Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sekolah Rakyat 2025: Menjembatani Jurang Ketimpangan Pendidikan
5 Mei 2025 16:01 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Muhammad Yusuf Khatami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bayangkan sebuah pemandangan di sebuah desa kecil! Anak-anak berpakaian seragam putih-merah berbaris rapi di lapangan, wajah mereka ceria menyambut hari pertama masuk sekolah. Di tengah kerumunan itu, terdapat seorang anak laki-laki membawa keranjang berisi botol plastik. Ia tidak mengikuti teman-temannya masuk ke ruang kelas; tuntutan kehidupan memaksanya mencari nafkah untuk membantu keluarga. Ilustrasi ini mencerminkan realitas pahit dunia pendidikan kita. Banyak anak terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena keterbatasan ekonomi. Data menunjukkan angka yang mencengangkan: pada tahun ajaran 2024/2025, tercatat 38.540 siswa SD, 12.210 siswa SMP, 6.716 siswa SMA, dan 9.391 siswa SMK terpaksa putus sekolah. Berdasarkan Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), faktor ekonomi menjadi penyebab utama putusnya pendidikan anak-anak. Sebanyak 76% orang tua mengakui anak mereka tidak dapat melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya. Dari persentase tersebut, 67% menyatakan tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara 8,7% lainnya terpaksa bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Di tengah pencanangan Sekolah Rakyat oleh pemerintah pada tahun 2025, data ini semakin menegaskan urgensi penanganan masalah tersebut. Pendidikan yang adil seharusnya menjadi jalan bagi setiap anak meraih masa depan gemilang, bukan malah memperlebar jurang kesenjangan di tengah ketimpangan sosial yang kian mencolok.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan Pendidikan di Indonesia
Ketimpangan dalam akses dan kualitas pendidikan di Indonesia bagaikan jurang yang lebar, memisahkan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara golongan kaya dan miskin. Berdasarkan data BPS pada Maret 2023, disparitas ini terungkap melalui angka yang mencolok: sebanyak 5,11% penduduk desa belum pernah mengenyam pendidikan formal, sementara 12,39% lainnya putus sekolah sebelum menamatkan Sekolah Dasar. Di perkotaan, kondisinya lebih baik dengan hanya 1,93% warga yang belum pernah sekolah da wen 6,62% tidak menyelesaikan pendidikan dasar. Jika merujuk pada capaian pendidikan tingkat lanjut, perbedaannya semakin tajam. Hampir separuh populasi perkotaan (49,16%) telah menyelesaikan pendidikan menengah atas atau sederajat, sedangkan di pedesaan angka ini hanya mencapai 27,98%. Lebih dari itu, mayoritas anak di desa hanya berhasil menyelesaikan pendidikan dasar, dengan 31,13% penduduk desa berhenti pada jenjang tersebut. Konsekuensi dari ketimpangan ini adalah penurunan drastis harapan hidup berkualitas begitu kaki meninggalkan kenyamanan infrastruktur perkotaan.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan fasilitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia menjadi bukti nyata disparitas akses pendidikan. Sekolah-sekolah di kota besar umumnya dilengkapi sarana memadai: laboratorium sains, perpustakaan digital, lapangan olahraga, hingga ketersediaan listrik dan internet stabil. Sebaliknya, banyak sekolah di pedesaan masih berjuang melawan kondisi fisik bangunan yang memprihatinkan. Ruang kelas tergenang air saat hujan, atap bocor, meja kursi rusak, bahkan minim akses air bersih. Istilah ‘sekolah dengan atap bocor’ bukanlah kiasan, melainkan realitas pahit yang dialami ribuan siswa di pelosok negeri. Kesenjangan ini semakin melebar akibat distribusi tenaga pendidik yang tidak merata. Indonesia tengah menghadapi krisis guru, terutama di daerah terpencil. Pada tahun 2024 lalu, jumlah guru nasional berkurang drastis sebanyak 1.312.759 orang akibat pensiun massal guru senior, sementara minat generasi muda menjadi guru terus menurun. Ironisnya, ketimpangan ini terjadi secara kontras. Di satu sisi, banyak daerah pedesaan kekurangan guru hingga harus menggabungkan beberapa tingkat kelas dalam satu ruang atau sekolah multigrade. Di sisi lain, wilayah perkotaan justru mengalami surplus tenaga pengajar. Fenomena ini mencerminkan ketidakseimbangan sistemik. Seperti langit dan bumi, anak-anak desa berjuang keras mencari pendamping belajar, sementara di kota tenaga pendidik berlomba mengisi kuota yang sudah terbatas.
ADVERTISEMENT
Dari aspek sosial, kemiskinan struktural menjadi faktor yang memperparah masalah. Sebanyak 76% keluarga miskin menyatakan bahwa keterbatasan ekonomi menjadi alasan utama putusnya pendidikan anak-anak mereka. Kondisi ini memaksa orang tua memprioritaskan kebutuhan dasar keluarga, bahkan terpaksa mengorbankan masa depan pendidikan anak. Contohnya, seorang penjaga parkir di Lampung harus menarik tiga anaknya dari sekolah karena tidak memiliki cukup dana untuk membiayai pendidikan mereka. Realitas ini mengungkapkan bahwa negeri ini tidak kekurangan anak berbakat, tetapi gagal memberikan kesempatan yang layak bagi mereka yang lahir dalam lingkaran kemiskinan. Ketimpangan pendidikan ini dapat diibaratkan sebagai jalan berbatu yang diapit jurang curam. Di satu sisi, anak-anak dari keluarga berada melaju kencang dengan mobil mewah, sementara di sisi lain, anak-anak dari keluarga miskin tersandung di jalanan berbatu, berjuang keras mencari celah untuk bangkit. Data-data di atas menegaskan fakta pahit bahwa pendidikan di Indonesia masih berat sebelah.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sekolah Rakyat 2025: Program dan Harapan
Merespons ketimpangan pendidikan yang mencolok antara kelompok miskin dan non-miskin, pemerintah meluncurkan program ambisius Sekolah Rakyat 2025 sebagai upaya strategis untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan berkualitas. Program ini dihadirkan sebagai solusi konkret untuk menyamakan peluang pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin hingga miskin ekstrem. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memprioritaskan percepatan pembangunan Sekolah Rakyat untuk memberdayakan anak-anak yang terjebak dalam kondisi ekonomi sulit. Berikut poin-poin utama program ini:
ADVERTISEMENT
Capaian utama Sekolah Rakyat adalah memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Seperti ditegaskan Gus Ipul, program ini bertujuan membangkitkan kaum dhuafa agar menjadi kelompok yang berdaya dan mampu memimpin masa depan bangsa. Sebagai bagian dari visi Indonesia Emas 2045, Sekolah Rakyat mendukung terciptanya generasi emas yang lahir dari sistem pendidikan inklusif. Program ini juga menjadi wujud komitmen Asta Cita (Enam Cita-Bangsa) untuk mewujudkan pemerataan pendidikan, memastikan setiap rakyat Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk maju.
Kritik dan Tantangan Program
Meski diluncurkan dengan tujuan mulia untuk memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan, program Sekolah Rakyat 2025 tak lepas dari kritik dan tantangan yang perlu dicermati. Sejumlah pengamat mempertanyakan apakah pembangunan sekolah baru ini benar-benar menjawab akar masalah ketimpangan pendidikan yang lebih disebabkan oleh infrastruktur dan sumber daya yang rusak, bukan sekadar penambahan gedung. Ribuan sekolah negeri saat ini masih butuh perbaikan mendesak, seperti atap bocor, toilet rusak, dan minim buku pelajaran. Jika dana dialokasikan untuk membangun sekolah baru, publik berhak bertanya mengapa sekolah yang sudah ada belum diperbaiki terlebih dahulu. Akademisi seperti Pak Muhammad Noor menyoroti bahwa ketimpangan pendidikan sejatinya bermula pada kualitas guru dan fasilitas, termasuk distribusi guru berkualitas yang belum merata, terutama di daerah terpencil. Ia menyarankan agar dana Sekolah Rakyat lebih baik digunakan untuk meningkatkan mutu sekolah yang sudah ada, termasuk pelatihan guru dan penyediaan sarana pendukung. Selain itu, pengelolaan program ini yang berada di bawah Kemensos dianggap kurang tepat oleh sebagian pihak karena penanganan putus sekolah dianggap domain Kemendikdasmen yang lebih kompeten dalam menyusun kurikulum inklusif dan strategi peningkatan mutu pendidikan.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran lain muncul terkait potensi stigma sosial dan segregasi pendidikan akibat pemisahan anak-anak miskin dalam satu institusi khusus. Nama Sekolah Rakyat dinilai bisa memperkuat sekat antarkelas sosial, membatasi interaksi sosial mereka dengan kelompok lain. Dr. Subarsono dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengingatkan bahwa solusi pendidikan seharusnya bersifat inklusif, bukan segregatif. Model sekolah berasrama (boarding school) juga dihadapkan pada tantangan keberlanjutan biaya operasional yang tinggi, mulai dari pemeliharaan asrama, biaya makan, hingga perekrutan tenaga pendamping. Tanpa perencanaan matang, program ini berpotensi menjadi beban anggaran jangka panjang. Selain itu, kualitas guru yang ditempatkan harus benar-benar terjamin; tanpa pendidik berkualitas, status sebagai sekolah berasrama tidak akan menjamin mutu pendidikan. Kritik paling mendasar adalah apakah program ini mampu mengubah struktur ketimpangan yang lebih luas. Anak-anak miskin yang lulus tetap akan kembali ke masyarakat dengan akses ekonomi dan sosial yang terbatas. Tanpa perbaikan sistemik pada lapangan kerja, distribusi kekayaan, dan kualitas pendidikan nasional secara keseluruhan, upaya ini berisiko menjadi solusi parsial yang gagal mencapai target jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Sekolah Rakyat 2025: Harapan yang Perlu Diwujudkan Bersama
Pendidikan di Indonesia masih dihantui ketimpangan yang mencolok. Di satu sisi, anak-anak perkotaan dengan fasilitas lengkap melaju kencang mengejar prestasi. Di sisi lain, anak-anak desa terjebak dalam ruang kelas bocor, minim buku, dan kekurangan guru berkualitas. Dalam situasi ini, Sekolah Rakyat 2025 hadir sebagai secercah harapan. Program pemerintah yang menjanjikan pendidikan gratis dan berasrama bagi keluarga miskin ini digadang sebagai solusi untuk memutus rantai kemiskinan. Namun, seperti halnya program pemerintah lainnya, keberhasilannya tidak hanya bergantung pada kebijakan dan anggaran negara, tetapi juga pada partisipasi aktif masyarakat.
Analoginya, pendidikan adalah tangga yang seharusnya mengangkat anak-anak bangsa menuju puncak kesuksesan. Sayangnya, tangga itu retak di tengah. Anak-anak miskin terjebak di bawah, sementara yang beruntung terus melangkah. Sekolah Rakyat diharapkan menjadi jembatan penghubung yang melengkapi tangga ini. Dengan model asrama (boarding school), siswa dari keluarga kurang mampu tidak hanya dibebaskan dari biaya pendidikan, tetapi juga diberi akses ke fasilitas hidup layak, mulai dari makanan bergizi hingga lingkungan belajar yang kondusif.
ADVERTISEMENT
Namun, keberhasilan program ini tidak cukup diukur dari jumlah gedung yang berdiri. Jika kita serius membangun jembatan dengan infrastruktur kokoh, seperti guru berkualitas, kurikulum yang relevan, fasilitas memadai, dan manajemen transparan, bukan sekadar proyek fisik semata, maka insyaAllah anak-anak yang selama ini terkungkung kemiskinan bisa melompat setara dengan teman-temannya, tanpa lagi tertinggal di jurang ketimpangan.
Kritik terhadap Sekolah Rakyat 2025 tidak bisa diabaikan. Pertama, prioritas pembangunan harus diarahkan untuk memperbaiki sekolah yang sudah ada. Ribuan sekolah negeri masih menghadapi infrastruktur rusak seperti ruang kelas bocor, toilet tak layak, dan minim buku. Jika dana dialihkan untuk membangun sekolah baru, publik berhak bertanya: mengapa sekolah yang rusak belum diperbaiki terlebih dahulu?
Kedua, ketimpangan pendidikan lebih disebabkan oleh kualitas dan distribusi guru. Pak Muhammad Noor menyoroti bahwa guru honorer di daerah terpencil digaji rendah, sementara guru berkualitas belum merata. Dana Sekolah Rakyat disarankan digunakan untuk meningkatkan mutu sekolah eksisting, termasuk pelatihan guru dan penyediaan sarana.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pengelolaan program oleh Kemensos dianggap kurang tepat. Penanganan putus sekolah adalah domain Kemendikdasmen yang lebih kompeten menyusun kurikulum inklusif. Tanpa koordinasi antar kementerian, program ini berisiko tumpang tindih atau gagal mencapai target.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Setiap upaya, sekecil apa pun, akan membawa Indonesia lebih dekat pada cita-cita mencerdaskan seluruh rakyatnya. Kontribusi bisa dimulai dari lingkungan terdekat, seperti menyumbang buku bacaan atau alat tulis ke sekolah yang minim fasilitas, menjadi relawan pengajar di bimbingan belajar untuk anak-anak kurang mampu, atau membantu renovasi ruang kelas dan perpustakaan di desa.
Selain itu, masyarakat dapat turut mengawasi pelaksanaan program melalui partisipasi dalam forum diskusi, pelaporan potensi penyimpangan, atau advokasi kebijakan yang lebih inklusif. Dengan sinergi antara pemerintah dan warga, Sekolah Rakyat 2025 bukan sekadar proyek simbolis, tetapi langkah nyata menuju pendidikan yang adil dan berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Di ujung perjalanan, Sekolah Rakyat 2025 hanyalah salah satu langkah dalam perjalanan panjang membangun sistem pendidikan yang adil. Pendidikan bukan hanya hak, tetapi juga amanah yang harus diwujudkan dengan kesungguhan. Mari merenung sejenak: apakah kita masih puas dengan lamunan semata, atau sudah siap turun tangan? Setiap dukungan kecil seperti menjadi pengajar pengganti, menyumbangkan alat tulis, atau memantau pelaksanaan program bisa menjadi langkah nyata untuk mempersempit jurang ketimpangan.
Pada akhirnya, sekecil apa pun kontribusi hari ini, akan menjadi fondasi tangga kokoh yang membawa Indonesia menuju masa depan pendidikan yang adil dan merata. Sekolah Rakyat 2025 bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi panggilan bagi kita semua untuk bergerak bersama, karena pendidikan yang berkeadilan hanya bisa terwujud jika diusung oleh semangat gotong-royong seluruh rakyat.
ADVERTISEMENT