Konten dari Pengguna

Melampaui Algoritma: Menjaga Ruh Bahasa di Era Disrupsi Digital

Muhammad Wildan Suyuti
Mahasiswa Magister Linguistik UGM
6 Mei 2025 13:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Wildan Suyuti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret ibu-ibu yang menggendong anak kecil sedang mengobrol dengan temannya. Foto oleh Arif Wijaksana/unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Potret ibu-ibu yang menggendong anak kecil sedang mengobrol dengan temannya. Foto oleh Arif Wijaksana/unsplash
ADVERTISEMENT
Bayangkan, saat ini di genggaman tanganmu sebuah ponsel pintar mampu menerjemahkan ratusan bahasa dalam sekejap mata. Keren? Tentu saja, tapi tunggu dulu! Di era teknologi yang semakin menjamur ini, bahasa bukan lagi sekadar alat untuk mengobrol santai. Melainkan telah menjadi medan pertempuran sungguhan, arena kontestasi identitas budaya yang kian terancam oleh invasi digital.
ADVERTISEMENT
Koentjaraningrat (1974) pernah mengingatkan kita bahwa bahasa merupakan cermin dari kebudayaan, tempat nilai-nilai masyarakat tersimpan dan diwariskan. Namun, ketika algoritma mulai mengambil alih percakapan kita, yang menjadi pertanyaannya: masihkah kita memiliki kendali atas cermin budaya tersebut?
Bahasa sebagai Wadah Kearifan Lokal: Lebih Dari Sekadar Kata-kata
Sekarang, coba deh renungkan, kenapa peribahasa "ada ubi ada talas, ada budi ada balas" terasa lebih mengena daripada terjemahan harfiah "one good turn deserves another"? Jawabannya sederhana namun mendalam. Iya, karena bahasa lokal membawa muatan kultural yang tak terterjemahkan secara utuh!
Ki Hadjar Dewantara dalam esainya tentang pendidikan dan kebudayaan menegaskan jika bahasa bukan hanya alat, namun juga isi dari kebudayaan itu sendiri. Bayangkan kekayaan filosofis yang terkandung dalam ungkapan Jawa seperti "Alon-alon waton kelakon" hal tersebut bukan sekadar "pelan-pelan asal terlaksana" melainkan sebuah pandangan hidup yang mengutamakan proses, kesabaran, dan kebijaksanaan. Lantas, dapatkah AI seperti ChatGPT menangkap nuansa ini dengan sempurna?
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Fishman (1991) dalam karyanya yang monumental "Reversing Language Shift: Theoretical and Empirical Foundations of Assistance to Threatened Languages" mengingatkan dengan tegas bahwa kehilangan bahasa adalah kehilangan budaya, dan kehilangan budaya adalah kehilangan identitas. Pernyataan ini bukanlah sekadar retorika akademis, namun alarm yang memekakkan telinga terkait krusialnya bahasa sebagai benteng terakhir identitas bangsa.
Disrupsi Bahasa di Era Digital
Saat ini kita hidup di zaman mesin mampu bercakap-cakap, menulis puisi, bahkan membuat lelucon, hingga menyanyi. Fenomena ini oleh Harari (2018) disebut sebagai bentuk "kolonialisasi digital" yang mengubah lanskap kebahasaan kita. Bahkan bisa jadi kalau algoritma lebih mengetahui kita lebih baik daripada kita mengenal diri sendiri. Hal itu termasuk cara kita berbahasa maupun mengekspresikan diri.
ADVERTISEMENT
Menengok penjelasan Woolard (1998) pada bukunya yang berjudul "Language Ideology: Practice and Theory" dia menekanakan bahwa revolusi bahasa terjadi ketika ada pergeseran fundamental dalam cara bahasa digunakan, dinilai, dan dipahami oleh masyarakat. Nah, bukankah itu yang terjadi saat ini? Revolusi yang terjadi begitu diam-diam namun massif dan teratur, bahkan berhasil mengubah bukan hanya diksi yang kita pilih, tapi juga cara kita berpikir dan memaknai dunia.
Sekarang, coba perhatikan sejenak: berapa kali dalam sehari kamu menggunakan ungkapan seperti "googling", "DM", atau "scroll" istilah-istilah yang mungkin saja tak dikenal kakek-nenek kita? Inilah bukti nyata bahwa revolusi bahasa sedang berlangsung, dan platform digital menjadi katalisatornya!
Kebijakan Pemertahanan Bahasa: Dari Nostalgia ke Strategi
Menghadapi tsunami digital ini, kita tidak bisa hanya berpangku tangan atau sekadar bernostalgia. Kita butuh strategi konkret! Dardjowidjojo (2003) menekankan bahwa kebijakan bahasa yang baik harus mempertimbangkan aspek historis, sosiologis, dan psikologis dari masyarakat penuturnya.
ADVERTISEMENT
Beberapa alternatif kebijakan yang patut dipertimbangkan:
1. Integrasi kearifan lokal dalam pengembangan AI berbahasa Indonesia. Daripada sekadar menerjemahkan teknologi dari Silicon Valley, mengapa tidak menciptakan AI yang memahami bahwa "jam karet" bukan sekadar tentang keterlambatan, tapi juga fenomena sosiokultural yang unik? AI yang mempertimbangkan konteks lokal akan jauh lebih bermakna daripada AI yang sekadar meniru pola bahasa global.
2. Dokumentasi digital bahasa-bahasa daerah yang interaktif. Bayangkan aplikasi yang tidak hanya menerjemahkan "Kumaha damang?" ke "Apa kabar?", tapi juga menjelaskan konteks budaya Sunda di baliknya. Teknologi seharusnya menjadi sekutu, bukan musuh, dalam pelestarian bahasa daerah.
3. Pendidikan multibahasa berbasis teknologi yang fun dan engaging. Generasi Z dan Alpha tidak akan tertarik belajar bahasa daerah jika metodenya masih seperti di era 80-an. Kita butuh pendekatan yang mengintegrasikan teknologi, storytelling, dan gamifikasi untuk membuat pembelajaran bahasa lokal menjadi seru!
ADVERTISEMENT
Melampaui Distraksi: Menuju Revolusi Bahasa yang Bermakna
Hagège (2009) dalam tulisannya yang berjudul "On the Death and Life of Languages" mengingatkan jika suatu bahasa hilang maka akan membawa serta kepunahan cara berpikir dan melihat dunia yang unik. Pernyataan tersebut seharusnya menggugah kita untuk tidak hanya peduli, tapi juga bertindak!
Han (2020) mengkritisi bahwa fenomena komunikasi digital tidak hanya menghapus jarak, tetapi juga menghapus kesakralan. Dalam konteks Indonesia, kesakralan itu terletak pada pantun pembuka pidato, pada petuah-petuah nenek moyang yang disampaikan lewat peribahasa, atau pada legenda-legenda yang diceritakan lewat bahasa yang kaya metafora. Apakah kita rela kehilangan semua itu demi efisiensi komunikasi yang ditawarkan AI?
Kesimpulan
Revolusi bahasa yang dipicu oleh platform digital tidak harus berakhir dengan kepunahan bahasa dan kearifan lokal. Kita tidak perlu menjadi neo-Luddite yang menolak teknologi, tapi juga tidak boleh menjadi tech-junkie yang mengadopsi segalanya tanpa filter. Dengan pendekatan yang tepat dan strategis, teknologi justru akan menjadi sekutu dalam pemertahanan identitas budaya.
ADVERTISEMENT
Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan "Karena bahasa adalah pendekar budaya, maka bahasa adalah benteng terakhir dari sebuah identitas". Mari kita jadikan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah kita sebagai pendekar yang tangguh di era digital ini, pendekar yang mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.
Terakhir, AI boleh saja menguasai sintaksis dan tata bahasa dengan sempurna, tapi hanya manusia yang bisa memahami bahwa ketika nenek kita berkata "makan dulu, nak" bukan hanya tentang mengisi perut, tapi juga tentang kasih sayang yang tak tergantikan oleh algoritma secanggih apapun.
Referensi:
Dardjowidjojo, S. (2003). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Yayasan Obor Indonesia.
Fishman, J. A. (1991). Reversing Language Shift: Theoretical and Empirical Foundations of Assistance to Threatened Languages. Multilingual Matters.
ADVERTISEMENT
Hagège, C. (2009). On The Death and Life of Languages. Yale University Press.
Han, B. C. (2020). The Disappearance of Rituals: A Topology of the Presents. Polity Press.
Harari, Y. N. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. Spiegel & Grau.
Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia.
Woolard, K. A. (1998). Language Ideologies: Practice and Theory Oxford University Press.