjadi jalan terakhir guna untuk memutuskan siapa yang berhak mengasuh anak tersebut. Akibatnya, muncul dalam benak masyarakat pertanyaan terkait, bagaimana ketentuan hak asuh anak (hadhanah) jika anak tersebut merupakan anak hasil adopsi dalam hukum islam di Indonesia?.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, ketentuan mengenai hak asuh anak (hadhanah) diatur dalam kompilasi hukum islam pasal 105, menyatakan bahwa:
1. Pengasuhan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
2. Pengasuhan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibu sebagai pemegang hak pengasuhannya.
3. Segala pengasuhan ditanggung oleh ayahnya.
Hal tersebut dijelaskan juga dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41, yang menyatakan apabila putusnya pernikahan akibat perceraian, maka:
1. Baik ayah atau ibu tetap berkewajiban mengasuh dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak, maka pengadilan yang memberi keputusan.
ADVERTISEMENT
2. Ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pengasuhan dan pendidikan yang diperlukan anak, jika ayah dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban kepada mantan istri.
Kemudian, dipertegas juga dalam pasal 45 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi:
1. Kedua orang tua wajib mengasuh dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud pada pasal (1) ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini terus berlaku meskipun pernikahan kedua orang tua putus/cerai.
Dapat disimpulkan bahwa, hak asuh anak (hadhanah) terhadap anak hasil adopsi itu ada dua, yakni:
ADVERTISEMENT
1. Jika anak hasil adopsi tersebut belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun, maka hak asuh anak berada di bawah asuhan ibu, karena di usia anak yang belum mumayyiz lebih butuh kasih sayang dari seorang ibu.
2. Jika anak hasil adopsi tersebut sudah mumayyiz atau sudah berusia 12 tahun, maka hak asuh anak diserahkan kepada anak itu sendiri untuk memilih antara ayah atau ibu, karena si anak sudah mengetahui siapa yang bisa/dapat memenuhi kebutuhannya.
Jadi, hak asuh anak (hadhanah) terhadap anak adopsi menurut hukum islam di Indonesia disamakan dengan hak asuh anak (hadhanah) pada umumnya, karena di Indonesia pun belum ada dasar hukum yang jelas mengenai pengasuhan anak adopsi ini.
ADVERTISEMENT