Konten dari Pengguna

Mengembalikan Kewarasan Publik Usai 'Dihajar' Kejadian-kejadian Absurd

Muhammad Shoma Marifatullah
Pemerhati Kajian Sosial-Humaniora. Sociopreneur, Tinggal di Boyolali, Jawa Tengah.
15 Maret 2023 12:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Shoma Marifatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo duduk di ruang tunggu sebelum menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (1/3/2023). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo duduk di ruang tunggu sebelum menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (1/3/2023). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, saya menerima sebuah surat. Kop surat itu tertera: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak. Isinya, saya diminta melaporkan SPT Tahunan dan memadankan NIK dengan NPWP.
ADVERTISEMENT
Tak hanya saya yang menerima surat itu. Salah satu teman virtual saya meng-update di Instagram bahwa ia tengah melaporkan SPT Tahunan di kantor pajak tempat ia tinggal. Yang menggelitik, ia menambahkan caption, “Ngapel dulu ke Rafael Alun Trisambodo sama Mario Dandy...” dengan nada satire.
Sudah lebih dari satu dasawarsa Kementerian Keuangan mencanangkan reformasi birokrasi yang hanya menjadi cemoohan oleh tindakan Rafael Alun Trisambodo. Dengan harta “resmi” Rp 56 miliar, mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan II ini diperkirakan jauh lebih kaya.
Anak polah, bapak kepradah. Ungkapan dalam bahasa Jawa ini kiranya menggambarkan nasib Rafael. Anaknya, Mario Dandy Satrio, 20 tahun, menyiksa Cristalino David, 17 tahun, sampai tak sadarkan diri. Kasus ini menjadi viral di sosial media lantaran publik merasa sakit hati menonton “pertunjukan” atas tindak-tunduk yang tak berempati.
ADVERTISEMENT
Peran warganet dalam perjalanan kasus ini sangat krusial. Berawal dari warganet yang ingin memberikan sanksi sosial terhadap Mario Dandy, mereka kini berperan sebagai “detektif swasta”. Nafsu warganet untuk membuat pelaku menderita secepat mungkin adalah hilir dari proses penegakan hukum yang terkesan tak linier dengan akal sehat dan hati nurani. Namun, akibat dari tindakan warganet sejatinya lebih dari itu.

Personal Relative Deprivation

Ilustrasi pamer kekayaan atau flexing. Foto: Westend61/Getty Images
Dalam kajian psikologi, tindakan hedonis yang dipertontonkan di sosial media dapat menstimulasi timbulnya personal relative deprivation (PRD). Secara sederhana, PRD dapat dipahami sebagai rasa iri dengki. Rasa ini disebabkan ketika seseorang menyaksikan orang lain yang sejatinya berkedudukan sama justru memiliki garis peruntungan berbeda secara ekstrem.
PRD muncul karena adanya kesenjangan dan timpangnya relasi secara subjektif antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kemunculan PRD ini jamak diiringi naiknya orientasi tindakan kekerasan kepada yang dianggap penyebab PRD.
ADVERTISEMENT
Dahsyatnya media sosial mewabahkan PRD dapat dipahami sebagai butterfly effect: satu ketukan jari sekarang akan menjadi ribuan ketukan jari beberapa jam kemudian. Ketukan jari tersebut menjangkiti hati banyak orang bak lahan gambut, bara itu terus memanas kendati tak kasat mata. Kesimpulan dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pamer kemewahan di media sosial mengandung efek provokatif luar biasa.
Sikap nirempati yang ditunjukkan melalui pamer kemewahan juga mencederai batin publik yang tengah berada dalam masa pemulihan pasca Covid-19. Guncangan psikis yang mewabah itu kian diperparah dengan masifnya perilaku-perilaku abnormal yang silih berganti. Belum genap satu tahun kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat yang menyulut PRD, kini telah muncul kasus penganiayaan Cristalino David oleh Mario Dandy, anak Rafael Alun yang disebut sebagai ASN miliarder itu.
ADVERTISEMENT
Peneliti ASA Indonesia Institute, Reza Indragiri Amriel, dalam kolomnya pada majalah Tempo menyatakan bahwa fenomena publik kiwari tengah dalam kejengkelan dan tidak bergairah kepada otoritas penegakan hukum, utamanya kepolisian. Implikasi dari kepercayaan yang rendah pada polisi akan mewujud dalam dua perilaku. Pertama, turunnya tingkat kesediaan untuk taat hukum. Kedua, keengganan bekerja sama menciptakan keamanan dan ketertiban.
Hasilnya, paling tidak dalam kalkulasi di atas kertas, situasi dewasa ini memang tengah rawan-rawannya. Belum lagi ditambah runyamnya serbaneka anomali lain dalam pengelolaan negara. Juga jangan lupa krisis kepercayaan publik atas otoritas penegakan hukum. Tentu suasana batin publik—termasuk warganet, akan kian capek.

Mengobati Penyakit, Bukan Simtom

Ilustrasi pamer kekayaan. Foto: Mallika Home Studio/Shutterstock
Dalam konteks pemberantasan budaya korupsi, kolusi dan hedonisme (KKH) di lingkungan Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani tak bisa hanya membubarkan kelompok motor gede dan meminta bawahannya agar tak pamer kekayaan. Solusi dangkal tersebut hanya mengobati simtom dari sebuah penyakit yang telah mewabah dan mendarah daging: korupsi, kolusi, dan hedonisme.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia hukum kita mengenal adagium inde datae leges be fortior omnia posset: hukum dibuat, karena jika tidak, maka orang yang kuat akan memiliki kekuasaan tak terbatas. Dalam konteks ini, diperlukan solusi menyeluruh yang terintegrasi. Obat penawar yang menyembuhkan simtom sekaligus penyakitnya secara keseluruhan. Obat itu adalah produk hukum yang meniadakan celah praktik lacung koruptor menggasak duit rakyat dan membikin jera—langkah preventif dan koersif.
Dalam upaya preventif, pemerintah bersama DPR seharusnya bisa kembali menguatkan sistem kelembagaan KPK yang telah digerogoti semenjak revisi Undang-Undang KPK. Pemerintah juga harus secara aktif melakukan patroli siber, utamanya bagi keluarga ASN.
Pada Juni 2022, tercatat jumlah ASN di Indonesia mencapai empat jutaan. Jika asumsinya satu keluarga ASN memiliki tiga anggota keluarga inti, sasaran operasi siber hanya sekitar 20 juta kepala. Langkah ini dapat ditempuh jika pemerintah telah hilang akal dalam mengatasi praktik penggelapan uang oleh pejabat negara.
ADVERTISEMENT
Di sisi yang lain, Kementerian Keuangan seyogyanya segera membentuk sistem baku dalam mengecek kepemilikan harta mencurigakan pegawainya. PPATK, KPK bersama Inspektorat Jenderal mesti berbagi peran dalam bahu membahu menelisik harta janggal pejabat negara. Lebih baik lagi jika ada regulasi pembuktian terbalik.
Secara koersif, publik mestinya segera mendesak DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. Budaya korupsi yang sudah melekat dalam jati diri penyelenggara negara tak akan berhasil jika tak diiringi merampas barang yang paling mereka sukai, harta benda haram.
Dengan upaya itu semua, setidaknya akan mencegah kerusuhan sosial di dunia nyata dan dunia mata. Saatnya mengembalikan rasa tenang dan kewarasan batin publik setelah dihajar habis-habisan oleh pandemi dan kejadian absurd akhir-akhir ini.
ADVERTISEMENT