Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kebangkitan Total Kekuatan Militer Jepang?
4 Januari 2023 8:07 WIB
Tulisan dari Muhammad Taufik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Jepang telah menutup tahun 2022 dengan kejutan besar bagi masyarakat dunia melalui transformasi kebijakan militer terbarunya pada pertengahan bulan Desember 2022. Kehebohan tersebut ditandai dengan disepakatinya kebijakan ekspansi militer Jepang secara besar-besaran oleh Perdana Menteri Kishida Fumio sejak berdirinya Self-Defence Forces (SDF) (nama pasukan militer milik Jepang) pasca Perang Dunia II pada tahun 1954. Lantas, alasan apakah yang mendorong Jepang dalam melakukan pengembangan total terhadap aspek militernya untuk pertama kali sejak diberlakukannya konstitusi pasifisme di negara tersebut?
ADVERTISEMENT
Langkah tersebut sebenarnya telah menjadi suatu pencapaian bersejarah bagi negara Jepang dalam menjaga perdamaian dan kedaulatan negaranya mengingat adanya ancaman militer dari negara-negara tetangganya yang semakin agresif di kawasan Asia timur, seperti halnya dominasi militer Tiongkok dan berbagai uji coba rudal balistik yang ‘sangat liar’ yang dilakukan oleh Korea Utara pada tensi Semenanjung Korea, akan menjadi argumen utama bagi peningkatan strategi keamanan Jepang pada saat ini.
Peningkatan Kapasitas dan Kapabilitas Militer Jepang
Berbicara tentang peningkatan kapasitas dan kapabilitas militer Jepang saat ini, maka hendaknya kita turut membahas tiga dokumen utama yang akan menjadi fondasi bagi era baru pembangunan kekuatan militer Jepang, yaitu national security strategy, national defence plan, dan procurement plan.
ADVERTISEMENT
Disepakatinya ketiga dokumen tersebut akan memberikan keleluasaan bagi pemerintah dalam meningkatkan alokasi pengeluaran anggaran belanja negaranya terhadap sektor keamanan dari yang sebelumnya hanya 1% dari total PDB negara, menuju angka 2% yang akan berlaku hingga tahun 2027.
Walaupun kenaikan persentase tersebut sekilas terlihat seperti angka yang kecil, namun pada kenyataannya peningkatan anggaran tersebut ternyata bernilai sebesar $320 miliar yang sekaligus akan menempatkan negara Jepang pada posisi ketiga sebagai negara dengan pembelanjaan militer terbesar di dunia, hanya berada di bawah Amerika Serikat dan Tiongkok. Oleh karena itu, dapat kita bayangkan seberapa banyak dan canggih alat-alat militer yang dapat dibeli dan dikembangkan oleh Jepang terhadap sektor pertahanan negaranya.
Selain itu, saat dunia memasuki era baru ‘Perang Dingin’, terutama dengan terus berlangsungnya perlombaan kemajuan kapabilitas alat militer seperti rudal balistik dan nuklir yang telah menjadi arena utama bagi persaingan negara-negara besar di dunia juga tidak memberikan Jepang pilihan, selain untuk ikut andil menjadi ‘peserta’ dalam perlombaan tersebut guna menjaga kemanan nasional negaranya sendiri dari ancaman negara lain. Analogi ini terbukti dengan langkah pemerintah Jepang yang akan membeli sekitar 500 rudal balistik jarak jauh Tomahawk buatan Amerika Serikat yang dapat mencapai jarak hingga lebih dari 1000 km di bawah naungan kebijakan militer terbarunya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa langkah kebijakan tersebut akan menjadi tanda awal dari kebangkitan kekuatan militer negara Jepang yang selama ini sempat ‘tertidur’ karena penerapan konstitusi pasifisme di negeri matahari terbit tersebut sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Menilik Lensa Neo-Realisme dalam Hubungan Internasional
Kebangkitan militer Jepang sebenarnya telah diprediksi oleh banyak pakar realisme hubungan internasional. Dalam artikel “The Emerging Structure of International Politics”, misalnya, Kenneth Waltz meramalkan bahwa setelah berakhirnya Perang Dingin, Jepang akan kembali menempati posisi ‘normalnya’ dalam hierarki global sebagai negara great powers. Hal ini dikarenakan oleh tingkat produktivitas masyarakat Jepang yang sangat tinggi, kebijakan ekonomi negara dengan prinsip merkantilisme, serta kemajuan teknologi negara tersebut dalam tatanan internasional.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, produktivitas yang tinggi, kekuatan ekonomi, dan kemajuan teknologi sebenarnya akan sangat mempermudah dan memungkinkan Jepang dalam membangun kembali kekuatan militernya.
Selain itu, saat kita melihat dari sudut pandang Jepang, maka teori neo-realisme akan sangat mungkin mendasari perubahan kebijakan militer negara tersebut. Kenneth Waltz dalam bukunya “Theory of International Politics”, secara singkat menyatakan bahwa dalam prinsip neo-realisme, perang dapat terjadi karena sifat anarki struktur internasional, artinya ialah tidak ada entitas yang lebih tinggi dibandingkan negara. Dalam hal ini, maka yang dapat mengontrol terjadinya perang ialah negara-negara besar yang memiliki kapasitas dan kapabilitas paling tinggi dibandingkan negara lainnya dalam suatu ‘struktur internasional’.
Lebih lanjut, dalam prinsip ini negara akan menggunakan ‘kekuatannya’ untuk mengejar keamanannya sendiri. Oleh karena itu, negara cenderung akan melakukan apa yang dikenal dengan istilah ‘balance of power’, yang artinya ialah strategi negara dalam melawan sumber ancaman. Hal ini dapat dilakukan dengan internal balancing, misalnya dengan memperkuat postur pertahan negara, maupun dengan melakukan external balancing, misalnya ialah membangun aliansi dengan negara lain.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, melalui kacata mata neo-realisme, dapat kita lihat secara jelas bahwa kebijakan militer yang dilakukan oleh Jepang pada saat ini merupakan upaya ‘balance of power’ terhadap ancaman dari kekuatan militer negara lain di kawasan Asia Timur dengan cara memperkuat kapasitas dan kapabilitas sektor pertahannya, bahkan dengan bangkit kembali menjadi salah satu kekuatan militer global di bawah kebijakan barunya. Hal ini diperkuat dengan kenyataan pahit yang pernah dirasakan oleh Jepang pada saat Perang Dunia II lalu, sebagaimana negara ini harus menerima serangan bom terhadap kawasan Nagasaki dan Hirosima, sehingga dapat kita katakan bahwa Jepang tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama di masa lalu.
Lantas, siapakah ancaman bagi keamanan nasional Jepang saat ini? seperti yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, bahwa Tiongkok dan Korea Utara lah yang menjadi ancaman terbesar bagi perdamaian Jepang.
ADVERTISEMENT
Tiongkok, misalnya, telah menjadi ancaman utama bagi keamanan Jepang dikarenakan beberapa asumsi, di antaranya ialah masalah nasionalisme Tiongkok dengan sikap yang dianggap berlebihan sehingga menimbulkan reaksi yang cenderung agresif dalam menghadapi negara-negara di kawasan Asia Timur, terutama negara-negara yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan politik Tiongkok di Laut China Selatan dan di Taiwan.
Pada Agustus 2022, sebagai contoh Tiongkok telah meluncurkan rudal pada latihan militernya di sekitar kawasan Taiwan, di mana rudal tersebut jatuh di dalam kawasan ZEE Jepang yang tentunya telah meningkatkan kewaspadaan Jepang terhadap Tiongkok. Begitu pula, keadaan semakin diperparah oleh permasalahan sengketa wilayah Pulau Senkaku oleh Jepang dan Tiongkok di kawasan Laut China Timur.
Kemudian, asumsi lainnya ialah realita bahwa Tiongkok berhasil mengembangkan persenjataan canggih yang mampu melampaui persenjataan pertahanan Jepang serta mengembangkan alat perang untuk aksi yang ofensif. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa Tiongkok merupakan negara terbesar kedua di dunia berdasarkan tingkat pembelanjaan militernya. Maka, dengan menggunakan teori neo-realisme kita dapat memahami bahwa berdasarkan struktur internasional, Tiongkok memiliki cukup kapasitas untuk mengubah sistem internasional, atau dengan kata lain mereka dapat mengatur pecahnya perang kapan pun mereka mau.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Korea Utara dengan perkembangan rudal balistik dan nuklirnya telah membuat gaduh dunia, terutama pada tahun 2022, di mana pada tahun tersebut saja Korea Utara telah menguji coba lebih dari 70 rudal balistik, termasuk sekitar 8 rudal antar benua. Hal ini semestinya semakin diperkeruh dengan kejadian terbaru pada tanggal 31 Desember 2022, di mana 3 rudal balistik Korea Utara telah jatuh di kawasan Laut Timur Jepang. Tentunya hal tersebut telah membuat Korea Utara menjadi salah satu ancaman terbesar Jepang, apalagi negara yang dipimpin oleh Kim Jong Un itu memiliki hubungan bilateral yang kuat dengan negara Tiongkok.
Transisi Jepang terhadap Konstitusi Pasifisme
Pada praktiknya, kebijakan peningkatan kapasitas militer Jepang tersebut sangat masuk akal bila dilihat dari segi urgensinya terhadap keamanan nasional negara tersebut pada saat ini. Namun bila dikaji lebih dalam, apakah kebijakan tersebut sudah selaras dengan landasan hukum yang diterapkan oleh Jepang hingga saat ini?
ADVERTISEMENT
Jawabannya adalah tidak, di mana secara garis hukum, Konstitusi 1947 Jepang sebenarnya menerapkan konsep pasifisme, terutama yang termaktub pada pasal 9 dalam konstitusi tersebut. Artinya, konstitusi tersebut secara terang-terangan menolak dan melarang Jepang untuk berpartisipasi terhadap tindakan yang berkaitan dengan unsur peperangan dan mengecam penggunaan kekuatan militer sebagai cara penyelesaian perselisihan internasional.
Dengan demikian, sebenarnya kekuatan militer Jepang yang ada pada saat ini atau dikenal dengan Self-Defence Forces (SDF) hanya terbatas secara ketat pada fungsi pertahanan negara saja. Akan tetapi, komitmen pasifisme tersebut justru akan mengakibatkan pada kerentanan negara Jepang terhadap ancaman militer dari negara-negara sekitarnya seperti Tiongkok dan Korea Utara apabila Jepang tidak melakukan pembaharuan dan penguatan terhadap aspek militernya, terutama pada momen yang penuh dengan gesekan konflik seperti yang terjadi saat ini.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, apa yang telah dilakukan oleh Jepang terhadap aspek militernya sangat dapat dibenarkan, dengan asumsi bahwa Jepang sendiri telah mendapat dukungan dari negara lainnya, atau Jepang telah mendapat ‘lampu hijau’ dari para aliansinya seperti Amerika Serikat, mengingat bahwa konstitusi pasifisme yang diterapkan oleh Jepang, sebenarnya di tujukan agar Jepang tidak menggunakan kekuatan militernya secara ofensif lagi seperti apa yang terjadi pada Perang Dunia II silam. Akan tetapi, pada saat ini Jepang mencoba untuk memperkuat aspek militernya untuk fungsi pertahanan guna menjaga perdamaian kawasan Asia Timur sekaligus untuk menjaga keamanan nasionalnya dari ancaman negara lain.
Muhammad Taufik adalah mahasiswa jurusan ilmu hubungan internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia juga merupakan mantan staf Penelitian Komahi UMY serta seorang Editorial Staf pada Journal of Paradiplomacy and City Networks.
ADVERTISEMENT