Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menwa, Keprajuritan Versi Mahasiswa
2 Desember 2021 20:13 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Shidqi Aldiansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Resimen mahasiswa atau biasa kita kenal dengan sebutan Menwa ini kerap menjadi sorotan publik. Terlebih dengan adanya kasus kematian mahasiswi UPNVJ yang meninggal saat menjadi peserta pembaretan Resimen Mahasiswa. Peserta yang menjadi korban merupakan mahasiswi D3 jurusan Fisioterapi bernama Fauziyah Nabilah.
Menurut informasi yang beredar, Nabilah atau yang kerap disapa Lala ini kekelahan saat ikut dalam long march yang berjarak 10-15 kilometer. Ia diminta beristirahat karena mengalami keram sebelum akhirnya mengalami gejala yang sempat dikira kesurupan dan dilarikan ke rumah sakit, namun sayang nyawa Lala tak dapat diselamatkan
ADVERTISEMENT
Kasus semisal juga pernah terjadi beberapa waktu lalu kepada mahasiswa D4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sekolah Vokasi (SV) Universitas Sebelas Maret, Gilang Endi Saputra. Ia mengikuti Diklatsar Menwa UNS yang berlangsung pada 23-31 oktober 2021 lalu. Tapi, Gilang meninggal dan saat jenazahnya dipulangkan kepada keluarga, mereka melihat ada kejanggalan berupa lebam dan darah pada jenazah korban sehingga pihak keluarga melapor ke polisi. Berdasarkan hasil autopsi yang dilakukan, terdapat tanda-tanda kekerasan
Lalu, apakah menwa masih dibutuhkan di masa sekarang?
Menwa merupakan program pelatihan kemiliteran untuk mahasiswa di wilayah Jawa Barat pada masa akhir dekade 1950-an saat Indonesia sedang dilanda urgensi politik dan pemberontakan di berbagai tempat. Para mahasiswa dilatih oleh Komando Daerah Militer (kodam) Siliwangi untuk mempersiapkan gangguan keamanan berupa pemberontakan oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
ADVERTISEMENT
Sebelumnya Menwa bernama Wala yang merupakan akronim dari Wajib Latih. Wala dibuat bukan sebagai program wajib militer, melainkan penyiapan mahasiswa untuk menjadi cadangan pertahanan pada saat itu.
Pada Desember 1961, Mayjen Nasution memerintahkan untuk menggencarkan latihan keprajuritan pada mahasiswa lewat Wala. Bukan hanya di Jawa Barat melainkan hampir di seluruh universitas. Setelah melewati berbagai tahap, pada 1963 program ini dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan tinggi bersama perintah kepada seluruh universitas untuk membuat Resimen Mahasiswa melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat itu sehingga menjadikan Menwa sebagai salah satu kebutuhan penting pertahanan negara. Program ini pun terus berlangsung dan telah melewati berbagai peristiwa besar, salah satunya adalah pemberontakan PKI.
Jika menilik dari sejarahnya, Menwa terbentuk karena kebutuhan mendesak pada saat itu, dimana terjadi urgensi pertahanan di Indonesia. Namun lambat laun Menwa berubah menjadi UKM biasa di kampus, karena banyak desakan terhadap posisi Menwa akibat sikap arogan anggotanya pada saat itu yang kerap terlibat kasus penyerangan maupun kekerasan pada saat itu, terlebih pada era 1990-an.
ADVERTISEMENT
Lantas pada masa sekarang, apakah Menwa masih perlu eksis di dunia kampus?
Tentu Menwa perlu eksis di dunia kampus, bukan hanya sebagai cadangan pertahanan negara, melainkan juga untuk menanamkan nilai nasionalisme di lingkungan kampus. Hal ini tentu akan terlaksana dengan baik apabila Menwa dijalankan dengan baik dan sesuai aturan yang berlaku oleh para anggotanya.