Konten dari Pengguna

Robohnya Surau Kami: Sebuah Opini

Muhammad Syifa
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Penikmat Kopi dan Kue Pisang
27 Oktober 2024 15:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Syifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Robohnya Surau Kami. Sebuah cerpen karya A.A. Navis yang masih tetap hangat dijadikan perbincangan sampai saat ini. Cerpen yang menceritakan tentang Kakek yang akhirnya bunuh diri setelah mendengar cerita pemeo dari seorang pembual bernama Ajo Sidi. Cerita tersebut adalah tentang Haji Saleh yang digambarkan serupa tokoh Kakek, senantiasa beribadat, tetapi masuk neraka karena hidupnya hanya menyembah.
ADVERTISEMENT
Penulis di sini hanya akan membahas opini penulis tentang apa-apa yang membuat penulis berhenti ketika membaca bagian-bagian di dalam cerpen tersebut. Beberapa temuan penulis ini menyentil bagaimana pada kenyataannya, justru semakin terasa dekat dengan keadaan dan realitas di zaman sekarang.
Gambaran sebuah nilai religiusitas yang mulai ditinggalkan manusia
Pada permulaan cerpen diceritakan kondisi surau yang kian parah sepeninggal Kakek. Digambarkan anak-anak yang menjadikannya sebagai taman bermain. Perempuan mencopoti dinding atau lantai kayunya untuk digunakan sebagai kayu bakar.
Dua penggambaran ini menarik perhatian penulis, bagaimana hanya anak-anak dan perempuan yang menjadi tokoh yang seolah-olah mulai tidak menghargai keadaan surau yang tidak terawat. Anak-anak yang menjadikannya sebagai taman bermain seolah-olah menggambarkan kondisi manusia yang mulai terombang-ambing tanpa arahan bagai anak-anak tanpa bimbingan orang tuanya di dalam surau. Hanya memandang agama sebagai media gurauan dan candaan.
ADVERTISEMENT
Perempuan yang mencopoti kayu-kayu di surau seakan menggambarkan manusia yang mulai kehabisan harapan hidup dan menjadikan agama sebagai ‘sumber penghidupan’. Agama dijual sebagai kepentingan politis, bisnis, dan sebagainya. Hal seperti ini dapat kita jumpai sekarang bagaimana ‘bisnis kesaktian’ diperdagangkan orang-orang beragama. Banyak oknum-oknum yang mengaku-ngaku sebagai keturunan orang yang dihormati dan mengambil keuntungan di atasnya.
Keadaan ‘mabuk agama’, beragama tanpa memandang aspek kemanusiaan
Pemeo Ajo Sidi tentang Haji Saleh menjelaskan kian mundurnya peradaban dalam hal religiusitas. Orang-orang beribadat, dan senantiasa memikirkan akhirat tetapi melupakan kehidupan duniawi. Padahal dalam beragama pun diajarkan untuk tetap seimbang dalam hal mengejar akhirat dan dunia. Tidak berat sebelah. Sebab mengejar akhirat pun dilakukan di dunia.
ADVERTISEMENT
Haji Saleh yang hanya memikirkan ibadat setiap hari tanpa memikirkan anak cucunya yang melarat dimasukkan ke neraka dan mengundang kemurkaan Tuhan. Hal tersebut menyadarkan penulis tentang apa yang ada di dunia nyata tentang orang-orang yang ‘mabuk agama’. Masih banyak orang yang berpikir dan menganggap rendah ilmu pengetahuan ‘duniawi’ dan hanya mau belajar agama dan mengaji. Padahal agar dapat memahami makna dalam kitab suci pun diperlukan ilmu mengenai kebahasaan yang ‘duniawi’. Bahkan pada masa keemasan Islam dulu pun, ilmu-ilmu ‘duniawi’ itu banyak yang dicetuskan oleh ilmuwan dari masa itu.
Keadaan ‘mabuk agama’ inilah yang dalam cerpen membuat Tuhan murka dan memasukkan mereka ke dalam neraka. Sebab mereka enggan bekerja, dan mereka hanya mau beribadat karena tidak mengeluarkan peluh dan tidak membuat mereka lelah. Mereka lupa bahwa anak-cucu mereka butuh makan untuk tetap hidup. Mereka diberikan kelimpahan alam tetapi enggan untuk merawatnya. Mereka lupa bahwa tujuan diciptakannya mereka di bumi adalah sebagai khalifah, dan hanya mementingkan diri sendiri sebab takut akan masuk neraka. Dan kondisi ‘mabuk agama’ inilah yang dalam dunia nyata membuat kita mudah terhasut dalam berbagai kepentingan yang tidak baik.
ADVERTISEMENT
Sifat sombong iblis yang menurun ke manusia
Sifat sombong terlihat pada saat Haji Saleh menceritakan semua amal ibadahnya kepada Tuhan. Dan begitu jemawanya ketika ia melihat orang-orang yang diseret ke neraka oleh malaikat. Ia beranggapan bahwa ia akan lolos masuk surga sebab kesalehannya di dunia. Padahal, sifat inilah yang dimiliki iblis.
Hal tersebut mengingatkan penulis seperti yang diabadikan dalam Alquran. Bahwa iblis enggan sujud sebab kesombongannya yang menganggap dirinya lebih mulia dari Adam. Seluruh hidupnya iblis beribadah kepada Tuhan. Tetapi dengan setitik kesombongan itu, ia dimasukkan ke dalam neraka.
Haji Saleh yang begitu bangga menceritakan amal salehnya justru membawa kemurkaan Tuhan sehingga dia dimasukkan ke dalam neraka.