Konten dari Pengguna

3 Perwujudan Moderasi Beragama dalam Islam Versi Nurcholish Madjid

Muhammad Zidan Ramdani
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam. Manusia yang menulis
3 Desember 2023 17:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Zidan Ramdani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi berdoa umat islam. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berdoa umat islam. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahukah kalian tentang Cak Nur? Nurcholish Madjid atau yang kerap disapa Cak Nur, merupakan lokomotif pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia yang pemikirannya sering menjadi acuan bagi kalangan pembaharu modernis muslim di negeri kita.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang intelektual, Cak Nur dapat dikatakan memiliki produktivitas yang tinggi. Kontribusinya dalam ranah intelektualitas tak lagi dapat diragukan, karena ia senantiasa sungguh-sungguh dan totalitas. Cak Nur menyatakan, bahwa tugas utamanya adalah membaca, menulis, dan mengajar.
Fokusnya pada intelektualitas dimulai sejak ia masih duduk di kursi IAIN Jakarta, khususnya saat ia menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama dua kali periode. Dalam bidang kepenulisan telah banyak karya yang disumbangkan bagi umat juga negeri ini, beberapa di antaranya: Khasanah Intelektual Islam (1984), Islam, Doktrin dan Peradaban (1992), Islam Agama Peradaban (1995), Islam Agama Kemanusiaan (1995), dan masih banyak lagi.
Berbicara Nurcholish Madjid adalah berbicara pemikiran. Karena seluruh yang dilakukannya sejak muda hingga akhir hayatnya konsisten bergerak di bidang pemikiran. Tentu dalam pembahasan ini tak luput dengan persoalan moderasi beragama atau wasathiyah.
ADVERTISEMENT
Ia menaruh perhatian khusus pada hal itu sampai-sampai dituangkan dalam buku “Islam, Doktrin dan Peradaban” yang disampaikan olehnya bahwa sikap fanatik adalah hasil atau akibat dari pandangan yang sempit dan picik. Agama Islam menganjurkan para penganutnya untuk tidak berpikir sempit, melainkan mendidik untuk berpandangan luas. Jadi, Islam tidak membenarkan sikap kefanatikan dalam lingkungan penganut muslim.
Namun, yang terjadi di Indonesia saat ini tak lain merupakan bentuk penerapan ajaran Islam yang fanatik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Cak Nur, kefanatikan dapat membutakan atau menyempitkan pandangan seseorang penganut ajaran agama.
Kita bisa melihat banyak bermunculan kelompok-kelompok ekstrimis di Indonesia yang bertentangan dengan nilai dasar bangsa Indonesia yakni Bhinneka Tunggal Ika. Berapa banyak permusuhan dan perpecahan yang terjadi di negeri kita akibat penganut agama yang intoleran dan tidak bermoderat.
ADVERTISEMENT
Nilai moderasi beragama baru-baru saja muncul sebagai respons balasan untuk konflik-konflik sosial yang mencuat berlandaskan kefanatikan semata. Moderasi berangkat dari kata moderat yang artinya tengah-tengah. Maka, moderasi beragama adalah nilai sikap di mana seseorang dapat berdiri untuk tidak berlebihan juga tidak melupakan agama.
Beberapa pihak menentang nilai moderasi yang dianggap sebagai penghapus atau pengurang dari nilai-nilai ajaran Islam, padahal sikap moderasi itu sendiri telah termaktub di dalam kitab suci umat Islam yaitu al-Quran surah al-Mumtahanah ayat 8.
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
ADVERTISEMENT
Pada ayat di atas, kita bisa melihat bahwa Allah Swt. tidaklah pernah membuat kita membatasi diri untuk melakukan kebaikan dan keadilan kepada siapa saja, bahkan yang berbeda keyakinan sekalipun. Karena sebetulnya teknis menjalankan syariat terdiri dari dua hubungan yakni habluminallah dan habluminannas, yang keduanya tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Di dalam Islam sendiri muncul sebuah istilah yang disebut sebagai wasathiyah, yang secara kebahasaan dapat dimaknai sebagai bangunan yang benar dan menunjukkan keadilan juga pertengahan. Hal ini juga dapat di lihat pada al-Quran surah al-Baqarah ayat 143 yang berbunyi:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Artinya: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
ADVERTISEMENT
Islam wasathiyah dalam kacamata Nurcholish Madjid adalah Islam yang universal, yaitu sebuah model keberagaman yang selalu mengejawantahkan keadilan, keselamatan, kedamaian, dan diselimuti oleh nilai-nilai tauhid dan sifat dasar kemanusiaan. Islam wasathiyah dapat diwujudkan dengan pemahaman yang mendalam tentang tiga hal sebagai perwujudan moderasi beragama dalam Islam.
1. Islam Mengajarkan Tauhid
Ilustrasi warga UAE beribada di masjid. Foto: Shutterstock
Tauhid, atau yang tak lain ialah pembebasan dari segala bentuk selain Allah Swt merupakan sebuah prinsip yang mengajarkan asas keadilan dan kesamaan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat. Tauhid berbeda dengan monoteisme, karena keberadaan tauhid mencakup kehidupan yang luas untuk mengesakan Allah SWT yang satu dan Islam yang satu.
Ajaran tauhid juga tak berkecimpung pada bagaimana hubungan manusia dengan Sang Peciptanya, tetapi lebih dari itu pula mengajarkan bagaimana berhubungan yang baik sesama manusia dan makhluk hidup sebagai esensi ciptaan-Nya.
ADVERTISEMENT
2. Ajaran Islam Tak Termakan Roda Perubahan
Ilustrasi al-Quran. Sumber: Pixabay
Selanjutnya, ajaran agama Islam tak pernah tergerus oleh derasnya perputaran zaman, ia juga bentuk dari sistematika kehidupan yang fleksibel dan menyesuaikan dalam ruang maupun waktu.
Oleh karenanya, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) dapat mudah beradaptasi dengan budaya juga tatanan kehidupan. Maka, sudah sepantasnya umat beragama Islam mengikuti tuntunan yang dibawa oleh risalah kenabian yakni Nabi Muhammad Saw.
3. Islam Mengajarkan Tasamuh
Ilustrasi. Sumber: Pixabay/SyauqiFillah
Tasamuh yakni sikap toleransi dan menghormati terhadap suatu perbedaan, serta terbuka terhadap kebenaran. Islam sejak awal kemunculannya tidak pernah menentang sebuah perbedaan, yang benar adalah membenarkan kesesatan yang terjadi pada umat manusia, kekeliruan dan semacamnya.
Seringkali yang kita lihat dan kita teliti, bahwa orang-orang radikal senantiasa berpikiran sempit dan cenderung merasa perbuatannya benar sepihak. Padahal, setiap perbedaan baik pemikiran maupun keyakinan itu kembali kepada individu masing-masing, dan Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk berdakwah secara baik serta santun.
ADVERTISEMENT
Nabi dan para sahabat pun tak pernah mengajarkan umat Islam untuk saling memusuhi bahkan kepada musuh yang memerangi Islam, karena agama Islam sesungguhnya agama yang senantiasa menebar kedamaian kepada seluruh manusia tanpa terkecuali.
Menjalankan Islam sebagaimana yang dicontohkan Cak Nur tak dapat dihilangkan dalam menekan pada berpikir rasional yang selalu dipertimbangkan dan dikembangkan. Islam modern yang berorientasi pada masa depan dan kemaslahatan bersama, tidak saja untuk umat Islam, tetapi juga untuk manusia lainnya.