Konten dari Pengguna

Telaah Problematika Patriarki dalam Relasi Suami Istri

Muhammad Rofiqi
Mahasiswa Prodi Sosiologi Agama Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta asal Sumenep Madura
17 Januari 2021 5:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rofiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu ” (QS: An-Nisa’: 1).
ADVERTISEMENT
Firman Allah di atas menggambarkan bagaimana seharusnya hubungan antara suami dan istri dalam sebuah keluarga. Allah menyeru kepada manusia agar hubungan suami istri terjalin dengan saling melengkapi, artinya antara suami dan istri merupakan patner hidup, bukan saling mendominasi atau otoriter dalam rumah tangga. Keduanya haruslah saling mendorong dan memotivasi untuk berbuat kebaikan.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan serang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Namun, realalitasnya terkadang jauh panggang dari api. Betapa banyak dalam hubungan suami istri terjadi praktik patriarki, dimana seorangg istri tidak diperlakukan egaliter oleh suaminya. Istri hanya mengurusi persoalan domestik; kasur, sumur, dan dapur semata. Dalam pengasuhan anak pun seringkali dibebankan kepada seorang istri, suami menjelma sosok otoriter dalam rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Memang, persoalan mencari nafkah merupakan kewajiban bagi seorang suami, agama pun mengajarkan demikian. Tetapi bukan berarti menjadi pembenaran jika seorang suami tidak mau melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya karena telah berkewajiban mencari nafkah.
Praktek patriaki dalam rumah tangga tidak jarang melahirkan tindakan eksploitatif dan diskriminatif terhadap seorang istri. Lalu bagaimana kita melihat praktek patriarki dalam relasi suami-istri?
Praktek patriarki hingga sampai saat ini masih tetap terjadi di tengah kehidupan masyarakat, baik dalam ranah poitik, pendidikan, ekonomi, bahkan dalam ranah rumah tangga sekalipun. Sehingga tidak jarang patriarki mengekang kebebasan perempuan. Dimana perempuan terstigmakan sebagai manusia kelas dua setelah laki-laki.
Alfian Rokhmansyah (2013) dalam bukunya Pengantar Gender dan Feminisme, mengatakan bahwa patriarki berasal dari kata patriarkat, bermakna struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dan segala-galannya.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga senada dengan pernyataan Bressler, bahwa patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan (Charles E, Bressler, 2007).
Selain itu, Bressler menjelaskan lebih mendalam bahwa patriarki merupakan sebuah konsep yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, utamanya antropologi dan studi referensi feminitas.
Patriarki juga bermakna distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki dipandang mempunyai keunggulan dalam satu aspek atau bahkan lebih dibandingkan seorang perempuan. Seperti, hak anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik atau agama dari berbagai pekerjaan laki-laki dan perempuan ditentukan oleh pembagian kerja secara seksual (Charless E, Bressler, 2007).
ADVERTISEMENT
Praktek patriarki sebenarnya juga dibahas oleh Karl Marx dalam teorinya tentang kekuasaan. Kekuasaan menurut Marx adalah dominasi yang dipahami sebagai model eksploitasi kelas; dominasi dipahami sebagai proses apropriasi kapitalisme atas nilai surplus yang diproduksi oleh buruh. Pemikiran Karl Marx ini telah banyak dikritisi oleh pejuang feminisme. Marx dalam teori kekuasaan sangat buta gender, karena Marx mengingkari status perempuan yang lebih banyak dirugikan dalam matra gender.
Karl Marx tidak mengindahkan bagaimana eksploitasi kelas dan subordinasi gender sebagai hal yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan, Marx hanya berorientasi pada eksploitasi kelas dan produksi semata. Marx mengatakan bahwa kerja-kerja domestik tidak dihargai oleh kapitalisme. Hal ini sangat jelas bahwa teori kekuasan marx benar-benar membuat perempuan tertindas, perempuan teralienasi dari pekerjaan strategis.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan kapitalisme dan patriarki dapat dilihat dari dua persoalan: Pertama, bagaimana hubungan garis dominasi antar gender dikonstruksi dan dipelihara. Kedua, bagaimana pemahaman atas dominasi sosial terdistosi oleh dominasi laki-laki atas perempuan.
Penyebab Patriarki dalam Relasi Suami Istri
Setelah memahami apa yang dimaksud dengan patriarki, pembahasan ini akan beralih pada persoalan penyebab patriarki dalam relasi suami istri. Setelah melakukan pembacaan terhadap beberapa sumber, ditemukan beberapa sebab utama penyebab praktek patriarki dalam relasi suami istri.
Pertama, peran orang tua atau keluarga. Kebanyakan para orang tua masih menstigmakan bahwa anak laki-laki haruslah tangguh, macho, menjadi jagoan dan tahan banting. Di satu sisi ajaran seperti ini membuat seorang laki-laki menjadi lebih siap menantang masa depan. Namun, di sisi berbeda membuat seorang laki-laki merasa lebih kuat dari perempuan, hingga mempunyai hasrat otoritas terhadap perempuan baik secara fisik maupun psikis. Hasrat otoritas terhadap perempuan terpatri dan dibawa pada saat berumah tangga. Rumah tangga yang dia bangun tentu saja dibangun atas keyakinan dirinya bahwa suami haruslah mendominasi seorang istri.
ADVERTISEMENT
Kedua, konstruksi masyarakat terhadap sosok laki-laki dan perempuan. Masyarakat pada umumnya berpandangan bahwa laki-laki haruslah menanggung kehidupan perempuan. “Masa gaji suami lebih rendah daripada istri, malu lah!” ungkapan seperti ini seringkali kita dengar. Suami tidak boleh berpenghasilan lebih rendah dari seorang istri, sebab suami dituntut untuk menangung beban hidup istrinya. Perempuan tidak boleh lebih tinggi dari laki-laki yang berkewajiban menanggung hidupnya.
Laki-laki diberi tanggung jawab secara fisik, psikis bahkan materi untuk memikul beban kehidupan seorang perempuan. Sehingga, biasanya akan memunculkan perasaan atau pola pikir bahwa laki-laki berhak mengatur perempuan dalam berbagai aspek. Karena laki-laki merasa ditekan oleh konstruksi masyarakat, jadi seakan dirinya yang berkewajiban mengarahkan perempuan. Padahal, seharusnya antara laki-laki dan perempuan haruslah saling bekerja sama dan membagi tugas secara adil agar tidak pihak yang dirugikan dan merasa menanggung beban sendirian.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pemahaman keagamaan. Tidak sedikit orang-oang melakukan praktek patriarki dengan menggunakan ajaran agama sebagai pembenaran. Doktrin agama tentang laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan hingga saat ini masih berakar dalam pemahaman masyarakat. Sebenarnya, banyak sekali interpretasi mengenai ayat laki-lagi sebagai pemimpin perempuan. Maka tidak pas jika ayat tersebut dijadikan legitimasi atau justifikasi praktek patriarki.
Menurut Riffat Hassan, ayat itu tidak pas jika dimaknai pemimpin, harusnya dimaknai sebagai penopang atau pelindung bagi perempuan. Ayat tersebut sebenarnya berbicara mengenai pembagian kerja dalam struktur keluarga dan masyarakat, yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan peran. Pada struktur keluarga, laki-laki mendapat peran sebagai pencari nafkah karena tidak memiliki peran melahirkan.
Tetapi realitanya banyak umat beragama hanya berpandangan bahwa laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan. Dan sebagai pemimpin berhak menentukan serta memperlakukan bawahannya sesuai yang diinginkan. Pandangan tadi termanifestasikan dalam relasi suami istri, lalu melahirkan pembenaran atas patriarki.
ADVERTISEMENT
Dampak Patriarki
Berbicara mengenai dampak patriarki pada relasi suami istri sangatlah jelas, yakni perampasan kebebasan seorang perempuan. Jika pada awalnya seorang perempuan sebelum menikah mendapatkan kedaulatan untuk mengambil setiap keputusan dalam hidupnya, pernikahan dengan praktek patriarki membuatnya terbelenggu. Artinya, apa-apa yang akan dilakukan ditentukan oleh suami.
Selain itu, patriarki memunculkan beban ganda bagi seorang istri, maksudnya beban yang ditanggung seorang istri berlebihan. Banyak peneliti mengemukakan bahwa 90% perempuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendirian. Apalagi perempuan yang masih bekerja untuk menambah mencukupi kebutuhan keluarga, tidak bisa dibayangkan beratnya beban menjadi seorang istri dengan praktek patriarki seperti itu.
Kemudian, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi salah satu imbas dari patriarki. Suami yang memiliki kekuatan dan kekuasaan penuh cenderung untuk melakukan KDRT. Istri akan selalu disalahkan ketika terjadi problem dalam sebuah rumah tangga, utamanya problem domestik termasuk pengasuhan anak. Komnas perempuan menggatakan bahwa akar dari tindak KDRT adalah relasi kuasa yang timpang antara suami dan istri, istri diposisikan pada subordinat di bawah suami.
ADVERTISEMENT
Dampak berikutnya yang sering terjadi adalah kekerasan psikis. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 7 menyatakan bahwa kekerasan psikis yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak percaya dan atau penderitaan berat pada seseorang. Ketika setiap pergerakan seorang istri dikekang oleh suami, atau memposisikan istrinya sebagai penjaga rumah tanpa adanya pembebasan sedikitpun, sudah pasti potensi yang ada dalam dirinya tidak akan tumbuh berkembang.
Patriarki dalam relasi suami istri benar-benar merugikan perempuan. Parahnya, beberapa masyarakat masih menganggap praktek seperti ini wajar dilakukan. Perempuan dicitrakan sebagai sosok lemah, tersubordinasi oleh laki-laki dan harus mengerjakan pekerjaan domestik saja.
Upaya Penghapusan Patriarki Dalam Relasi Suami Istri
ADVERTISEMENT
Patriarki dengan segala dampaknya mendekatkan pada keretakan bangunan keluarga. Upaya penghapusan praktek patriarki haruslah dilakukan agar tercipta bangunan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
Talcot Parsons, seorang sosiolog kontemporer berkebangsaaan Amerika mengenalkan teori fungsionalisme struktural. Parsons mengandaikan kehidupan masyarakat layaknya anatomi tubuh mahluk hidup, dimana setiap organ memiliki fungsi berbeda-beda tetapi saling membutuhkan untuk mencapai keseimbangan. Teori fungsionalisme struktural menitik beratkan pada keteraturan serta mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Fungsionalisme structural mengasumsikan setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Jika tidak fungsional maka tidak akan tercipta keteraturan. Antara satu organ-organ dengan organ lainnya saling mendukung, menciptakan ketentraman juga keharmonisan.
Apa yang dijabarkan oleh Talcot Parsons dapat diadopsi sebagai upaya penghapusan patriarki dalam relasi suami istri. Suami dan istri haruslah berbagi peran, tidak ada yang mendominasi dan menanggung beban lebih banyak. Pembagian peran amat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan keluarga. Antara suami dan istri bersepakat dalam membagi peran dan tugas sehari-sehari, urusan domestik tidak hanya bertumpu pada perempuan.
ADVERTISEMENT
Pembagian peran seperti ini senada dengan bunyi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 31 tentang perkawinan, yaitu kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Pembagian peran akan mengantarkan pada keseimbangan, istri bisa melakukan hal-hal lain bahkan mengembangkan potensi dirinya, tidak ada dominasi dan pengebirian kebebasan.