Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Batas Kekuasaan Presiden dalam Penerbitan PERPPU pada Kondisi Darurat
6 November 2024 13:01 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Yazid Al-Faizi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wewenang Presiden dalam Membuat PERPPU: Tinjauan Hukum Administrasi Negara
ADVERTISEMENT
Keadaan darurat merupakan situasi yang tak terhindarkan dalam kehidupan bernegara. Ketika kondisi normal terganggu, diperlukan aturan hukum khusus untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara.
ADVERTISEMENT
Penerapan prinsip negara hukum mengharuskan negara menjamin hak asasi manusia, seperti hak hidup, kebebasan, dan keamanan. Namun demikian, dalam praktiknya, pemenuhan hak-hak tersebut bersifat dinamis dan dapat dipengaruhi oleh kondisi darurat. Oleh karena itu, diperlukan kerangka hukum yang fleksibel namun tegas untuk mengakomodasi berbagai situasi yang mungkin terjadi.
Konstitusi, sebagai landasan hukum tertinggi suatu negara, menjadi rujukan utama dalam mengakomodasi prinsip-prinsip kedaruratan. Sifatnya yang sakral di berbagai negara membuatnya menjadi fondasi yang sulit digoyahkan.
Sebagai antisipasi terhadap situasi darurat, UUD 1945 telah memberikan payung hukum bagi Presiden untuk mengambil langkah-langkah khusus. Tata cara dan batasan kewenangan Presiden dalam keadaan darurat diatur lebih lanjut dalam UU No. 23 Tahun 1959.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959, Presiden berwenang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam kondisi darurat. Mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan kita mewajibkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan verifikasi dan ratifikasi terhadap Perppu yang telah diterbitkan. Dengan demikian, kewenangan pembentukan Perppu merupakan kewenangan atributif Presiden yang tetap berada di bawah pengawasan DPR.
ADVERTISEMENT
Intinya, setiap tindakan pemerintahan harus memiliki landasan hukum yang kuat. Undang-Undang Dasar dan undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, secara tegas mengatur pemberian wewenang kepada lembaga atau pejabat pemerintah. Mekanisme pemberian wewenang ini diatur secara detail dalam Pasal 12 UU Adminduk.
Tata cara pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) telah diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014. Undang-undang ini mengatur kapan Perppu bisa dikeluarkan, bagaimana proses persetujuan atau penolakannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat, serta jangka waktu yang diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk meninjau kembali Perppu tersebut.
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 mengatur tata cara pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam kondisi darurat, seperti bencana besar atau ancaman keamanan negara. Tujuannya adalah untuk memastikan tindakan pemerintah dalam situasi mendesak selalu sesuai dengan konstitusi.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dapat diterbitkan dalam kondisi darurat yang sangat mendesak. Namun, untuk memastikan bahwa Perppu tersebut sesuai dengan kehendak rakyat, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak Perppu yang akan diterbitkan.
Mengukur Batas Kewenangan Presiden dalam Menerbitkan PERPPU Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam hal pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi memiliki peran sentral dalam menjaga kedaulatan hukum dan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Mekanisme kontrol publik terhadap produk legislasi merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi dan masyarakat dapat membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan dalam menjaga nilai-nilai demokrasi.
Negara hukum demokratis telah mengalami perkembangan yang dinamis. Dari sekadar negara hukum formal, kini negara dituntut untuk menjadi negara kesejahteraan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Hubungan timbal balik antara rakyat, penguasa, dan lembaga peradilan menjadi pilar penting dalam mewujudkan cita-cita demokrasi, sebagaimana yang dijalankan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, selain undang-undang, terdapat aturan lain yang disebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu ini unik karena hanya Presiden yang berhak mengeluarkannya dalam kondisi darurat yang sangat mendesak. Tidak ada aturan baku yang jelas tentang apa yang dianggap sebagai 'kegentingan yang memaksa' ini, sehingga wewenang Presiden dalam hal ini sangatlah luas.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) masih menjadi perdebatan hangat, terutama setelah Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Perlunya Membuat Batasan Pada Materi PERPPU untuk Mencegah Penyalahgunaan Kekuasaan
Aturan tentang kapan Presiden boleh mengeluarkan Perppu masih belum jelas. Presiden harus bisa menjelaskan kenapa dia merasa perlu mengeluarkan Perppu dalam situasi tertentu. Apakah masalahnya benar-benar sangat mendesak sehingga harus langsung dibuat aturan baru? Presiden harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa negara sedang menghadapi masalah besar yang harus segera diselesaikan dengan cara yang tidak biasa.
ADVERTISEMENT
Praktik pembentukan Perppu yang seringkali tidak memenuhi syarat kekosongan hukum dan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan adanya masalah serius dalam legislasi darurat. Konsep kekosongan hukum yang terlalu longgar perlu dipertegas untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Perppu di Indonesia saat ini juga tidak memiliki batasan yang jelas mengenai materi apa saja yang boleh diatur. Padahal, kekuasaan yang begitu luas ini berpotensi disalahgunakan, terutama jika jatuh ke tangan seorang Presiden yang tidak memahami hukum atau cenderung bertindak sewenang-wenang. Negara-negara lain, seperti Brazil dan Argentina, telah lebih bijaksana dengan membatasi materi Perppu pada hal-hal yang sangat mendesak dan tidak menyentuh ranah-ranah sensitif seperti hak asasi manusia, hukum pidana, dan keuangan negara. Dengan demikian, mereka dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan melindungi kepentingan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dengan membatasi materi Perppu, kita ingin menjaga agar lembaga-lembaga yang seharusnya bekerja secara mandiri, seperti lembaga peradilan atau lembaga penyelenggara pemilu, tidak terpengaruh oleh kepentingan politik sesaat atau tindakan otoriter pemerintah. Baik di Brazil maupun Argentina, bidang pemilihan umum dan hukum pidana dianggap sangat penting untuk dijaga kemandiriannya, sehingga diatur dalam undang-undang khusus. Mahkamah Konstitusi kita juga sependapat bahwa hukum pidana memiliki dampak yang sangat besar pada kehidupan masyarakat, sehingga pembentukannya harus melalui proses yang demokratis dan melibatkan seluruh komponen bangsa.
Referensi
Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, (2021). Perppu dalam Teori dan Praktik. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
Marpoyan Tujuh, (2017). Hukum Administrasi Negara. (Pekanbaru: Marpoyan Tujuh Publishing)
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, (2021). Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep, dan Isu Strategis. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009