Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Pacaran Dulu atau Langsung Menikah : Dilema Gen Z 21+
5 Maret 2025 10:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Roichan Choiron tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang terinstitusi dalam satu lembaga yang kokoh, dan diakui baik secara agama maupun secara hukum.
ADVERTISEMENT
Al Qur’an, secara normatif banyak menganjurkan manusia untuk hidup berpasang - pasangan yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan tentram. Berkaitan dengan status perkawinan, Al Qur’an juga menyebut dalam surat An-Nisa (4): 21, bahwa perkawinan sebagai mitsaqan galidhan, yakni sebuah ikatan yang kokoh. Ikatan tersebut mulai diakui setelah terucapnya sebuah perjanjian yang tertuang dalam bentuk ijab dan qabul. Salah satu kerangka awal untuk mendapatkan jaminan hukum dalam sebuah perkawinan adalah dengan mencatatkannya kepada instansi yang berwenang.
Hal ini tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam saja, melainkan juga bagi mereka yang beragama Kristen, Katholik, Hindu maupun Budha. Sebagaimana tertuang dalam UU no. 22 tahun 1946 dan UU No 32 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk ( penjelasan pasal 1) juga dalam UU No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 2, yang diperkuat dengan Inpres RI no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 5 dan 6.
ADVERTISEMENT
Dalam hukum Islam, hukum perkawinan merupakan salah satu aspek yang paling banyak diterapkan oleh kaum muslimin di seluruh dunia dibanding dengan hukum-hukum muamalah yang lain (Anderson,1994 : 46). Perkawinan adalah mitsaqan ghalidan, atau ikatan yang kokoh, yang dianggap sah bila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Berdasarkan Alquran dan hadis, para ulama menyimpulkan bahwa hal-hal yang termasuk rukun pernikahan adalah calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul. Kewajiban akan adanya saksi ini adalah pendapat Syafi’i, Hanafi dan Hambali ( Yunus, 1996 : 18).
Adapun syarat-sahnya nikah, menurut Wahbah Zuhaili adalah antara suami istri tidak ada hubungan nasab, sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu, adanya persaksian, tidak ada paksaan, ada kejelasan calon suami isteri, tidak sedang ihram, ada mahar, tidak ada kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah salah satu calon mempelai tidak sedang menderita penyakit kronis, adanya wali (Zuhaili, 1989 : 62).
ADVERTISEMENT
Terdapat pula pernikahan atau nikah siri, yang dimana adalah bentuk pernikahan yang dilakukan di bawah tangan berdasarkan ajaran agama atau adat istiadat dan tanpa pengakuan resmi dari hukum negara karena memang tidak tercatan di lembaga miliki negara. Sebelum benar -benar melakukan nikah siri, penting untuk memahami nikah siri lebih lanjut. Kata siri sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu sirri atau sir yang berarti rahasia. Nikah siri dikatakan sah - sah saja secara norma agama, tetapi beda halnya bagi norma hukum.
Pernikahan siri masih sering terjadi karena kurangnya sosialisasi mengenai pernikahan ataupun seks bebas pada anak muda yang membuat sebagian orang mencari jalan lain melalui nikah siri. Padahal, dampaknya tidak hanya akan dialami oleh pasangan yang menikah siri, tetapi juga pada anak yang dilahirkan nanti. Pernikahan siri atau nikah siri artinya adalah nikah rahasia. Kata “siri” berasal dari Bahasa Arab yang berarti rahasia, sembunyi - sembunyi, serta diam-diam. Perkawinan siri dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa hadirnya orang tua/ wali si perempuan. Kedua, akad nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun suatu perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan sesuai dengan kehendak Undang - Undang Perkawinan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Suatu pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, kemudian dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan tersebut menimbulkan konsekuensi yuridis, bahwa pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan dari dilangsungkannya perbuatan hukum yang berupa perkawinan. Hal ini juga diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum Perkawinan yang menyatakan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Meskipun demikian, perkawinan yang dilakukan tanpa adanya pencatatan perkawinan tetap dianggap sah secara agama dan kepercayaan, namun dianggap tidak sah secara hukum. Hal tersebut merupakan salah satu konsekuensi yuridis dari tidak dilakukannya pencatatan perkawinan. Sedangkan dalam konteks hukum perkawinan Islam, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah terpenuhi syarat dan rukunnya.
ADVERTISEMENT
Syekh al-Azhar menyatakan bahwa akad nikah apabila telah dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun nikah seperti diatur dalam syariat Islam, adalah sah, dan mempunyai pengaruh hukum, seperti halalnya bergaul sebagai suami istri, hak saling mewarisi, keabsahan keturuannya, dan kesemua itu tidak tergantung kepada pencatatan dan akta nikah secara resmi.
Meskipun demikian, pencatatan perkawinan merupakan hal yang esensial dan penting dilakukan pada saat pelaksanaan perkawinan. Hal tersebut dimaksudkan agar apabila terjadi sengketa maupun perselisihan di kemudian hari, akta perkawinan dapat menjadi alat bukti yang kuat dan sah menurut hukum. Kemudian Syekh al-Azhar menambahkan bahwa sebuah perkawinan hendaklah mengikuti prosedur resmi demi kemaslahatan dua pihak yang berakad, serta menjadi jaminan bagi segenap hak yang ditimbulkan oleh akad nikah itu. Tujuan esensial dari adanya pencatatan perkawinan adalah agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam serta melindungi hak dan kewajiban suami isteri yang lahir dari perkawinan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dan saat ini, Kementrian Agama telah mempermudah akses bagi yang ingin melangsungkan pernikahan. Dikutip dari Peraturan Pemerintah (PP) No.48 Tahun 2014, biaya nikah di KUA adalah Nol Rupiah atau Gratis. Biaya tambahan akan dikenakan kepada calon pengantin jika melangsungkan pernikahan diluar kantor KUA sebesar Rp.600.000.
Dan yang terpenting dari suatu pernikahan, pastikan terlebih dahulu bahwa kamu memiliki pasangan. Menikahlah saat kamu sudah siap secara lahir dan batin, dan pacaran bukan solusi untuk dua orang yang saling mencintai.