Begini Hidup Anak Kost Sekaligus Mahasiswa Tingkat Akhir, Dibawa Santai Aja!

Sakti Darma A
Alumni Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta (2021)
Konten dari Pengguna
14 April 2021 9:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sakti Darma A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di saat matahari terbit dari arah timur, anak kost masih mendengkur di tepian kasur. Tidak semua, mungkin hanya beberapa, termasuk aku di urutan lima pertama.
ADVERTISEMENT
Ya, di gubuk tempatku menetap saat ini ada 12 kamar yang penuh terisi. Dari jumlah tadi, ku hitung hanya ada 4 orang manusia yang memang memiliki rutinitas pagi untuk bangun dan bergegas melintasi macetnya jalan raya. Sisanya? Masih menyandang status mahasiswa 'saja' atau kerja tapi WFH karena terganjal dengan aturan Corona.
Tak usah menerka, biar ku jelaskan aku masuk di golongan yang mana. Bukan bermaksud rakus, tapi aku memang mengamankan kedua status itu sekaligus.
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Thinkstock
Sebagai informasi, aku masih menjadi mahasiswa tingkat akhir di kampus beralmamater kuning (baca: bukan UI) dan kini tengah menjalani internship sebagai reporter di salah satu media yang letak kantornya di literally which is (baca: Jakarta Selatan).
ADVERTISEMENT
Bangun pagi sebenarnya sebuah rutinitas, tapi hanya untuk membungkam bunyi alarm yang cukup keras. Dasar formalitas. Ya mau gimana, semester akhir ini mata kuliahnya cuma tinggal 3, Kewirausahaan dan Penerbitan Media Massa. Sisanya? Garap tugas akhir atau istilah kerennya TA. Memang bukan skripsi, soalnya aku ini D3 si Ahli Madya katanya. Ya ya ya.
Jatah hidupku di kampus sebenarnya tinggal 5 bulan lagi sampai September 2021 nanti. Tapi kalau mau perpanjang masa bakti juga bisa, cukup ambil saja jatah cuti satu semester dan masuk lagi tahun depan dengan adik tingkat yang masih kinyis-kinyis.
Mau gak mau, suka gak suka, berarti aku harus menuntaskan apa yang sudah dimulai 2 tahun sebelumnya. Bukan waktunya meratapi kegagalan dan merasa salah jurusan, ini sudah tingkat akhir wahai anak muda. Putar balik bukan solusi yang tepat, apalagi terus-terusan mengenang bahagianya jadi anak SMA (baca: beban orang tua).
ADVERTISEMENT
"Ingatlah, ingat skripsimu. Dosen pembimbing selalu menunggu. Selamat nggarap skripsi, nggarap skripsi harus semangat," tulis sebuah lirik lagu yang berseliweran di platform joget-joget (baca: TikTok).
Rasanya, setiap bait demi bait lagu yang ternyata karya Plainthing Studio itu terngiang-ngiang di kepala. Semoga aku dan teman seperjuangan tidak mati muda karena 'si TA'.
Sebenarnya hal-hal tadi bukanlah sesuatu yang terlalu berat apalagi sampai membuat mati muda. Hanya saja, rasa malas ini kadang lebih tinggi daripada keinginan untuk terus produktif di usia yang menginjak kepala dua.
Meski hanya sisa 2 mata kuliah teori, tapi tetap skip kelas menjadi sesuatu yang kerap aku lakukan. Apalagi jika itu kelas pagi, masuk jam 7:30, eh selesainya menjelang jam makan siang. Sungguh melelahkan.
Ilustrasi mahasiswa yang sedang belajar di ruang kelas bersama dosen. Foto: Thinkstock
Tapi tenang, setiap tugas pasti selalu aku kerjakan. Anti joki joki club, gak perlu juga nyontek sana-sini, cukup ikuti saja panduan yang sudah dosen berikan. Pasti lancar, bukan?
ADVERTISEMENT
Buktinya nilai IP ku masih dalam batas aman, walaupun segitu-gitu aja. Menurut hematku, IP juga bukan faktor keberhasilan satu-satunya dalam dunia yang fana. Jalur orang dalam masih menjadi primadona. Hahaha.
Ya begitulah sedikit gambaran kerikil-kerikil kecil yang kerap melintas di pemikiran mahasiswa tingkat akhir yang kebetulan seorang anak kost. Atau mungkin seorang anak kost yang sekaligus mahasiswa tingkat akhir? Entahlah.
Jadi, biarkan aku menyelesaikan kewajiban sebagai seorang mahasiswa sembari memikirkan bagaimana caranya agar tidak terus-terusan menjadi beban orang tua. Huft.