Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
MAYDAY, Refleksi Hak Buruh yang Belum Terpenuhi
1 Mei 2025 16:00 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Zidan Ramdani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Mayday (Hari Buruh) bukan sekadar hari libur dalam kalender nasional, melainkan simbol perlawanan kelas pekerja terhadap penindasan struktural yang terus berlangsung dalam berbagai bentuk kekuasaan. Di Indonesia, sejarah perjuangan buruh selalu dihadapkan pada kenyataan pahit: negara sering kali tidak berpihak kepada rakyat pekerja. Setiap tahun, buruh turun ke jalan bukan untuk merayakan, tetapi untuk mengingatkan bahwa janji keadilan sosial masih jauh dari kenyataan.
ADVERTISEMENT
Hak atas pekerjaan yang layak, yang seharusnya dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, kian menjauh dari realitas. Buruh saat ini terjebak dalam sistem kerja yang eksploitatif, dengan upah rendah, jam kerja panjang, dan minimnya jaminan sosial. Apa artinya konstitusi jika hanya menjadi teks mati yang tidak mampu melindungi mereka yang bekerja keras untuk negara?
Peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi pelindung bagi buruh malah digunakan sebagai alat legitimasi eksploitasi. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dulunya dianggap progresif, kini telah dirusak melalui skema Omnibus Law dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perppu No. 2 Tahun 2022. Pasal-pasal baru dalam undang-undang tersebut justru melemahkan perlindungan pekerja, seperti penghapusan upah minimum sektoral dan kemudahan dalam pemutusan hubungan kerja.
ADVERTISEMENT
Mayday juga menjadi pengingat bahwa sistem kerja kontrak dan outsourcing belum juga dihapuskan. Padahal, Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan secara prinsip mengatur bahwa outsourcing hanya diperbolehkan untuk pekerjaan penunjang. Namun dalam kenyataannya, aturan ini sering dilanggar. Buruh outsourcing bekerja bertahun-tahun tanpa status tetap, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, dan tanpa harapan akan kesejahteraan.
Di sisi lain, kriminalisasi terhadap buruh yang berserikat dan berjuang juga semakin nyata. Hak untuk berserikat yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja sering kali terabaikan. Buruh yang aktif dalam serikat pekerja seringkali mendapat intimidasi, pemindahan sepihak, hingga pemecatan. Dalam negara yang mengklaim dirinya demokratis, suara buruh masih dianggap sebagai ancaman.
ADVERTISEMENT
Jaminan sosial buruh juga belum memadai. BPJS Ketenagakerjaan tidak sepenuhnya memberikan rasa aman, karena banyak buruh yang tidak tahu apa saja manfaat yang bisa mereka klaim. Proses klaim yang lambat, penuh birokrasi, dan tidak responsif terhadap kebutuhan mendesak membuat hak atas kesehatan dan pensiun bagi buruh, terutama di sektor informal, terasa jauh dari kenyataan.
Buruh perempuan juga masih menghadapi diskriminasi ganda. Meskipun Pasal 76 UU Ketenagakerjaan memberikan perlindungan khusus, pelanggaran terhadap hak cuti haid, hamil, dan melahirkan masih sering terjadi. Banyak perusahaan yang menghindar dari tanggung jawab dengan alasan efisiensi, meskipun mereka tetap mengejar target produksi tanpa kompromi.
Mayday bukanlah hari untuk berpesta. Ia adalah hari untuk mengingatkan bahwa sistem ketenagakerjaan masih belum berpihak pada buruh. Kekayaan bangsa ini dibangun oleh keringat dan peluh pekerja, namun hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir elit. Mayday adalah simbol perlawanan terhadap ketimpangan struktural dan hukum yang hanya menguntungkan modal, bukan rakyat.
ADVERTISEMENT
Buruh tidak membutuhkan perayaan. Yang mereka butuhkan adalah pengakuan dan pemenuhan hak. Kesejahteraan bukanlah utopia jika pemerintah mau mendengarkan suara mereka. Penegakan hukum ketenagakerjaan yang tegas, reformasi struktural, dan keterlibatan aktif serikat buruh dalam perumusan kebijakan adalah langkah yang harus segera diambil. Bukan lagi sekadar janji, tetapi realisasi nyata.
Di tengah sorotan modernisasi dan industri 4.0, wajah buruh Indonesia masih dibasahi peluh ketidakadilan. Mayday adalah bentuk perlawanan terhadap kelalaian: kelalaian bahwa bangsa ini dibangun oleh tangan-tangan pekerja yang tidak pernah dilibatkan dalam keputusan besar. Selama ketidakadilan ini tetap ada, Mayday akan terus menjadi hari perlawanan.