Konten dari Pengguna

Buzzer dan Influencer Bayaran: Ketika Fakta Tertutupi Oleh Narasi Berbayar

Muhammad Saka Almadi
Taruna Politeknik Pengayoman Indonesia
13 Mei 2025 20:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Saka Almadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Buzzer. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Narasi yang dipertarungkan di medan perang telah lama digunakan oleh pihak yang berkepentingan. Bukan medan perang nyata, tetapi medan perang virtual. Perjuangan tidak menjadi lebih ringan karena istilah "maya"; sebaliknya, konflik itu mungkin memiliki efek yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Itu adalah apa yang diinginkan oleh kedua belah pihak yang berjuang. Pertempuran di dunia maya tidak memiliki akhir, berbeda dengan pertempuran di dunia nyata. Semuanya berlangsung dengan cara yang begitu semu. Tidak ada satu pun individu yang memulai. Tapi, sebagian orang tahu bahwa itu ulah oleh buzer.
Sesuai dengan artinya, pendengung atau buzer adalah orang yang digaji untuk menyuarakan cerita tertentu. Bisa menjadi cerita tentang kebijakan pemerintah yang perlu didukung atau cerita yang sengaja didengungkan untuk mendukung sesuatu.
Buzzer memanfaatkan algoritma media sosial untuk membuat opini mayoritas palsu. Dalam berbagai peristiwa politik penting, seperti pemilu, fenomena buzer menjadi sangat terkenal. Mereka menyebarkan informasi yang benar maupun yang keliru dengan menggunakan akun palsu atau anonim.
ADVERTISEMENT
Mereka dapat mempengaruhi opini publik dengan strategi ini. Lebih menarik lagi, tidak jarang fenomena buzzer ini melibatkan teknologi canggih, seperti bot atau AI, untuk meningkatkan skala penyebaran. Fenomena ini membingungkan orang awam. Sulit untuk membedakan cerita yang benar dari yang direkayasa. Akibatnya, skeptisisme terhadap informasi meningkat. Ironisnya, hal ini juga membuat orang mudah termakan cerita yang diceritakan dengan meyakinkan meskipun tidak ada buktinya.
Sangat mengejutkan bahwa peperangan narasi di dunia maya telah berkembang. Internet sering berubah menjadi tempat perkelahian sengit dari pada tempat diskusi yang sehat dan demokratis. Setiap kelompok berusaha memenangkan cerita dengan cara apa pun, seperti menyebarkan rasa benci, melakukan doxing, atau bahkan mengintimidasi.
Sebuah tradisi baru yang disebut cancel culture adalah salah satu contoh konflik ini. Dalam budaya ini, orang yang melakukan kesalahan akan diserang habis-habisan di media sosial. Praktiknya sering mengakhiri reputasi korbannya.
ADVERTISEMENT
Peran algoritma juga memperburuk peperangan digital ini. Algoritma dimaksudkan untuk memberikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. Namun, efek sampingnya adalah terbentuknya filter balon, yang memungkinkan seseorang hanya melihat informasi yang memperkuat perspektifnya sendiri tanpa memperoleh perspektif baru.
Pendeknya, kita harus belajar dari masa lalu dan memahami kesulitan saat ini. Perang narasi di media sosial harus dilihat sebagai hal yang baik karena memberikan kesempatan bagi orang untuk berekspresi. Tidak lebih dari itu.
Narasi menurut sejarah, adalah alat yang efektif, tetapi juga berbahaya jika digunakan sembarangan. Pemerintah dan perusahaan teknologi bukan satu-satunya yang bertanggung jawab atas hal ini di era modern, tetapi juga setiap individu.
Bagaimana kita sebagai pengguna media sosial dapat bertindak bijak di tengah perang narasi yang semakin menjadi-jadi? Bagaimana kita bisa membedakan informasi yang salah dan yang benar?
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi masalah ini, sikap kritis dan literasi digital sangat penting. Kita harus lebih berhati-hati dalam mengklasifikasikan informasi yang di terima. Menciptakan lingkungan di mana orang dapat berbicara dengan baik juga penting. Setiap pendapat perlu kita hargai tanpa mendapat kecaman.
Pada akhirnya, internet menunjukkan diri kita sendiri, dan jika kita ingin dunia maya yang lebih sehat dan jujur, kita harus mulai dari diri kita sendiri.