Konten dari Pengguna

Oligarki Liberal

Muhammad Sholihin
Dosen IAIN Curup
22 November 2023 19:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Sholihin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Oligarki. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Oligarki. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Saat ini kita hidup di bawah imajinasi kapitalisme yang menindas segala bentuk otonomi. Imajinasi kapitalisme ini telah melahirkan satu entitas octopus, yang disebut dengan oligarki liberal, dan berhasil memegang kendali atas pemerintah, kendali atas ekonomi, kendali atas media, kendali atas sumber daya alam, kendali atas hukum, bahkan kendali atas proses demokrasi.
ADVERTISEMENT
Kendali-kenali tersebut berdampak luas meski tidak tampak kasat mata, tetapi dirasakan oleh jamak masyarakat. Ketidaksetaraan sosial, dan ekonomi adalah efek langgeng, yang dirasakan. Oligarki liberal ini menunggangi demokrasi untuk menghasilkan serum berbahaya, yang disebut dengan privasi palsu: satu kondisi di mana kebebasan tidak lagi efektif, karena komitmen warga negara terhadap kebebasan itu sendiri dibatasi.
Oligarki menciptakan penindasan untuk melahirkan satu entitas manusia, hyper-homo economicus: manusia yang berpusat pada dirinya sendiri dan kepentingan pribadi. Manusia semacam ini tidak peduli dengan pertanyaan “mengapa masyarakat kian terbelah, dan ketidakadilan sosial kian lebar.”
Manusia yang berpusat pada kepentingan diri diinginkan oleh oligarki, kemudian menjadi aktor-aktor utama dalam demokrasi. Mereka melayani kepentingan oligarki, dengan menggunakan jubah demagog. Aktor yang sangat pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat, guna meraih kekuasaan. Demokrasi pada kondisi ini akan mengalami jungkir balik.
ADVERTISEMENT
Sekitar 2365 tahun yang lalu, Aristoteles telah mengingatkan akan terjadinya jungkir balik demokrasi ketika oligarki tumbuh subur dalam satu negara. Menurutnya, tentakel oligarki kian kuat membelit negara ketika pemilik kekayaan mengendalikan pemerintah. Kendali tersebut menguat seiring tumbuhnya satu kesadaran kolosal serba pragmatis pada aktor-aktor, mesin utama kekuasaan, dan melalui kesadaran ini memungkinkan aktor menempatkan tugas-tugas publik selalu tergantung pada sejumlah uang.
Oligarki liberal memiliki seribu wajah. Anak laki-laki yang mengambil posisi ayahnya dalam tugas-tugas publik; dan praktik reproduksi kekuasaan secara tertutup ini juga diartikan sebagai bentuk, dan salah satu wajah oligarki. Bahkan, oligarki semakin efektif mengendalikan pemerintah melalui sistem demokrasi liberal, di mana rakyat menyerahkan mandatnya, dan sepanjang mandat ini pula reproduksi kekuasaan dirancang. Politik dinasti pada kondisi menjadi hal tak terhindarkan.
ADVERTISEMENT

Heteronomi

Cornelis Castoriadis (1922-1997), seorang filsuf berkebangsaan Yunani-Prancis, memahami oligarki sebagai ekspresi masyarakat birokrasi. Pemangku kekuasaan, dalam hal ini, semata pelaksana kekuasaan swasta. Pemerintah menjalankan fungsi birokrasi sesuai dengan kebutuhan dan permintaan oligark. Kebijakan politik berupa peraturan pemerintah, bahkan undang-undang dibangun atas kebutuhan ini.
Hubungan antara oligark dan birokrasi dibangun di atas kebutuhan spesifik, dan mutualistik. Birokasi sebagai salah satu fungsi kekuasaan membutuhkan asupan material dari para oligark. Sebaliknya, para oligark mempengaruhi birokrasi agar bertindak sesuai dengan kebutuhan oligark meskipun mengabaikan otonomi dan kepentingan masyarakat. Situasi ini menghasilkan kebijakan politik tidak otentik dan kian jauh dari harapan kolektif publik.
Pada saat aktor kekuasaan hanya menjalankan fungsi birokrasi pesanan oligark, maka seluruh struktur penopang negara bersifat heteronomis. Kondisi ini didefinisikan sebagai keadaan di mana individu, kelompok, masyarakat, dan aparatur tunduk pada hukum, norma, atau otoritas yang diberlakukan oleh pihak lain. Sayangnya, seluruh struktur tersebut bukanlah sesuatu yang dihasilkan dari keputusan dan nilai-nilai internal publik.
ADVERTISEMENT
Heteronomi adalah konsekuensi dari penguasaan, dan kontrol berlebihan oleh oligark terhadap kekuasaan. Dalam situasi ini, berbagai keputusan dan aturan sebagai produk negara digubah tanpa pertimbangan dan partisipasi publik yang memadai. Masyarakat pun tak punya pilihan lain, kecuali hidup di bawah produk hukum sang lian. Masyarakat dijebak pada situasi yang sepenuhnya heteronomi.
Ketidaksetaraan sosial, ketidakadilan ekonomi, degradasi kebebasan serta meningginya privasi palsu adalah indikator nyata heteronomi. Namun, situasi ini justru diinginkan oleh oligark liberal. Dengan situasi ini, memungkinkan oligark mengontrol kekuasaan lebih panjang dan dengan durasi yang lama. Tentu saja heteronomi semacam ini tidak menguntungkan bagi demokrasi: justru membuat demokrasi terhambat untuk berkembang, dan akhirnya tumbuh sebagai pseudo-demokrasi.

Politik Dinasti

Winters (2011) mengambarkan oligarki liberal dengan kosa kata yang bersifat ontologis. Baginya, oligarki tersebut sama dengan “perang”, “berkuasa”, dan “sultanistik”. Inti dari tiga kosa kata ini mengerucut pada sipat oligark yang selalu berusaha mempertahankan dan memperluas kepemilikan pribadi, dan hak milik. Paksaan baik langsung maupun tidak langsung diperlukan melalui pelanggengan pengaruh dan kontrol terhadap kekuasaan. Upaya melanggengkan pengaruh ini membuat oligark mendukung muncul bahkan berlangsungnya politik dinasti.
ADVERTISEMENT
Politik dinasti kerapkali menampakkan wajahnya ketika oligarki liberal telah menyentuh bilik-bilik kekuasaan. Para oligark: sekelompok elite yang mengontrol keputusan politik dan ekonomi, menguatkan eksistensi politik dinasti melalui dukungan finansial serta pertukaran pengaruh dan kekuasaan. Situasi ini memungkinkan formasi hukum diubah berdasarkan kebutuhan para pemangku kekuasaan, guna memuluskan transisi kekuasaan yang bersifat terbatas.
Menariknya, baik politik dinasti dan oligarki liberal, keduanya membangun klaim atas dasar prinsip-prinsip liberalisme. Kendati secara substansial setiap tujuan politik dan kontrol yang melekat pada dua konsep ini—politik dinasti dan oligarki liberal, bertentangan dengan nilai-nilai yang dipromosikan oleh liberalisme politik seperti kebebasan individu, persamaan, dan partisipasi demokrasi. Retorika liberalisme politik digunakan oleh politikus selalu mengelabui publik: bahwa pelanjut trah kekuasaan diperlukan untuk meneruskan pembangunan, dan keadilan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Padahal di balik retorika tersebut disembunyikan satu kepentingan oligarki. Hutchcroft (1991), dalam hal ini, menilai retorika liberalisme politik yang dijual di ruang publik oleh para politikus, pada dasarnya ditujukan untuk menyembunyikan kebutuhan para oligark di balik dukungan atas politik dinasti. Kebutuhan itu tak lain adalah mempertahankan keuntungan dengan berbagai cara dari patronase negara, dan salah satunya memuluskan jalannya politik dinasti.

Partisipasi Demokrasi

Castoriadis (1999) meramukan satu strategi mungkin saja mujarab untuk menghentikan politik dinasti, dan melemahkan tantakel oligarki melalui penguatan warga negara: “warga negara mesti berpartisipasi dalam pemilihan umum, dan mengaktivasi kritisisme dan rasionalitas. Hal ini dibutuhkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa kekuasaan harus beredar di antara warga negara, dan pemegang kekuasaan mesti digilirkan dengan mekanisme demokrasi yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, dan transparansi.
ADVERTISEMENT
Imajinasi oligarki, dan anak kandungnya—politik dinasti, hanya dapat dihambat dengan membesarkan otonomi pada level individual, sosial dan masyarakat. Upaya memperluas otonomi ini membutuhkan partisipasi demokrasi, dan setiap pemilik mandat dapat mengaktivir rasionalitas dan kritisisme.
Instrumen rasionalitas dan kritisisme dibutuhkan untuk menghambat pengaruh oligarki pada pergantian kekuasaan. Kebutuhan ini didasarkan pada watak spesifik oligarki yang selalu berkepentingan untuk mendorong tumbuhnya warga negara yang pasif, dan indiviualistik. Kebutuhan spesifik oligarki ini mesti diputus dengan membesarkan kapasitas rasionalitas politik warga, dan menumbuhkan kritisisme warga. Hingga, pergantian rezim benar-benar lahir dari rahim demokrasi yang bersih■
*Dosen IAIN Curup, Rejang Lebong