Konten dari Pengguna

Keaslian Budaya dalam Novel Edensor Karya Andrea Hirata

Muhammad Sultan Alfharo
Mahasiswa Universitas Pamulang, Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia
10 Desember 2022 15:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Sultan Alfharo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Novel Edensor Karya Andrea Hirata | sumber foto: foto pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Novel Edensor Karya Andrea Hirata | sumber foto: foto pribadi
ADVERTISEMENT
Kondisi mengenai budaya dan sosial kelompok etnis dalam masyarakat multikultural seringkali tergambar dalam berbagai novel. Namun, terkadang gambaran mengenai kebudayaan tersebut seringkali tidak akurat dan memiliki ketidaksesuaian dengan kebudayaan dalam realita kehidupan masyarakat. Padahal keaslian budaya dalam sebuah karya sastra merupakan hal yang penting, sebab dengan adanya penggambaran budaya yang autentik dalam karya sastra dapat memberikan sebuah pemahaman yang benar dan jelas.
ADVERTISEMENT
Membahas mengenai budaya yang multikultural dalam sebuah karya sastra berupa novel, di sini penulis akan mengulas budaya multikultural dalam salah satu novel karya Andrea Hirata untuk melihat kadar autentisitas budaya yang digambarkan oleh Andrea Hirata dalam novelnya. Bagi kalian yang suka dengan dunia sastra khususnya novel, tentu saja nama Andrea Hirata sudah tidak terdengar asing, bukan? Terutama mengenai salah satu karyanya yang cukup populer pada masanya, yakni "Laskar Pelangi" novel yang juga sukses diadaptasikan dalam sebuah film. Namun, kali ini penulis akan membahas mengenai novel ketiga dari tetralogi "Laskar Pelangi" yang juga ditulis oleh Andrea Hirata, novel dengan judul "Edensor". Novel ini merupakan kelanjutan cerita dari perjalanan hidup Ikal bersama Arai ketika berhasil meraih mimpinya untuk belajar di salah satu universitas tertua dan terkemuka dunia, Université de Paris, Sorbonne, Perancis. Ikal dan Arai yang lugu dan terkesan kampungan kemudian bertemu dan berinteraksi dengan berbagai macam manusia dari belahan dunia yang mempunyai kebudayaannya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dalam karya sastra multikultural, tugas berat untuk seorang penulis atau pengarang ketika mencoba untuk menggambarkan realitas dari suatu etnik kultur (tanpa memandang apakah mereka berasal dari kultur itu maupun luar kultur tersebut) adalah untuk memahami perspektif dari kultur tersebut agar dapat memberikan suatu karya sastra yang autentik kepada para pembaca. Berdasarkan hal tersebut, seorang pengarang dapat memahami perspektif suatu etnis dengan cara berperan secara spesifik ketika menggambarkan kondisi budaya sebuah kelompok masyarakat. Perspektif suatu etnis tersebut secara spesifikasi terefleksikan dalam cara hidup, keyakinan, dan perilaku yang spesifik secara budaya (Cai, 2002:41-42).
Baik, langsung saja pada pembahasannya, dalam novel "Edensor" karya Andrea Hirata penulis menemukan adanya gambaran mengenai budaya Belitung, salah satunya adalah budaya penamaan untuk anak pada masyarakat Belitung. Dalam budaya Belitung, menamai anak berarti berharap penuh bahwa sang anak akan berperilaku sebagaimana makna yang terkandung dalam namanya. Apabila nama yang baik tidak diikuti oleh perilaku baik juga dari anak, berarti ada yang salah dalam namanya, dengan begitu penggantian nama harus dilakukan agar sang anak lebih baik lagi dalam berperilaku. Sebagaimana yang digambarkan dalam kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
“Di belahan dunia lain orang boleh mengatakan apalah arti sebuah nama. Namun bagi orang Melayu pedalaman seperti kami, nama amat penting, nama berurusan dengan agama dan dianggap sumber aura. Din itu buktinya, asalnya Dinul Islam: agama Islam. Jika tabiat anak tak beres, pasti namanya yang pertama diselidiki. Kebijakan purba itu dianut taat oleh ayahku.” (Hirata, 2007:22).
Selain budaya Belitung, dalam novel "Edensor" karya Andrea Hirata, penulis juga menemukan adanya gambaran mengenai budaya India yang tercermin dari perilaku tokoh bernama Manooj. Andrea Hirata, menggambarkan bagaimana teman dari tokoh Ikal, yang berasal dari India bernama Manooj, sering menggoyangkan kepala sebagai kode persetujuan atau penolakan, dan ungkapan lainnya ketika melakukan itu. Menurut Mingshui Cai (2002:41) sebuah budaya harus dijelaskan secara rinci untuk menghindari misrepresentasi. Dalam budaya masyarakat India, menggeleng merupakan cara menghormati dan berterimakasih. Jika orang India menggelengkan kepalanya dengan gerakan lambat dan lembut, serta tersenyum, artinya orang itu ingin menghormati atau bersikap bersahabat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Manooj dalam kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
“Ia berkulit legam, kurus tinggi, dan berwajah jenaka tipikal India. Bulu matanya lentik, lehernya panjang. Gaya berjalannya seperti orang ingin menari. Rupanya, ia memang seorang penari, penari goyang kepala yang piawai. Jika menari kepala, lehernya seperti engsel peluru: naik, turun, maju, mundur, patah-patah, menjulur-julur, dan berputar meliuk-liuk. Ditimpali kendang tabla, ia selalu menjadi hiburan di kelas. Kawan, goyang kepalanya itu bukan perkara sederhana, tapi semacam cultural gesture. Jika Manooj menggoyang kepalanya terus-menerus, artinya ia sedang menghormati kawan bicaranya. Jika ia bergoyang tiga kali maksudnya: Apa maksudmu? Aku tak mengerti. Empat kali: Baiklah, akan kupertimbangkan. Lima kali mematuk-matuk cepat: Aku mau buang air!” (Hirata, 2007:78).
Hasil dari analisis menunjukan bahwa novel "Edensor" karya Andrea Hirata, merupakan novel yang tergolong multikultural karena menggambarkan tentang berbagai budaya, salah satunya adalah budaya masyarakat Belitung dan India. Adapun mengenai keaslian budaya dilihat dari perspektif etnis dapat diketahui bahwa terdapat kesesuaian gambaran budaya yang tercermin dalam novel "Edensor" karya Andrea Hirata sehingga dapat diketahui bahwa gambaran budaya dalam novel tersebut memiliki kadar autentisitas yang sesuai dengan realita kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Amin, Moh. (2018). “Pendidikan Multikultural”. Dalam Jurnal Pilar: Jurnal Kajian Islam Kontemporer Volume 09 Nomor 1. Edisi 2018.
Cai, M. (2002). "Multicultural Literature For Children And Young Adults: Reflection on Critical Issues". Greenwood Press.
Lestari, Ema. (2017). “Representasi Wujud Budaya di Masyarakat Multikultural Dalam Novel Burung-Burung Rantau Karya Y.B Mangunwijaya". KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Volume 3, Nomor 2, hlm 123 – 134.