Konten dari Pengguna

Hukum Nikah Lintas Agama Menurut Sudut pandang Islam dan Perspektif di Indonesia

Muhammad Sultan Bintang Aulia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kampus 1
23 September 2024 11:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Sultan Bintang Aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernikahan merupakan jalinan perjanjian sakral atau akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan prempuan yang bukan mahromnya.
ADVERTISEMENT
Suatu perjalinan janji seumur hidup sampai akhir hayat nya yang dijalankan oleh keduanya dengan baik dan bahagia, pernikahan juga merupakan adanya muncul hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi masing-masing pasangan
menurut islam, pernikahan bernilai ibadah, yang mana menggenapkan agama. Selain itu, pernikahan merupakan satu diantara sunah Nabi Muhammad saw. hal ini untuk membentengi umat muslllim dari perbuatan zina.
satu di antara firman Allah Swt., yang dijadikan dasar pernikahan adalah surah An-Nur 32.
"Dan kawinlah orang-orang yang sendiri diantara kalian, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba sahaya kalian prempuan. Jika mereka mislin, Allah akan memampukan mereka denga karunia-Nya dan allah maha luas(Pemberian-Nya) lagi maha mengetahui"
bagaimana jika seseorang umat islam melakukan pernikahan lintas agama ?
Ilustrasi pernikahan beda agama, sumber: www.freepik.com
1. Pandangan hukum Nikah lintas agama menurut Empat Madzhab Islam :
ADVERTISEMENT
A. Menurut Imam Hanafi
Imam Ibnu Hanafiah berpendapat mengenai perkawinan beda agama yang terdiri dari dua hal:
Menurut Madzhab Hanafi yang dimaksud dengan ahlul al-kitab adalah siapa saja yang mempercayai Nabi dan dan kitab yang diturunkan oleh Allah SWT, termasuk orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim AS dan orang yang percaya kepaada Nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini
B. Menurut Imam Maliki
Perkawinan beda agama menurut madzhab maliki memiliki dua pendapat, yaitu:
ADVERTISEMENT
C. Menurut Imam Syafi'i
Madzhab syafi’i perkawinan beda agama adalah boleh yaitu menikahi wanita ahlu al-kitab. Akan tetapi termasuk dalam golongan wanita ahlu al-kitab menurut madzhab syafi’i adalah wanita wanita yahudi dan nasrani keturunan bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya. Pendapat Imam Syafi’I: Haram menikahi orang-orang yang Yahudi dan Nasrani sesudah Al_Qur’an diturunkan karena tidak termasuk Yahdi dan Nasrani kategori ahlu al-kitab.
ADVERTISEMENT
D. Menurut Imam Hanbali
Menurut madzhab hambali bahwa perkawinan beda agama adalah haram apabila wanita wanita musyrik, akan tetapi boleh menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Madzhab ini cederung lebih mendukung pendapat imam syafi’i, tetapi tidak membatasi tentang ahlu al-kitab adalah yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad SAW belum diutus menjadi seorang Rasul
2. Pandangan hukum nikah lintas agama menurut negara Indonesia
Perkawinan di negara ini dapat ditemui di Undang-undang No 1 Tahun 1974. Berisikan 14 bab dan 67 pasal, disertai dengan implementasinya yakni permen No 9 Tahun 1975 mengenai aturan perwujudan yang telah dilaksankan dengan ampuh mulai tanggal 1 oktober Tahun 1975. Beberapa pasal dalam UUP
ADVERTISEMENT
juga menjadi rujukan soal pernikahan beda keyakinan. Pasal 1 Undang-undang No 1 tahun 1974, yaitu:
"Perkawinan dalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal"
Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tanggal 28 Juli 2005 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 dan Pasal 44 pun sejalan dengan afirmasi Al Qur'an tersebut, dengan menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Senapas dengan pandangan tersebut, Agama Kristen juga melarang perkawinan beda agama sebagaimana tertera dalam kitab sucinya: “Perkawinan beda agama menurut agama Kristen adalah tidak dikehendaki dalam Perjanjian Lama karena khawatir kepercayaan kepada Allah Israel akan dipengaruhi ibadah asing dari pasangan yang tidak seiman” (Ezr. 9-10; Neh. 13:23-29; Mal. 2:10).
ADVERTISEMENT
Demikian juga larangan Agama Katholik dalam konteks tersebut. Menurut agama Katholik, perkawinan adalah sebuah sakramen atau sesuatu yang kudus dan suci. Salah satu halangan tercapainya tujuan perkawinan adalah adanya perbedaan agama antara suami istri.
Apabila kedua calon suami istri menyepakati melakukan perkawinan menurut satu agama tertentu, agama Islam misalnya, maka pasangan yang beragama selain Islam secara otomatis masuk Islam karena di dalam perkawinannya terdapat bacaan syahadat masuk Islam. Begitu juga jika perkawinannya dilakukan menurut agama Katholik, maka pasangan yang beragama selain Katholik pun secara otomatis masuk agama Katholik karena menurut agama Katholik perkawinan adalah sebuah sakramen, sesuatu yang kudus dan suci. Apabila perkawinannya dilakukan menurut agama Kristen, maka salah satu pasangan yang bukan beragama Kristen juga secara otomatis masuk agama Kristen karena perkawinannya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang memberi pedoman supaya perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak bertentangan dengan moderasi beragama karena hal itu sudah menjadi ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum semua agama.
Tegasnya, putusan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 supaya Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan kawin beda agama dapat diterima karena semua agama melarang perkawinan beda agama. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 8 pun melarang perkawinan antara dua orang yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin, padahal semua agama melarang kawin beda agama.