Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Keselamatan Maritim di Indonesia, akankah menjadi Isu Semata?
4 Juli 2018 18:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Muhammad Taufan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Foto: http://industri.bisnis.com/)
Membahas keselamatan maritim/pelayaran di negeri ini selalu relevan bahkan penting. Hal ini mengingat Indonesia adalah negara kepulauan terbesar, dengan luas laut 6,315,222 km2 dan jumlah pulau kurang lebih 17,508. Belum lagi, frekuensi terjadinya insiden/kecelakaan kapal dapat dikatakan cukup sering terjadi, termasuk yang baru saja terjadi yaitu peristiwa tenggelamnya kapal KM Sinar Bangun dan KM Lestari Maju, maka sangat dibutuhkan upaya maksimal dari semua pihak untuk mewujudkan keselamatan maritim di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya penulis pernah mengulas hal serupa (terkait keselamatan maritim) di salah satu media nasional pada awal 2016 ketika KM Marina juga tenggelam pada akhir 2015. Namun demikian, sebagaimana disebutkan di atas bahwa isu keselamatan maritim selalu penting untuk diangkat sebagai pengingat, termasuk melalui tulisan ini. Lebih lanjut, penulis juga bermaksud mengaitkan aspek keselamatan maritim dengan Kebijakan Kelautan Indonesia (Perpres No. 16/2017) dalam tulisan ini.
(Grafik: katadata.co.id)
Perspektif Hukum Maritim Internasional
Dalam International Convention on the Safety of Life at Sea (SOLAS), keselamatan maritim mencakup tiga tingkatan yaitu keselamatan pada saat konstruksi kapal dan instalasi terkaitnya, selama masa operasi (pertama kali berlayar hingga tidak berfungsi lagi), dan pada saat berlayar Adapun UU No. 17/2008 tentang Pelayaran menjelaskan bahwa keselamatan adalah keadaan di mana terpenuhinya persyaratan keselamatan kapal yaitu antara lain: material, konstruksi, permesinan dan pelistrikan, stabilitas, dan elektronika.
ADVERTISEMENT
Secara normatif, pengaturan tentang keselamatan maritim terdapat pada berbagai instrumen hukum, regulasi dan kebijakan seperti United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982 (LOSC); beragam International Maritime Organization (IMO) Conventions: International Convention on Load Lines, 1966, the International Regulations for Preventing Collisions at Sea, 1972 (COLREGs), International Safety Management (ISM) Code; Peraturan Perundang-undangan nasional, dan sejumlah regulasi teknis perkapalan khususnya Peraturan Menteri Perhubungan.
Keselamatan Maritim dan Kebijakan Kelautan Indonesia
Berbagai peraturan tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya Perpres No. 16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) terutama Lampiran I dan II dari Perpres dimaksud. Khusus mengenai aspek keselamatan maritim Lampiran I dokumen KKI di atas, lebih tepatnya pada Bab IV tentang Tujuan dan Prinsip KKI, memuat penjelasan bahwa salah satu misi KKI adalah terlaksananya penegakan kedaulatan, hukum, dan keselamatan di laut. Pada Bab V juga diuraikan bahwa salah satu pilar KKI adalah pilar KKI yaitu pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut. Meskipun kata ‘keselamatan’ hanya disebutkan lima kali pada dokumen Lampiran I Perpres No. 16/2017, terdapat beberapa hal dan istilah lainnya yang terkait dengan keselamatan maritim atau pelayaran seperti ‘pembangunan infrastruktur maritim yang memadai’; ‘meningkatkan kualitas sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan’, ‘perlindungan lingkungan laut’, dan ‘mewujudkan tata kelola serta tata ruang kelautan yang baik’.
ADVERTISEMENT
Pada dokumen Lampiran II Perpres No. 16/2017 dijelaskan secara lebih rinci terkait Rencana Aksi KKI periode 2016-2019. Dalam Rencana Aksi ini, setidaknya terdapat enam pendekatan keselamatan maritim sebagai berikut:
1. Pembangunan kekuatan maritim dalam rangka menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim;
2. Meningkatkan atau optimalisasi kerja sama di bidang Keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan melalui forum Tripartite Technical Expert Group (TTEG) yang terdiri dari Indonesia, Malaysia dan Singapura;
3. Mencantumkan aspek keselamatan pelayaran sebagai salah satu program prioritas industri maritim dan konektivitas;
4. Percepatan penyelesaian Rancangan Peraturan Pemerintah tentang penjagaan laut dan pantai oleh Kementerian Perhubungan;
5. Ratifikasi dan implementasi konvensi internasional terkait dengan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim yang dikeluarkan oleh IMO, dan
ADVERTISEMENT
6. Peningkatan pelaksanaan operasi keamanan dan keselamatan laut yang terintegerasi oleh aparat terkait termasuk Badan Keamanan Laut (Bakamla)
Implementasi
Berbagai pengaturan dan kebijakan terkait di atas tentunya tidaklah cukup apabila tidak dibarengi dengan implementasi secara efektif. Oleh karena itu, dalam hal ini, ‘implementasi’ adalah kata kunci. Dalam pandangan penulis terdapat dua hal kunci untuk mewujudkan implementasi yang efektif sebagaimana dimaksud di atas, yaitu (i) alokasi anggaran yang memadai dan (ii) political will yang kuat utamanya dari pemerintah daerah dan operator. Mengapa pemerintah daerah dan operator? karena kedua pihak inilah yang paling bersentuhan langsung dengan aktifitas pelayaran. Namun demikian bukan berarti pihak-pihak lain tidak signifikan, justru sebaliknya, pihak-pihak lain seperti pemerintah pusat dan masyarakat tetap-lah sangat penting.
ADVERTISEMENT
Mau atau tidak, suka atau tidak, fasilitas keselamatan pelayaran yang memadai atau bahkan minimal sekalipun membutuhkan konsekuensi anggaran yang tidak sedikit. Sebut saja, berdasarkan standar/ketentuan maritim internasional dan nasional, kapal wajib memiliki pelampung dengan jumlah cukup bagi penumpang (kapasitas maksimal), petunjuk keselamatan, alat komunikasi (informasi), pemadam kebakaran, dan kru kapal yang terlatih. Selain itu, pelabuhan, darmaga dan jalur pelayaran (perairan) juga harus dipasang sarana dan prasarana navigasi seperti beacon (tanda/rambu), lampu, serta mercusuar. Berbagai fasilitas keselamatan maritim tersebut juga memerlukan perawatan secara rutin. Semua hal dimaksud di atas jelas memiliki implikasi biaya yang tidak sedikit.
Lebih lanjut, apabila ada hal yang layak untuk ditambahkan selain kedua hal di atas adalah: penegakan hukum secara tegas. Penegakan hukum utamanya perlu dilakukan oleh aparat terkait, tidak hanya setelah terjadinya insiden/kecelakaan kapal, melainkan juga difokuskan pada kelaiklautan (seaworthiness) kapal atau sebelum aktivitas pelayaran dilakukan. Hal ini sangat penting guna pencegahan dan menekan jumlah insiden kapal seminimal mungkin atau bahkan hingga tingkat zero accident. Melalui reminder dan masukan singkat ini, sangat diharapkan keselamatan maritim di perairan Indonesia semakin baik.
ADVERTISEMENT
***