Konten dari Pengguna

Pembatasan Kekuasaan Presiden Membentuk PERPPU dalam Kondisi Darurat

Muhammad Yazid Al-Faizi
Fresh Graduate from UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Bachelor Of Law, Comparative Maddhab Study Faculty of Sharia and Law)
5 November 2024 14:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Yazid Al-Faizi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Dokumentasi Pribadi

Wewenang Presiden dalam Membuat PERPPU: Tinjauan Hukum Administrasi Negara

ADVERTISEMENT
Keadaan darurat merupakan situasi yang tak terhindarkan dalam kehidupan bernegara. Ketika kondisi normal terganggu, diperlukan aturan hukum khusus untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara.
ADVERTISEMENT
Penerapan prinsip negara hukum mengharuskan negara menjamin hak asasi manusia, seperti hak hidup, kebebasan, dan keamanan. Namun demikian, dalam praktiknya, pemenuhan hak-hak tersebut bersifat dinamis dan dapat dipengaruhi oleh kondisi darurat. Oleh karena itu, diperlukan kerangka hukum yang fleksibel namun tegas untuk mengakomodasi berbagai situasi yang mungkin terjadi.
Konstitusi, sebagai landasan hukum tertinggi suatu negara, menjadi rujukan utama dalam mengakomodasi prinsip-prinsip kedaruratan. Sifatnya yang sakral di berbagai negara membuatnya menjadi fondasi yang sulit digoyahkan.
Konstitusi Indonesia telah mengantisipasi adanya keadaan darurat melalui pengaturan dalam Pasal 12 dan 22 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 12 secara khusus memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, dengan syarat dan akibat hukum yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang, merupakan implementasi langsung dari ketentuan konstitusi tersebut. Undang-undang ini mengatur secara rinci mengenai prosedur penetapan keadaan bahaya, jenis-jenis keadaan darurat, serta kewenangan Presiden dalam mengambil tindakan dalam situasi darurat.
ADVERTISEMENT
Pasal 22 UUD 1945 memberikan mandat kepada Presiden untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan kita mewajibkan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan verifikasi dan ratifikasi terhadap Perppu yang telah diterbitkan. Dengan demikian, kewenangan pembentukan Perppu merupakan kewenangan atributif Presiden yang tetap berada di bawah pengawasan lembaga perwakilan rakyat.
Intinya, wewenang atau kekuasaan untuk melakukan sesuatu dalam pemerintahan itu diberikan langsung oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang lainnya. Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adminduk) di Pasal 1 angka 22 menyebutkan hal ini. Jadi, kalau ada aturan atau kebijakan pemerintah, itu harus punya dasar hukum yang kuat, yaitu undang-undang. Lebih jelasnya lagi, bagaimana cara memberikan wewenang ini diatur secara rinci di Pasal 12 UU Adminduk.
ADVERTISEMENT
Tata cara pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) telah diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014. Undang-undang ini mengatur kapan Perppu bisa dikeluarkan, bagaimana proses persetujuan atau penolakannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat, serta jangka waktu yang diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk meninjau kembali Perppu tersebut.
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 telah memberikan pengaturan yang komprehensif mengenai tata cara penyusunan Perppu. Menteri yang memiliki kewenangan dalam bidang yang diatur dalam Perpu akan ditunjuk oleh Presiden untuk merumuskan materi muatan Perpu dan menyiapkan rancangan undang-undang sebagai tindak lanjut atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan ini bertujuan untuk menjamin bahwa penerbitan Perppu dilakukan secara tepat dan sesuai dengan prinsip darurat yang memaksa sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dapat diterbitkan dalam kondisi darurat yang sangat mendesak. Kondisi ini menuntut adanya aturan hukum baru yang segera berlaku untuk mengatasi permasalahan darurat yang terjadi. Kewenangan untuk mengeluarkan Perppu secara formal memang berada pada Presiden. Namun, untuk memastikan bahwa Perppu tersebut sesuai dengan kehendak rakyat, maka Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak Perppu yang akan diterbitkan.

Mengukur Batas Kewenangan Presiden dalam Penerbitan PERPPU Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam hal pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi memiliki peran sentral dalam menjaga kedaulatan hukum dan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Mekanisme kontrol publik terhadap produk legislasi merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi dan masyarakat dapat membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan dalam menjaga nilai-nilai demokrasi.
ADVERTISEMENT
Negara hukum demokratis telah mengalami perkembangan yang dinamis. Dari sekadar negara hukum formal, kini negara dituntut untuk menjadi negara kesejahteraan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Hubungan timbal balik antara rakyat, penguasa, dan lembaga peradilan menjadi pilar penting dalam mewujudkan cita-cita demokrasi, sebagaimana yang dijalankan di Indonesia.
Di Indonesia, selain undang-undang, terdapat aturan lain yang disebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu ini unik karena hanya Presiden yang berhak mengeluarkannya dalam kondisi darurat yang sangat mendesak. Tidak ada aturan baku yang jelas tentang apa yang dianggap sebagai 'kegentingan yang memaksa' ini, sehingga wewenang Presiden dalam hal ini sangatlah luas.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) masih menjadi perdebatan hangat, terutama setelah Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
ADVERTISEMENT

Perlunya Batasan Materi PERPPU untuk Mencegah Penyalahgunaan Kekuasaan

Foto : Dokumentasi Pribadi
Aturan tentang kapan Presiden boleh mengeluarkan Perppu masih belum jelas. Presiden harus bisa menjelaskan kenapa dia merasa perlu mengeluarkan Perppu dalam situasi tertentu. Apakah masalahnya benar-benar sangat mendesak sehingga harus langsung dibuat aturan baru? Presiden harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa negara sedang menghadapi masalah besar yang harus segera diselesaikan dengan cara yang tidak biasa.
Konsep 'kekosongan hukum' yang menjadi dasar pembentukan Perppu perlu dikaji ulang. Apakah kekosongan ini merujuk pada ketiadaan aturan sama sekali atau ketidaksesuaian aturan yang ada dengan permasalahan? Pembentukan Perppu seringkali menggantikan undang-undang sebelumnya, padahal belum tentu memenuhi syarat kekosongan hukum. Selain itu, keterbatasan waktu bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat undang-undang sering dijadikan alasan untuk menerbitkan Perppu, meskipun perubahan yang dilakukan terkadang sangat minim. Praktik ini bertentangan dengan interpretasi Mahkamah Konstitusi terkait syarat pembentukan Perppu.
ADVERTISEMENT
Perppu di Indonesia saat ini tidak memiliki batasan yang jelas mengenai materi apa saja yang boleh diatur. Padahal, kekuasaan yang begitu luas ini berpotensi disalahgunakan, terutama jika jatuh ke tangan seorang Presiden yang tidak memahami hukum atau cenderung bertindak sewenang-wenang. Negara-negara lain, seperti Brazil dan Argentina, telah lebih bijaksana dengan membatasi materi Perppu pada hal-hal yang sangat mendesak dan tidak menyentuh ranah-ranah sensitif seperti hak asasi manusia, hukum pidana, dan keuangan negara. Dengan demikian, mereka dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan melindungi kepentingan masyarakat.
Dengan membatasi materi Perppu, kita ingin menjaga agar lembaga-lembaga yang seharusnya bekerja secara mandiri, seperti lembaga peradilan atau lembaga penyelenggara pemilu, tidak terpengaruh oleh kepentingan politik sesaat atau tindakan otoriter pemerintah. Baik di Brazil maupun Argentina, bidang pemilihan umum dan hukum pidana dianggap sangat penting untuk dijaga kemandiriannya, sehingga diatur dalam undang-undang khusus. Mahkamah Konstitusi kita juga sependapat bahwa hukum pidana memiliki dampak yang sangat besar pada kehidupan masyarakat, sehingga pembentukannya harus melalui proses yang demokratis dan melibatkan seluruh komponen bangsa.
ADVERTISEMENT

Referensi

Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, (2021). Perppu dalam Teori dan Praktik. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
Marpoyan Tujuh, (2017). Hukum Administrasi Negara. (Pekanbaru: Marpoyan Tujuh Publishing)
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, (2021). Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep, dan Isu Strategis. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009