Covid-19 dan Gagap Komunikasi Krisis di Indonesia

Muhammad Saiful Aziz
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
10 Mei 2020 13:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Saiful Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://firebrandtalent.com/wp-content/uploads/Crisis-communication-nmatejic.jpg
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://firebrandtalent.com/wp-content/uploads/Crisis-communication-nmatejic.jpg
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari ini Indonesia tengah dilanda sebuah krisis yang cukup hebat, yakni munculnya Corona Virus Disease 19 (Covid-19). Tercatat per tanggal 10 Mei 2020, terdapat 13.645 kasus positif dan 959 meninggal dunia. Namun di saat terjadi krisis, komunikasi krisis pemerintah justru disorot.
ADVERTISEMENT
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) misalnya merinci terdapat 37 pernyataan blunder yang dilontarkan oleh pemerintah selama pandemi. Pernyataan tersebut menyiratkan terdapat problem komunikasi krisis yang dilakukan. Dari sekian banyak problem yang ada, terdapat dua hal yang bagi penulis cukup fatal dan mengindikasikan perlunya evaluasi terhadap komunikasi krisis pemerintah, yakni hilangnya sense of crisis dan inkonsistensi pesan komunikasi publik.
Saat terjadi krisis, sudah seharusnya hal yang dilakukan adalah meredam krisis itu sendiri agar negara dapat keluar dari fase krisis. Namun di tengah krisis yang terjadi, beberapa pejabat publik justru memunculkan statement yang menunjukkan kesan bahwa pemerintah tengah tak serius dalam menangani krisis.
Beberapa hal yang terjadi di antaranya Wakil Presiden yang memunculkan statement bahwa susu kuda liar bisa menangkal Virus Corona. Selanjutnya di saat awal Covid-19 mulai mengancam, Menteri Kesehatan justru kerap kali terkesan melakukan denial terhadap bahaya penularannya. Belum lagi di tingkat daerah, yang terbaru yakni Bupati Klaten yang justru menuai polemik karena memberikan bantuan dengan menampilkan fotonya dengan tidak proporsional.
ADVERTISEMENT
Berbagai hal tersebut tentunya menunjukkan bahwa pemerintah terkesan tidak menunjukkan sense of crisis terhadap masyarakat. Hal ini berimplikasi timbulnya kesan bahwa pemerintah tidak serius untuk menghadapi krisis Covid-19 dan tentunya menciptakan distrust dari masyarakat.
Problem komunikasi krisis selanjutnya adalah kegagalan pemerintah dalam mengkonstruksi pesan komunikasi publik yang tentu saja berimbas cukup fatal. Salah satu kasus yang mencuat di antaranya adalah Fadjroel Rachman sebagai Juru Bicara Presiden yang memunculkan statement membolehkan mudik dengan syarat wajib isolasi mandiri selama 14 hari dan berstatus orang dalam pemantauan (ODP) sesuai protokol kesehatan. Lalu beberapa waktu kemudian, pernyataan Juru Bicara Presiden tersebut diralat oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Menurut Pratikno, pernyataan Fadjroel kurang tepat dan pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik.
ADVERTISEMENT
Kasus selanjutnya yang terbaru adalah inkonsistensi pesan komunikasi publik terkait mudik dan pulang kampung. Menteri Perhubungan membuat statement bahwa mudik dan pulang kampung sama saja. Padahal sebelumnya Presiden membedakan antara mudik dan pulang kampung.
Hal-hal tersebut tentunya menujukkan persoalan konsistensi pesan komunikasi publik dan berimplikasi terhadap munculnya kebingungan pada masyarakat di tengah hadirnya pandemi. Sudah seharusnya pemerintah sebagai stakeholder yang paling berperan dalam hal ini memberikan pesan yang clear kepada masyarakat sehingga kredibilitas pemerintah dalam menangani pandemi ini tetap terjaga.
Setelah adanya berbagai problem komunikasi krisis tersebut, maka selayaknya pemerintah mengevaluasi model penanganan krisis yang digunakan. Yang pertama adalah menyampaikan pesan komunikasi publik yang cepat dan terbuka. Hal ini penting agar publik mendapat kepastian atas berbagai hal yang terjadi sehingga justru kepanikan tidak terbentuk karena simpang siurnya informasi yang beredar di ranah publik.
ADVERTISEMENT
Yang kedua adalah pemerintah perlu untuk mendesain pesan komunikasi publik yang konsisten dan satu pintu. Hal ini penting agar informasi yang muncul dari pemerintah dapat terencana dan tidak saling menimbulkan kontradiksi karena justru apabila kontradiksi ini terbentuk, akan memunculkan kesan bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah tidak terkoordinasi dengan baik. Berbagai informasi yang disampaikan di berbagai level baik pusat maupun daerah harus dapat dipastikan memiliki informasi yang seragam dan satu pintu.
Yang ketiga adalah menunjukkan sense of crisis dari berbagai elemen dari pemerintah kepada publik dan stakeholder. Sense of crisis dapat ditunjukkan dengan empati dalam setiap komunikasi publik dan memberikan informasi secara jelas dan terbuka. Beberapa langkah ini penting untuk dilakukan agar pemerintah dapat membangun kepercayaan publik dengan baik atas penanganan Covid-19 di Indonesia ini.
ADVERTISEMENT