Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Paradoks Kebijakan Hilirisasi
2 September 2023 11:45 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Zeinny hasbunallah Sasmita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan hilirisasi nikel yang sudah berlangsung hampir satu dasawarsa ini, justru memperlihatkan peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21,1 persen tahun 2014 menjadi hanya 18,3 persen tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir. Bahkan, adanya smelter nikel tak ikut memperdalam struktur nasional.
ADVERTISEMENT
Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun. Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis. Hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.
Kemudian di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China
Tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. pihak yang diuntungkan tentu saja pihak China yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen. Angka yang disampaikan oleh Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya.
Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China.
Jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai USD 85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp 11,865 per USD. Nilai Rp 510 triliun yang dikatakan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah USD 27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per USD, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp 413,9 triliun.
Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan presiden dan hitung-hitungan, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis.
Namun, uang hasil ekspor tidak sepenuhnya masuk ke Indonesia, mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu mengambil reposisi agar supaya segala keuntungan hilirisasi harus bermuara kepada keuntungan pengusaha nasional dan terlebih terhadap kesejahteraan bukan kepada beberapa pihak apalagi ke negara lain
Pada pertengahan tahun 2017, pemerintah meresmikan hilirisasi nikel untuk meningkatkan profitabilitas bahan tambang tersebut. Saat itu, pembangunan pabrik pengolahan nikel skala besar telah dimulai di kawasan ini.
Sebelumnya nikel hanya diekspor dalam bentuk mentah atau bijih dalam bentuk tanah. Investasi terbesar hingga saat ini berada di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe yang jumlahnya mencapai miliaran dolar AS. Di atas lahan seluas lebih dari 2.000 hektare, telah dibangun pabrik peleburan nikel atau kilang minyak milik perusahaan China.
Devaluasi tersebut semakin diperparah dengan larangan ekspor bijih nikel yang mulai berlaku pada awal tahun 2020. Beberapa pengecoran juga dibangun di Konawe, Konawe Utara, Kolaka, dan Konawe Selatan. Ada pula yang sedang dalam proses dikerahkan, dengan total 5 kawasan industri. Hal serupa juga terjadi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku.
ADVERTISEMENT
Namun meski nikel sudah puluhan tahun ditambang dan kini tengah diolah, namun kondisi masyarakat di Sultra tidak banyak berubah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan di Sultra selama enam tahun terakhir hanya turun satu poin, yaitu dari 12,81 persen pada tahun 2017 menjadi 11 persen pada tahun 2022.
Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 9,57 persen pada tahun 2022. Pada pertengahan Maret 2023, angka kemiskinan di Sultra bahkan kembali melonjak hingga 11,43 persen dengan jumlah total 321.530 jiwa.
Angka kemiskinan ini merata, bahkan di wilayah tengah. Daerah yang cadangan nikelnya melimpah seperti Kolaka, Kolaka Utara, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Konawe tidak menunjukkan perbaikan. Misalnya saja di Konawe Utara, wilayah dengan jumlah izin pertambangan (IUP nikel) terbanyak, kemiskinan pada tahun 2022 mencapai 13,53 persen. Angka tersebut tidak berbeda dengan tahun 2017 sebesar 13,93 persen.
ADVERTISEMENT
Paradoks hilir nikel yang terjadi di Sultra juga terlihat di daerah lain yang juga menjadi tuan rumah bagi mineral tersebut. Peningkatan angka kemiskinan tertinggi kedua terjadi di Sulawesi Tengah, meningkat 0,11 poin persentase dari 12,30 persen menjadi 12,41 persen.
Sulawesi Selatan yang juga merupakan daerah penghasil nikel mengalami peningkatan angka kemiskinan sebesar 0,04 poin persentase dari 8,66 persen menjadi 8,70 persen. Meningkatnya kemiskinan juga terjadi di wilayah produksi dan pengolahan nikel lainnya, seperti di Maluku Utara.
Pada bulan Maret 2023, angka kemiskinan di Maluku Utara meningkat sebesar 0,09 poin persentase, dari 6,37 persen pada bulan September 2022 menjadi 6,46 persen.
Pemerintah perlu memperhatikan aspek kesejahteraan, nasib masyarakat sekitar. Dan Gini ratio yang cukup miris di daerah penghasil ekspor 300 triliun.
ADVERTISEMENT