Konten dari Pengguna

H.O.S. Tjokroaminoto, Gagasan Abadi, Kemerdekaan Tak Tersentuh

M Fahmi Yahya
Mahasiswa Universitas Jember
4 Mei 2025 15:13 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Fahmi Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: "H.O.S. Tjokroaminoto", oleh juniawandahlan, diakses dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/h-o-s-tjokroaminoto/. Hak Cipta sepenuhnya milik juniawandahlan. Digunakan untuk tujuan edukasi dan ilustrasi sejarah.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: "H.O.S. Tjokroaminoto", oleh juniawandahlan, diakses dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/h-o-s-tjokroaminoto/. Hak Cipta sepenuhnya milik juniawandahlan. Digunakan untuk tujuan edukasi dan ilustrasi sejarah.
ADVERTISEMENT
Awal
Jika mendengar istilah “Guru Bangsa”, salah satu nama yang tak bisa dilewatkan adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, atau yang lebih dikenal sebagai H.O.S. Tjokroaminoto. Ia bukan hanya tokoh penting dalam sejarah pergerakan nasional, tetapi juga sosok yang membentuk arah pemikiran Indonesia modern melalui para muridnya.
ADVERTISEMENT
Tjokroaminoto dikenal sebagai pemimpin karismatik Sarekat Islam, organisasi massa pertama yang menjadi wadah perjuangan rakyat pribumi melawan ketidakadilan kolonial. Dengan pidatonya yang menggugah dan gagasannya yang progresif, ia menjadi inspirasi bagi ribuan orang untuk bangkit dan memperjuangkan kemerdekaan.
Namun, warisan terbesarnya mungkin bukan hanya pada organisasi yang ia pimpin, melainkan pada generasi muda yang ia didik. Di rumah kos miliknya di Surabaya, ia membina tiga pemuda yang kelak menjadi tokoh besar dengan jalan perjuangan masing-masing: Soekarno, sang proklamator dan presiden pertama Indonesia; Semaoen, tokoh awal pergerakan komunis di Indonesia; dan Kartosoewirjo, pendiri gerakan DI/TII yang memperjuangkan negara Islam. Ketiganya—meskipun berbeda ideologi—mewarisi semangat perlawanan, kemampuan orasi, dan keberanian dari satu guru: Tjokroaminoto.
ADVERTISEMENT
Latar belakang
H.O.S. Tjokroaminoto lahir di Ponorogo pada tanggal 16 Agustus 1882. Ia berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa yang terpandang. Ayahnya, Raden Mas Tjokroamiseno, adalah seorang pejabat pemerintahan lokal, sementara keluarganya dikenal taat beragama dan memiliki akar kuat dalam tradisi Islam. Latar belakang ini membentuk karakter Tjokroaminoto sebagai pribadi yang teguh dalam nilai, namun terbuka terhadap pemikiran baru.
Sejak muda, Tjokroaminoto sudah menunjukkan ketertarikan pada ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Pamong Praja (OSVIA) dan juga belajar tentang agama secara mendalam. Kombinasi antara pendidikan Barat dan pendidikan Islam inilah yang menjadikannya sosok yang unik—ia mampu berdiri di antara dua dunia: tradisional dan modern.
Kemampuan intelektual dan spiritualnya membuatnya dihormati oleh berbagai kalangan, baik dari kaum santri, intelektual bumiputra, hingga elit kolonial. Ia tidak hanya menguasai ilmu agama dan bahasa Arab, tapi juga fasih berbahasa Belanda, yang kala itu merupakan bahasa kaum terpelajar dan pemerintah kolonial. Hal ini memudahkannya dalam berdialog dengan berbagai lapisan masyarakat dan memperjuangkan aspirasi rakyat secara luas.
ADVERTISEMENT
Sebagai tokoh yang menjembatani dua kutub—Islam dan nasionalisme, timur dan barat—Tjokroaminoto memainkan peran penting dalam membangun dasar-dasar pemikiran kemerdekaan Indonesia. Visi kebangsaannya tumbuh dari keyakinan bahwa kemerdekaan hanya bisa diraih melalui persatuan, pendidikan, dan perjuangan yang terorganisir.
Kiprah dalam Pegerakan
Pada tahun 1912, H.O.S. Tjokroaminoto bergabung dengan Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi yang awalnya didirikan untuk melindungi kepentingan para pedagang batik pribumi dari tekanan pedagang Tionghoa dan dominasi ekonomi kolonial. Namun di tangan Tjokroaminoto, SI mengalami transformasi besar: dari sekadar organisasi ekonomi menjadi gerakan massa politik yang menyuarakan keadilan dan emansipasi rakyat Indonesia.
Di bawah kepemimpinannya, SI menjadi wadah perlawanan rakyat terhadap berbagai bentuk ketimpangan—baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Tjokroaminoto memperluas cakupan perjuangan SI, menjadikannya simbol aspirasi rakyat bumiputra yang terpinggirkan oleh sistem kolonial yang menindas.
ADVERTISEMENT
Ia mengangkat isu-isu seperti ketidakadilan pajak, diskriminasi rasial, monopoli ekonomi Belanda, hingga pentingnya pendidikan bagi kaum pribumi. Melalui Sarekat Islam, ia menyerukan semangat persatuan umat Islam sebagai basis kekuatan sosial-politik untuk menentang penjajahan.
Tjokroaminoto dikenal sebagai orator ulung. Pidato-pidatonya tidak hanya menyentuh nalar, tetapi juga membakar emosi rakyat. Di pasar-pasar, lapangan terbuka, hingga ruang-ruang pertemuan, suaranya menggema menyuarakan harapan dan perlawanan. Ia mampu merangkul berbagai kalangan—dari pedagang kecil, buruh, petani, hingga intelektual muda—untuk ikut serta dalam perjuangan menuju kemerdekaan.
Karismanya begitu kuat hingga banyak yang menyebutnya sebagai “Raja Tanpa Mahkota”. Ia tidak pernah memegang jabatan formal dalam pemerintahan kolonial, namun pengaruhnya jauh melampaui banyak tokoh sezamannya. Di masa jayanya, Sarekat Islam memiliki jutaan anggota, menjadikannya organisasi politik terbesar di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
ADVERTISEMENT
Pemikiran dan Gagasan nya
Tjokroaminoto adalah tokoh yang mengusung visi besar: Islam progresif dan nasionalisme inklusif. Baginya, Islam bukan hanya soal ibadah, tetapi juga jalan menuju keadilan sosial dan pembebasan rakyat dari penindasan kolonial. Ia menolak pendekatan kekerasan dalam perjuangan. Sebaliknya, ia meyakini bahwa perubahan harus dibangun lewat jalur pendidikan, pembentukan organisasi politik yang kuat, dan perjuangan hukum yang cerdas dan terstruktur.
Tjokroaminoto percaya bahwa kemerdekaan Indonesia hanya bisa dicapai bila seluruh rakyat, tanpa memandang kelas, suku, atau latar belakang sosial, bersatu dalam satu cita-cita: kebebasan dan keadilan. Ia menekankan bahwa perjuangan tidak boleh terjebak dalam sekat-sekat sempit—baik itu agama, etnis, maupun kepentingan golongan.
Namun, idealisme itu kemudian diuji. Seiring meluasnya pengaruh Sarekat Islam, muncul pula perbedaan tajam di dalam tubuh organisasi tersebut. Di satu sisi, terdapat kelompok Islamis yang dipimpin oleh Tjokroaminoto dan para ulama yang ingin menjadikan SI sebagai gerakan sosial-politik berlandaskan nilai-nilai Islam. Di sisi lain, muncul kelompok sosialis-komunis yang dipengaruhi oleh gagasan revolusi kelas dan perjuangan internasional, dipimpin oleh tokoh-tokoh muda seperti Semaoen, Darsono, dan Alimin.
ADVERTISEMENT
Konflik ideologis ini memuncak pada tahun 1921, ketika Sarekat Islam pecah. Tjokroaminoto kemudian memimpin sayap Islam dan membentuk Partai Sarekat Islam (PSI), yang tetap menekankan perjuangan lewat jalur damai dan religius. Sementara itu, kelompok kiri keluar dan mendirikan organisasi yang lebih radikal, yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pecahnya SI menandai awal perbedaan tajam dalam arah gerakan kemerdekaan Indonesia—antara nasionalisme religius, nasionalisme sekuler, dan komunisme. Meski begitu, Tjokroaminoto tetap teguh pada pendiriannya: bahwa perjuangan harus berpijak pada nilai moral dan persatuan, bukan pada kekerasan atau ideologi ekstrem.
Hubungan dengan Tokoh Lain
Di balik pergerakan politik yang luas, H.O.S. Tjokroaminoto juga dikenal sebagai pendidik ideologis generasi muda pergerakan. Salah satu kisah paling legendaris adalah rumah kos miliknya di Gang Peneleh, Surabaya. Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal, tetapi menjadi semacam "madrasah politik" bagi para pemuda yang haus akan perubahan dan kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Di rumah kos itu, Tjokroaminoto tidak hanya memberikan tempat tinggal, tetapi juga menanamkan nilai-nilai perjuangan, intelektualitas, dan keberanian. Ia mendidik anak-anak muda untuk berpikir kritis terhadap penjajahan, memahami kondisi sosial-politik Hindia Belanda, serta merumuskan cita-cita kemerdekaan yang nyata.
Salah satu penghuni kos yang paling terkenal adalah Soekarno, yang kelak menjadi Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia. Bagi Soekarno muda, Tjokroaminoto bukan sekadar sosok panutan, tapi juga mentor sejati. Di bawah asuhan Tjokro, Soekarno belajar banyak hal: mulai dari cara menyusun pidato yang menggugah massa, taktik organisasi politik, hingga membangun gagasan nasionalisme yang berbasis pada keadilan sosial dan kesetaraan antargolongan.
Selain Soekarno, rumah itu juga menjadi tempat tinggal bagi tokoh-tokoh lain seperti Semaoen (yang kemudian menjadi tokoh komunis), dan Kartosoewirjo (yang kelak memimpin gerakan Darul Islam). Masing-masing menempuh jalan ideologis yang berbeda, namun semuanya lahir dari atmosfer intelektual dan semangat kebangsaan yang ditanamkan Tjokroaminoto.
ADVERTISEMENT
Uniknya, Tjokro tidak memaksa murid-muridnya untuk mengikuti satu jalur pemikiran. Ia membuka ruang debat, diskusi, dan pertukaran gagasan. Dari sanalah tumbuh benih-benih ideologi besar yang akan mewarnai perjalanan sejarah Indonesia—nasionalisme, komunisme, dan Islamisme—semuanya pernah tumbuh di bawah atap yang sama.
Gang Peneleh menjadi saksi lahirnya pemimpin-pemimpin masa depan. Dan Tjokroaminoto, dengan keteguhan dan keluasan pandangannya, layak disebut sebagai "Guru Bangsa", bukan hanya karena pemikirannya, tetapi juga karena kontribusinya dalam membentuk pribadi-pribadi yang kelak mengguncang Nusantara.
Wafat dan Warisan
H.O.S. Tjokroaminoto wafat pada 1934, beberapa tahun sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Meski ia tidak sempat melihat buah dari perjuangannya sendiri, warisan pemikiran dan semangat perjuangan yang ia tanamkan hidup terus dalam setiap langkah pergerakan bangsa. Ia meninggalkan sebuah jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah Indonesia, baik melalui organisasi yang ia pimpin, gagasan yang ia ciptakan, maupun melalui murid-muridnya yang kelak menjadi pemimpin negara.
ADVERTISEMENT
Tjokroaminoto dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Pekuncen, Yogyakarta, sebuah lokasi yang menjadi simbol penghormatan atas jasanya bagi bangsa. Meskipun ia tidak pernah memimpin pemerintahan atau menyaksikan kemerdekaan, pemikirannya tentang perjuangan non-kekerasan, persatuan, dan keadilan sosial tetap menjadi landasan penting bagi Indonesia yang merdeka. Bahkan, Soekarno, yang menjadi murid paling terkenal darinya, sering merujuk pada Tjokroaminoto sebagai salah satu sumber inspirasinya dalam membangun Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Gagasan Tjokroaminoto tentang nasionalisme inklusif yang melibatkan semua lapisan masyarakat—tanpa memandang agama, suku, atau kelas sosial—merupakan dasar yang membentuk semangat persatuan Indonesia. Meskipun Sarekat Islam pecah akibat perbedaan ideologi, semangat persatuan yang ia tanamkan terus berkembang, bahkan di masa-masa sulit setelah kemerdekaan.
Tjokroaminoto dikenang sebagai "bapak pergerakan" yang membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia, bukan hanya melalui perjuangan politik, tetapi juga melalui pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan kesadaran akan hak-hak rakyat. Perjuangannya membuktikan bahwa kemerdekaan tidak hanya tentang mengusir penjajah, tetapi juga tentang membangun fondasi bagi masyarakat yang merdeka dalam pikiran, hati, dan tindakan.
ADVERTISEMENT