Hari Buku Nasional: Indonesia Darurat Buku

Muhammad Wafa Ridwanulloh
Editor buku PT. Pustaka Abdi Bangsa (Republika Penerbit)
Konten dari Pengguna
22 Mei 2023 15:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Wafa Ridwanulloh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi buku. Foto: dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi buku. Foto: dok. pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap tanggal 17 Mei masyarakat Indonesia memperingati Hari Buku Nasional, bertepatan dengan HUT Perpustakaan Nasional RI. Tahun ini perpusnas menuju usia yang ke-43 mengusung tema besar, yaitu transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial.
ADVERTISEMENT
Tetapi, seberapa besar atensi masyarakat dalam peringatan Hari Buku setiap tahunnya? Mungkin sebagian besar masyarakat juga tidak ngeuh bahwa setiap tanggal 17 Mei adalah peringatan hari buku. Faktor penyebabnya beragam. Bisa karena bukan tanggal merah, atau memang masyarakat tidak tahu menahu bahkan tidak peduli dengan buku dan perayaan hari buku.
Pertanyaan selanjutnya, apakah itu dipengaruhi oleh minat baca masyarakat kita yang rendah? Atau memang peringatan ini belum tersosialisasikan sehingga hanya milik mereka-mereka yang giat di dunia literasi? Mari kita sama-sama simak.

Sejarah Hari Buku Nasional

Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
Tahun 2022 merupakan tahun pertama peringatan ini digelar, bertepatan dengan tanggal berdirinya Perpustakaan Nasional RI 17 Mei 1980 silam. Hari Buku Nasional diprakarsai oleh Menteri Pendidikan Nasional era Presiden Megawati Soekarno Putri, yaitu Abdul Malik Fadjar.
ADVERTISEMENT
Tujuan dari peringatan Hari Buku di Indonesia pada dasarnya adalah karena ingin meningkatkan minat baca dan mengentaskan buta huruf. Masyarakat diharapkan lebih dekat dengan buku sebagai sumber ilmu pengetahuan dan sumber inspirasi untuk semakin kreatif dan inovatif.
Pak Malik Fadjar merasakan betul keprihatinan atas minat dan budaya membaca pada saat itu yang tergolong masih sangat rendah. Angka buta huruf juga tidak sedikit kala itu, terlebih di daerah-daerah yang jauh aksesnya terhadap bahan pustaka.
Keprihatinan bertambah tatkala melihat data saat itu Indonesia hanya mencetak 18 ribu eksemplar setiap tahunnya. Angka tersebut sangat jauh bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya pada saat itu. Jepang mencetak 40 ribu buku dan China mencetak 140 ribu buku tiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut memang tidak secara eksplisit menunjukkan minat baca di Indonesia rendah, namun secara umum semakin banyak buku dicetak, maka semakin banyak pula akses masyarakat untuk memperoleh bahan pustaka.
Kebiasaan membaca sangat diyakini dapat beriringan atau sejalan dengan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Jika ingin maju pendidikannya, maka mestilah meningkat keinginan membacanya. Ternyata, peringatan hari buku yang digagas 20 tahun-an yang lalu ini masih memberikan makna, sebab dulu dan kini masyarakat memiliki kecenderungan yang sama.
Malas membaca buku. Terlebih, hadirnya teknologi seolah mampu menggeser peran buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut juga tentu sangat banyak dan kompleks.

Hari Buku dan Darurat Membaca Buku

Ilustrasi buku. Foto: Shutter Stock
Jika mau sejenak memperhatikan atau mengingat-ingat kembali, indeks literasi negara Indonesia selalu "diposisikan" pada urutan tiga besar terbawah dalam berbagai hasil survei Internasional. Saya tidak ingin mengulas data dan angka itu pada tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Jelasnya, Indonesia sering dianggap sebagai negara yang "aliterat" atau "bodoh" karena masyarakatnya enggan membaca, terutama membaca buku sebagai sumber pengetahuan. Hal tersebut malah berbanding terbalik dengan data semiocast.com yang menyebutkan bahwa warganet Indonesia ada di urutan pertama tweet terbanyak tiap harinya, mengalahkan warganet Amerika Serikat.
Tidak ada yang salah sebetulnya, sebab itu merupakan salah satu bentuk kebebasan berekspresi. Namun, akan jauh lebih keren jika kicauan-kicauan di media sosial diimbangi dengan mapannya ilmu pengetahuan. Agar kicauan itu bermakna buka malah mengandung misinformasi atau bahkan memecah belah persatuan.
Masalah rendahnya minat baca di Indonesia, dalam sudut pandang yang lain juga tidak bisa hanya dengan mendorong masyarakat agar gemar membaca. Para pemangku kebijakan juga mestinya memikirkan bagaimana masyarakat dapat memperoleh bahan baca yang layak.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit juga masyarakat Indonesia yang ingin membaca tapi tidak ada atau jauh dari akses bahan bacaan. Bukannya sudah ada e-book di gawai? Tentu kemajuan teknologi bukan alasan untuk hanya sekedar mengalihkan bahan bacaan dari bentuk cetak ke digital.
Di berbagai wilayah masih ada yang belum melek digital, lagipula efektivitas membaca digital dengan membaca buku cetak jauh berbeda. Membaca buku digital nyaris dapat dipastikan berisiko terhadap sinar radiasi, mata mudah lelah, dan mudah terdistraksi oleh hal-hal lain seperti notifikasi.
UNESCO memberikan standar terhadap buku atau bahan pustaka, yaitu satu orang harus membaca buku minimal tiga buku tiap tahunnya. Bila kita melihat data masyarakat di Asia Timur, Eropa, dan Amerika Serikat rata-rata sudah mampu 15-30 buku per tahunnya.
Ilustrasi toko buku. Foto: Shutterstock
Standar minimal ini pastinya harus sejalan dengan keberadaan buku itu sendiri. Sebut saja penduduk Indonesia adalah 270 juta penduduk, jika dikali tiga buku, maka butuh 810 juta buku yang harus beredar setiap tahunnya. Sementara, Indonesia di tahun 2020 hanya memiliki jumlah bacaan di angka 22.318.083 buku.
ADVERTISEMENT
Melihat hal tersebut, kita akan merasakan kompleksnya permasalahan literasi di Indonesia. Kalau pun angka 810 juta eksemplar itu dialihkan ke dalam bentuk digital, tetap saja masyarakat masih memiliki kesulitan akses.
Masalah itu diperparah juga dengan banyaknya beredar buku-buku bajakan yang dibaca oleh masyarakat. Bahkan tidak sedikit orang sengaja mengoleksi buku-buku bajakan. Tentu ini merupakan kejahatan intelektual karena buku bajakan adalah bentuk pencurian gagasan.
Buku bajakan yang terjual tidak akan memberikan arti untuk penulis. Undang-Undang Hak Cipta tidak memberikan efek jera kepada para pengedar dan pembeli buku bajakan. Miris memang. Oleh karena itu, kita juga tidak boleh terus berlarut dalam permasalahan indeks minat baca yang rendah. Kita mesti mulai berpikir bagaimana menghadirkan bahan bacaan yang merata, berkualitas, baik digital, terutama cetak.
ADVERTISEMENT
Caranya? Dukung para penulis untuk terus menulis dan menghasilkan karya-karya bermanfaat. Jangan sampai kita membaca buku bajakan yang dapat merugikan penulis, maupun penerbit buku. Kita juga mesti mendukung industri penerbitan buku, baik lokal maupun nasional, sebagai UMKM yang membantu mencetak dan mendistribusikan buku.
Mulai dari diri sendiri untuk meningkatkan kepedulian terhadap dunia membaca. Lebih keren lagi jika punya perpustakaan pribadi di kampung halaman yang dapat diakses oleh masyarakat.
Bayangkan, jika tiap RT di Indonesia memiliki fasilitas perpustakaan yang lengkap, tentu akses terhadap buku akan semakin meningkat, masyarakat juga semakin cerdas, hingga output-nya mereka mau menulis dan menerbitkan buku. Dengan begitu, Indonesia tidak akan kekurangan pembaca, penulis, dan bahan baca.
ADVERTISEMENT
Tidak mudah memang, karena masalahnya juga kompleks. Tetapi, barangkali kita bisa mulai dari diri kita dan lingkungan sekitar untuk berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemajuan dunia buku.
Sudahkah kamu membaca hari ini?