Konten dari Pengguna

Hustle Culture: Dampaknya terhadap Kesehatan dalam Perspektif Sosiologi

Muhammad Seta Diva Adhara
Mahasiswa Departemen Sosiologi Universitas Brawijaya
25 November 2024 11:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Seta Diva Adhara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "Young hispanic businessman stressed working at the office". Foto: Designed by Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "Young hispanic businessman stressed working at the office". Foto: Designed by Freepik
ADVERTISEMENT
Fenomena "hustle culture" atau budaya kerja berlebihan telah menjadi tren di kalangan generasi milenial dan Gen Z. Budaya ini menekankan kerja keras tanpa henti sebagai jalan menuju kesuksesan.
ADVERTISEMENT
Namun, dari perspektif sosiologi kesehatan, hustle culture memiliki implikasi signifikan terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat.

Definisi Hustle Culture dan Asal-Usulnya

Hustle culture adalah fenomena sosial yang mengidealkan kerja keras tanpa henti. Budaya ini menekankan bahwa kesuksesan hanya bisa diraih dengan usaha tanpa batas. Akibatnya, individu sering mengorbankan waktu istirahat dan kehidupan pribadi. Produktivitas tinggi menjadi tolak ukur utama keberhasilan seseorang.
Asal-usul hustle culture dapat ditelusuri ke era industrialisasi. Pada masa itu, kerja keras dianggap sebagai fondasi keberhasilan ekonomi. Istilah ini baru populer setelah Wayne Oates mengenalkan konsep "workaholism" pada tahun 1971. Dalam bukunya, Oates menggambarkan kecanduan kerja sebagai kebiasaan yang merusak keseimbangan hidup.
Perkembangan teknologi digital memperkuat tren ini. Media sosial menampilkan kisah sukses tokoh terkenal yang bekerja tanpa henti. Konten semacam ini memengaruhi generasi muda, terutama milenial dan Gen Z. Mereka merasa tertekan untuk mengikuti standar yang ditampilkan di platform digital.
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 juga memperparah fenomena ini. Sistem kerja jarak jauh membuat batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Banyak orang merasa harus terus bekerja agar tetap produktif. Hustle culture pun semakin meresap dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini bukan hanya persoalan individu. Hustle culture mencerminkan dinamika sosial dan ekonomi yang kompleks. Kombinasi faktor sejarah, teknologi, dan tekanan sosial membuat budaya ini sulit dihindari.

Dampak Hustle Culture terhadap Kesehatan Fisik dan Mental

Ilustrasi "Woman sleeping on desk covered crumpled papers". Foto: Designed by Freepik
Hustle culture sering dianggap simbol ambisi. Namun, dampaknya pada kesehatan sangat merugikan. Budaya ini menciptakan tekanan besar untuk terus bekerja. Banyak orang mengabaikan kebutuhan dasar tubuh mereka.
Secara fisik, budaya ini merusak pola hidup sehat. Jam kerja panjang sering membuat orang kurang tidur. Mereka juga cenderung mengabaikan makanan bergizi. Risiko hipertensi dan penyakit jantung pun meningkat. Tubuh yang lelah lebih rentan terhadap penyakit.
ADVERTISEMENT
Dampak pada kesehatan mental juga serius. Banyak individu mengalami stres kronis. Perasaan bersalah karena istirahat sering muncul. Mereka merasa produktivitas adalah segalanya. Akibatnya, kecemasan dan depresi meningkat.
Hustle culture juga mengisolasi individu. Fokus pada pekerjaan membuat hubungan sosial terabaikan. Banyak orang merasa kesepian. Tanpa dukungan emosional, kesehatan mental semakin buruk. Media sosial memperparah situasi ini.
Burnout adalah hasil yang sering terjadi. Kondisi ini menyebabkan kelelahan fisik dan mental. Ironisnya, tujuan produktivitas justru gagal tercapai. Budaya ini akhirnya menjadi penghalang kesuksesan.
Hustle culture perlu dikaji ulang. Pendekatan yang lebih seimbang sangat penting. Kehidupan yang sehat membutuhkan kerja dan istirahat.

Pengaruh Sosial dan Budaya terhadap Persepsi Kerja

Ilustrasi "Puzzled serious businesswoman concerned about project statistics at group meeting". Foto: Designed by Freepik
Hustle culture mencerminkan nilai-nilai sosial yang menekankan produktivitas. Dalam banyak masyarakat, kerja keras dianggap sebagai tanda keberhasilan. Norma ini membuat orang merasa harus terus bekerja untuk diakui.
ADVERTISEMENT
Media sosial memperkuat budaya ini. Banyak orang memamerkan pencapaian dan kesuksesan di platform seperti Instagram atau LinkedIn. Hal ini menciptakan tekanan untuk selalu terlihat produktif dan sukses. Orang yang beristirahat sering dianggap malas atau tidak ambisius.
Di beberapa negara, budaya kerja keras sangat ekstrem. Jepang memiliki istilah karoshi, yaitu kematian akibat kerja berlebihan. Di Amerika Serikat, etos "American Dream" mendorong jam kerja panjang. Ini membuat orang mengorbankan waktu pribadi demi karier.
Istirahat sering dipandang sebagai kemewahan, bukan kebutuhan. Orang merasa bersalah jika tidak bekerja atau produktif. Persepsi ini menciptakan siklus kerja tanpa akhir. Banyak orang merasa perlu memenuhi ekspektasi sosial yang tinggi.
Budaya ini juga memengaruhi lingkungan kerja. Rekan kerja sering dibandingkan berdasarkan produktivitas. Perusahaan memberikan penghargaan kepada mereka yang bekerja lebih keras. Hal ini membuat tekanan di tempat kerja semakin besar.
ADVERTISEMENT
Hustle culture tidak hanya merugikan individu, tetapi juga masyarakat. Kita perlu mengubah cara pandang terhadap kerja keras. Keseimbangan hidup harus menjadi prioritas utama demi kesehatan dan kebahagiaan.

Strategi Mengatasi Dampak Negatif Hustle Culture

Ilustrasi "Still life of office desk mess". Foto: Designed by Freepik
Mengatasi dampak hustle culture membutuhkan langkah nyata. Hal pertama adalah mengubah cara pandang terhadap kerja. Seseorang tidak perlu terus bekerja tanpa henti untuk dianggap sukses. Istirahat dan waktu santai sangat penting untuk menjaga kesehatan.
Konsep work-life balance bisa menjadi solusi. Ini berarti membagi waktu antara kerja dan kehidupan pribadi secara seimbang. Salah satu caranya adalah dengan menetapkan batasan jam kerja. Pastikan pekerjaan tidak mengganggu waktu istirahat atau waktu bersama keluarga. Kegiatan santai seperti hobi juga harus mendapat perhatian.
ADVERTISEMENT
Istirahat yang cukup harus menjadi prioritas. Tidur malam yang berkualitas membantu tubuh pulih dari kelelahan. Waktu istirahat di sela-sela aktivitas juga penting. Tubuh yang beristirahat akan lebih siap menghadapi tantangan keesokan hari. Ini mengurangi risiko stres dan gangguan kesehatan lainnya.
Lingkungan kerja juga perlu mendukung keseimbangan ini. Perusahaan sebaiknya memberikan fleksibilitas dalam pengaturan jam kerja. Program dukungan kesehatan mental seperti konseling dapat membantu karyawan mengelola stres. Dengan lingkungan kerja yang sehat, karyawan lebih produktif tanpa harus bekerja berlebihan.
Hubungan sosial juga tidak kalah penting. Interaksi dengan keluarga dan teman memberi dukungan emosional. Aktivitas bersama orang terdekat dapat mengurangi beban pikiran. Ini membantu menciptakan perasaan nyaman dan terhubung secara emosional.
Pendidikan tentang hustle culture juga perlu dilakukan. Kampanye atau pelatihan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat. Orang perlu tahu bahwa kerja keras bukan satu-satunya ukuran keberhasilan. Perubahan ini harus dimulai dari individu hingga organisasi.
ADVERTISEMENT
Langkah-langkah sederhana ini dapat mengurangi dampak negatif hustle culture. Keseimbangan hidup bukan hanya baik untuk kesehatan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup. Dengan pendekatan ini, kesuksesan dapat dicapai tanpa mengorbankan kesejahteraan.