Merekonstruksi Persepsi Kehumasan di Era Maraknya Buzzer

Muhammad Saiful Aziz
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
10 September 2020 11:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Saiful Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Soumil Kumar from Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Soumil Kumar from Pexels
ADVERTISEMENT
Apabila terdapat satu hal yang kita benci sebagai warganet tapi tak kunjung juga hilang, maka tentu tiada hal lain selain buzzer. Buzzer kini menjadi parasit bagi kebebasan berdemokrasi di internet. Bagaimana tidak? Perannya yang dengan mudah memanipulasi opini publik serta secara simultan menyerang karakter pihak yang berbeda pendapat, menjadi musuh besar bagi kebebasan berdemokrasi kita di internet. Kegundahan kita sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai demokrasi pun sebenarnya cukup wajar, mengingat fakta kebebasan berdemokrasi salah satunya di internet memang tidak cukup menggembirakan. Freedom House dalam lansirannya mengkategorikan Indonesia sebagai negara yang bebas sebagian dalam hal kebebasan internet dengan skor 51 dari 100 poin. Perilaku buzzer menjadi salah satu hal yang disorot oleh Freedom House.
ADVERTISEMENT
Situasi menjadi semakin rumit karena kini paparan informasi semakin deras menerpa kita semua sebagai masyarakat informasi. Hadirnya media yang semakin konvergen dan juga perkembangan teknologi yang kian hari kian masif menjadi tantangan. Selanjutnya apabila kita menyadari bahwa kini kita tengah berada pada suatu era yang dinamakan dengan post truth, hadirnya tren buzzer ini berimplikasi pada semakin biasnya kebenaran yang terkonstruksi. Belum lagi apabila mempertimbangkan lemahnya kualitas literasi media bagi sebagian masyarakat yang masih rendah sehingga belum dapat secara mandiri memilah dan memilih informasi yang benar. Maka hadirnya tren buzzer di tengah berbagai kerumitan tersebut tentu merupakan sebuah pil pahit yang mau tidak mau harus kita telan.
Selanjutnya perilaku menyewa buzzer ini kini oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai bagian dari program kehumasan. Belakangan juga kita dikagetkan dengan paparan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang temuan anggaran 90,45 miliar yang dialokasikan pemerintah untuk aktivitas digital yang melibatkan influencer. Maka selanjutnya kita bertanya-tanya, bagaimana kemudian peran kehumasan dalam kaitannya dengan tren buzzer yang merajalela? Apakah hal tersebut dapat dibenarkan?
ADVERTISEMENT
Buzzer dan Ancaman Integritas Humas
Sebagai seseorang yang mempelajari tentang kehumasan, saya cukup menyesalkan munculnya tren perilaku pemanfaatan buzzer yang membabi-buta tersebut. Sebab saya berkeyakinan bahwa apabila suatu produk yang secara kualitas tidak proporsional, maka bukan berarti cara yang dilakukan adalah dengan memaksa bagian kehumasan untuk membuat produk tersebut seolah-olah bagus, terlebih apabila dilakukan secara masif dengan memfabrikasi opini publik yang keliru. Alih-alih melakukan hal tersebut, cara yang seharusnya dilakukan adalah justru memperbaiki produknya menjadi lebih baik baru kemudian dikomunikasikan oleh humas agar dapat diketahui secara luas oleh publik. Maka untuk menciptakan image yang positif, terdapat dapur lain yang tentunya juga harus dimaksimalkan. Dalam hal pemerintahan, produk tersebut dapat juga dimaknai sebagai program maupun kebijakan.
ADVERTISEMENT
Lagipula, humas sebagai sebuah profesi juga memiliki kode etik yang wajib ditaati. Kita ambil contoh salah satu poin kode etik kehumasan dari IPRA (International Public Relations Association) yakni “bertindak secara jujur dengan penuh integritas setiap saat untuk menyakinkan dan mempertahankan kepercayaan mereka dengan siapa saja praktisi berhubungan”. Selanjutnya dalam kode etik Perhumas (Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia) juga terdapat poin “tidak melibatkan diri dalam tindak memanipulasi integritas sarana maupun jalur komunikasi massa”. Maka menurut poin-poin dalam kode etik tersebut, memfabrikasi informasi yang salah tentu tidak dapat dibenarkan.
Selanjutnya cukup mengkhawatirkan apabila perilaku buzzer ini masih diteruskan secara membabi buta dan dianggap sebagai sebuah hal yang normal, maka akan timbul ketidakpercayaan yang besar dari publik kepada profesi humas. Jika benar ini terjadi, maka tentu saja merupakan sebuah ancaman bagi para humas dan tentu saja eksistensi profesinya. Sebab kita semua tentu sepakat bahwa salah satu yang cukup mahal dan selalu diupayakan untuk dirawat dengan baik oleh humas adalah kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Maka image instansi tentunya tak dapat berdiri sendiri dan hanya menjadi tugas bagi humas. Tidak seharusnya membangun image instansi dengan hanya mengeksploitasi humas maupun memanipulasi opini publik tanpa melakukan perbaikan kualitas produk baik berupa program maupun kebijakan yang ada. Apabila paradigma tersebut kemudian yang mendominasi, maka tentu merupakan sebuah hal yang naif dan melecehkan nalar kritis masyarakat.