Diskriminasi di Negeri Sendiri Hanya Karena (Bukan) Bule

Konten dari Pengguna
27 Februari 2018 17:48 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Sholich Mubarok tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Diskriminasi di Negeri Sendiri Hanya Karena (Bukan) Bule
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Selama 27 tahun hidup di Indonesia, Bambang Adhi baru pertama kali ke Bali. Dulu ia sering mendengar cerita kalau penjual barang dan jasa lebih menghargai turis asing daripada turis lokal.
ADVERTISEMENT
Awalnya Bambang tidak percaya, tapi kemudian ia membuktikan sendiri. Diskriminasi-diskriminasi tersebut kebanyakan ia temukan di tempat makan. Mulai dari restoran seafood pinggir pantai sampai resto cepat saji ayam di Kuta, Bali.
"Mungkin dikiranya gue nggak kuat bayar kali yah men mental inlander selalu menganggap bangsa kita inferior sedih deh," resahnya beberapa hari lalu.
Ia menganggap dirinya barangkali sedang mengalami keapesan ketemu oknum-oknum bule seperti itu. Ia pun agak sedikit bikin males untuk balik lagi. "Mending gue ke kota lain atau ke negara lain sekalian," seloroh cowok yang berprofesi di bidang media massa itu.
Berbeda dengan Bambang, Areza Riandra punya cerita yang menggemaskan soal bule. Beberapa tahun yang lalu, musisi itu nge-gig di Cafe Batavia, Jakarta bersama bule Finlandia yang menjadi pianis. Sekadar untuk diketahui, bule tersebut stres akan masalah keluarga, randomly naik kapal laut, dan randomly turun di Jakarta secara illegal.
ADVERTISEMENT
Musisi yang tampil di kafe tersebut mendapat jatah makan dan minum (kopi dan teh), tapi bule sukanya susu. Padahal susu tidak termasuk dalam minuman musisi. Anehnya, bule minum hingga 10 gelas dan manager kafenya mendatangi Areza dan mengatakan, "Mas, itu bulenya bisa tolong dibilangin nggak kalau ngga boleh minta susu. Saya nggak berani ngomongnya, Mas!" kata Areza menirukan manajer.
Areza hanya ketawa mengapa manajer tidak berani. Akhirnya music scorer itu menyampaikan kepada bule. Bule tersebut tidak mau nurut. "Ujungnya pihak kafe nggak berani nolak dan tetep ngasih susu ha-ha-ha!" katanya.
Fenomena Bule Kehabisan Ongkos di Indonesia dan Sikap Kita
Beberapa hari ini memang terjadi fenomena bule kehabisan ongkos. Seperti kejadian dua orang bule asal Selandia Baru yang kehabisan ongkos saat liburan di Jakarta. Masalah finansial bule ketika liburan di Indonesia ini dikaitkan dengan kebijakan bebas visa.
ADVERTISEMENT
Kedua bule tersebut seperti dikutip akun instagram TMC Polda Metro Jaya, ditemukan "nggak berfaedah" di tepi jalan. Lalu, polisi sempat membantu bule itu untuk sampai tujuannya ke Cirebon dengan menaiki sebuah truk.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, ada 169 negara yang dibebaskan visa untuk warganya berkunjung ke Indonesia. Penerima Bebas Visa Kunjungan diberikan izin tinggal kunjungan untuk 30 hari dan tidak dapat diperpanjang masa berlakunya ataupun dialihstatuskan menjadi izin tinggal lainnya.
Kita(?) kerap melihat bule sebagai kelas menengah atas sehingga kerap diistimewakan seperti dua kasus yang dialami Areza dan Bambang. Saat sedang melakukan travelling di Gunung Bromo, teman penulis buru-buru mendatangi seorang bule hanya untuk satu tujuan: foto bareng. Menurutnya sebuah kebanggaan tersendiri bisa foto bersama bule.
ADVERTISEMENT
Seharusnya kita memang jangan terlalu lama berkubang dalam ‘inferiority complex’. Tidak semua yang londo selalu lebih baik dan high class.
Seorang rekan mencari-cari seorang bule agar bisa mengegolkan proyeknya. Akhirnya ia dapat bule dan proyek itu gol karena merasa berkelas karena kehadiran ekspatriat.
Pengalaman yang tak jauh berbeda, pernah dialami seorang bapak ketika mengambil S2 di United Kingdom. Di kelas ada beberapa orang lokal, percaya tidak percaya, yang namanya Bahasa Inggris mereka tidak lebih oke dari kita. Yang namanya salah tik alias typo, salah gramatikal justru lebih sering dari kita.
"Makanya saya bingung ketika banyak yang mendewakan mereka di sini. Secara nilai pun mereka di bawah saya ketika itu (well thats how I prove that we are better). So please stop making them superior people in our beloved country," ungkap bapak yang sering dipanggil Om Ben itu. [@paramuda]
ADVERTISEMENT