Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Soekarno-Hatta: Dari Dwitunggal ke Dwitanggal
5 Maret 2025 10:41 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari M Fahmi Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Soekarno dan Hatta, yang dikenal sebagai Bapak Proklamator Indonesia, merupakan sosok yang dihormati di seluruh Nusantara berkat perjuangan mereka dalam membebaskan bangsa dari penjajahan. Upaya mereka, bersama dengan rakyat Indonesia, telah dicatat dalam sejarah, dari awal perjuangan hingga akhir hayat mereka.
ADVERTISEMENT
Sebagai pemimpin pertama Indonesia setelah merdeka, Soekarno dan Hatta sering memiliki perbedaan pandangan yang menyebabkan konflik. Salah satu contohnya adalah ketika Soekarno ingin menerapkan konsep Demokrasi Terpimpin, sementara Hatta menentang keras karena konsep tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi sejati dan berpotensi mengarah pada pemerintahan otoriter.
Ketidaksepakatan antara keduanya semakin diperburuk oleh eksploitasi partai politik yang memanfaatkan situasi. Ketika Hatta menjabat sebagai Perdana Menteri hingga Desember 1949, muncul tekanan untuk mengembalikan konsep Dwitunggal dengan memasukkan jabatan wakil presiden dalam UUD yang baru. Partai politik berlomba-lomba meraih kekuasaan dengan mendukung tokoh-tokoh mereka, seperti Mohammad Natsir dari Masyumi dan Sutan Sjahrir dari PSI, sebagai calon perdana menteri.
Selain itu, Hatta merasa kecewa terhadap PNI karena menolak sistem patronase tradisional dalam pemerintahan dan menentang pemberian saham atas aset eks-kolonial Belanda kepada pihak tertentu. Kekhawatiran Hatta semakin bertambah ketika pemimpin PKI, D.N. Aidit, mulai mendekati Soekarno, sementara PKI gencar menyerang tokoh-tokoh seperti Hatta dan Amir Sjarifuddin, menuduh mereka bersekongkol dengan Amerika Serikat untuk menekan komunisme pasca-Peristiwa Madiun.
ADVERTISEMENT
Ketegangan semakin memuncak ketika Soekarno untuk pertama kalinya menolak mengesahkan dekrit yang dikeluarkan oleh Hatta saat dirinya sedang berada di Mekkah. Hatta semakin menyadari bahwa keseimbangan kekuasaan mulai berpihak pada kelompok yang mendukung sistem pemerintahan yang lebih otoriter. Ia juga merasa khawatir atas kedekatan antara Soekarno dan Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dan berupaya mengembalikan kekuasaan kepresidenan dengan membubarkan sistem demokrasi parlementer.
Menyadari perbedaan pandangan yang semakin tajam, Hatta menyampaikan keinginannya untuk mengundurkan diri kepada Natsir. Dalam pidatonya pada 28 Oktober, Soekarno mengajak untuk "mengubur semua partai", yang menjadi indikasi konsep baru yang ia usung, yaitu Demokrasi Terpimpin.
Pada 27 November 1956, saat menerima gelar doktor kehormatan di Universitas Gadjah Mada, Hatta mengungkapkan bahwa keputusannya untuk keluar dari Dwitunggal adalah pilihan yang pahit. Ia menegaskan bahwa perjuangan nasional bukan hanya melawan kolonialisme, tetapi juga membebaskan rakyat dari ketidakadilan sosial serta menegakkan hak asasi manusia. Hatta juga mengkritik partai politik yang hanya berjuang demi kepentingan sendiri tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Dalam surat pengunduran dirinya, Hatta menuliskan nada yang lebih tegas kepada Soekarno, menuduhnya bertindak sebagai diktator. Ia merasa telah menjalankan tugasnya dengan bertanggung jawab kepada sejarah. Hatta sadar bahwa tanpa dukungan Soekarno, ia akan kesulitan mencapai tujuannya. Jika tetap menjadi wakil presiden, ia seolah-olah mendukung pembongkaran demokrasi parlementer dan penguatan kekuasaan yang terpusat, yang justru bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Menurut Hatta, demokrasi harus dipupuk hingga matang, bukan dihancurkan sebelum berkembang. Setelah mengundurkan diri, ia kembali menjadi pejuang keadilan sosial dan kritikus politik, seperti saat dirinya menentang kebijakan kolonial Belanda.
Di masa tuanya, Hatta mengungkapkan bahwa pergeseran dari UUD 1945 ke UUD 1950 menyebabkan perubahan dalam kedudukan Dwitunggal. PKI mengambil keuntungan dari situasi tersebut untuk mempercepat perpecahan Soekarno dan Hatta. Partai-partai politik yang saling bertarung semakin memperburuk hubungan keduanya, hingga akhirnya Dwitunggal berubah menjadi Dwitanggal.
ADVERTISEMENT