Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bahaya Bila Buta Politik
30 September 2024 12:20 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Syawal Djamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bertolt Brecht, penyair dan dramawan Jerman, pernah mengutarakan sebuah pandangan yang mengena tentang politik: “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung pada keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar ‘Aku benci politik!’ Sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan, dan yang terburuk adalah korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri.”
ADVERTISEMENT
Pernyataan Brecht tersebut menggarisbawahi pentingnya kesadaran dan keterlibatan dalam dunia politik. Sayangnya, sikap buta terhadap politik semakin menjamur di kalangan masyarakat, khususnya di antara pemuda masa kini.
Banyak pemuda yang menganggap politik sebagai urusan “orang tua” atau “bapak-bapak,” tanpa memahami bahwa keputusan-keputusan politik mempengaruhi setiap aspek kehidupan sehari-hari. Keterasingan mereka dari politik menciptakan kesenjangan pemahaman tentang bagaimana politik bekerja dan dampaknya terhadap masyarakat.
Apatisme Pemuda dan Politik
Meskipun tidak semua pemuda abai terhadap politik, semakin sedikit yang terlibat secara aktif dalam diskusi dan proses politik. Tempat berkumpul seperti café atau tongkrongan lebih banyak digunakan untuk kegiatan santai daripada diskusi mendalam tentang isu-isu politik yang mempengaruhi masyarakat. Keterlibatan pemuda dalam perdebatan yang kritis terhadap situasi politik semakin jarang terlihat, meski mereka seharusnya berperan sebagai agen perubahan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini juga terlihat dalam dunia pendidikan. Mahasiswa yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam transformasi sosial, lebih sering sibuk dengan perkuliahan demi mendapatkan ijazah untuk memasuki dunia kerja. Pendidikan tinggi yang seharusnya mengasah kemampuan berpikir kritis terhadap isu-isu politik malah dikesampingkan, karena fokus mereka lebih kepada pencapaian pribadi. Pola pikir ini bertentangan dengan prinsip tri dharma perguruan tinggi, yang sejatinya mendorong mahasiswa untuk berperan aktif dalam pengabdian masyarakat, termasuk melalui politik.
Keterlibatan mahasiswa dalam politik juga menunjukkan gejala serupa. Banyak yang terjun ke dunia politik hanya untuk mencari panggung, tanpa memahami landasan filosofis dari politik itu sendiri. Beberapa dari mereka bahkan terlibat hanya untuk mendapatkan proyek atau keuntungan dari elite politik. Akibatnya, politik berubah menjadi alat untuk kepentingan individu daripada perjuangan untuk kemaslahatan masyarakat. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab atas keterasingan pemuda dari politik, dan bagaimana cara membangkitkan kembali kesadaran politik di kalangan generasi muda.
ADVERTISEMENT
Mau diakui atau tidak, pada esensinya penyebab utama dari fenomena ini adalah terletak pada pola pendidikan dan budaya dalam keluarga. Banyak orang tua memandang pendidikan anak mereka semata-mata sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, tanpa menyadari bahwa kesejahteraan dan lapangan kerja sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik.
Maka itu, dalam lingkungan yang demikian, anak-anak tumbuh dengan pemahaman bahwa politik adalah sesuatu yang kotor dan tidak relevan dengan kehidupan mereka. Ini adalah pandangan yang keliru, mengingat politik mempengaruhi setiap aspek kehidupan kita.
Keluarga memiliki peran besar dalam membentuk pandangan politik anak-anaknya. Jika politik dipandang negatif sejak dini, maka generasi muda akan terus tumbuh dengan sikap apatis dan cenderung menjauhi partisipasi politik. Oleh karena itu, penting bagi keluarga dan lingkungan sosial untuk menanamkan nilai-nilai politik yang sehat dan rasional kepada anak-anak mereka, disertai kesadaran moral yang kuat.
ADVERTISEMENT
Keluarga memiliki peran besar dalam membentuk pandangan politik anak-anaknya. Ketika politik dipandang negatif atau bahkan dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan penuh kebohongan sejak dini, generasi muda akan cenderung tumbuh dengan sikap apatis dan menjauhi partisipasi politik.
Lahirnya Fanatisme
Sikap apatis ini menciptakan kekosongan pemahaman kritis, yang pada gilirannya kemudian membuka jalan bagi lahirnya fanatisme. Ketika individu tidak memiliki landasan rasional dalam memahami politik, mereka lebih rentan terjebak dalam pola pikir fanatik, di mana mereka mendukung tokoh atau partai politik secara buta tanpa mempertanyakan kebijakan atau tindakan yang diambil.
Fanatisme sendiri didefinisikan sebagai keyakinan atau pandangan yang dipegang secara irasional dan sulit diubah. Dalam dunia politik, fanatisme dapat menciptakan pendukung yang membabi buta, yang menolak untuk mengkritisi kebijakan atau tindakan tokoh politik yang mereka idolakan. Fanatisme ini sangat berbahaya karena menutup pintu bagi pemikiran rasional dan kritis, yang seharusnya menjadi dasar dari partisipasi politik yang sehat.
ADVERTISEMENT
Fanatisme sering dimanfaatkan oleh para politikus untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Tokoh-tokoh politik memanfaatkan loyalitas buta dari para pengikut mereka untuk mencapai kepentingan pribadi, tanpa harus bertanggung jawab atas kebijakan atau tindakan mereka.
Di era digital, fanatisme bahkan semakin diperkuat oleh media sosial dan situs-situs yang diciptakan untuk menyebarkan doktrin-doktrin politik yang mempolarisasi masyarakat.
Internet telah menjadi lahan subur bagi perkembangan fanatisme. Media sosial dan situs-situs partisan digunakan untuk menyebarkan narasi yang memperkuat dukungan tanpa syarat terhadap tokoh atau partai politik tertentu. Ini menciptakan iklim politik yang semakin terpolarisasi, di mana pendukung dari kedua belah pihak tidak mau mendengarkan atau mempertimbangkan sudut pandang lain. Hal ini berbahaya bagi perkembangan demokrasi yang sehat, karena tanpa diskusi yang terbuka dan rasional, politik berubah menjadi ajang pertarungan fanatik, bukan arena untuk mencari solusi bersama.
ADVERTISEMENT
Menjaga Jarak dari Fanatisme
Seperti yang dikatakan oleh KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah: “Kita boleh punya prinsip, asal jangan fanatik (berlebihan), karena fanatik itu ciri orang bodoh.” Fanatisme adalah jebakan yang menutup kemampuan berpikir kritis dan rasional. Untuk menghindari fanatisme, penting bagi kita, khususnya para pemuda, untuk lebih terbuka terhadap pemikiran yang objektif dan logis. Keterlibatan dalam politik harus didasari oleh pemahaman yang mendalam tentang tujuan politik itu sendiri: kemaslahatan masyarakat.
Buta politik dan fanatisme adalah dua sisi mata uang yang sama. Ketidakpedulian terhadap politik dapat melahirkan fanatisme yang membahayakan demokrasi dan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemuda untuk memahami bahwa politik adalah bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Dengan membekali diri dengan pengetahuan dan keterlibatan aktif dalam politik, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan berpihak pada kepentingan bersama.
ADVERTISEMENT