Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Fomo yang Tidak Semestinya
23 Juni 2022 17:18 WIB
Tulisan dari Farih Fanani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Istilah Fomo baru saja muncul dan sudah berhasil memancing anak muda untuk menggunakannya tiap mereka tengah berbincang. Bagaimana tidak, istilah tersebut saat ini menjadi masalah besar dan dialami hampir sebagian besar generasi sekarang.
ADVERTISEMENT
Ambil saja satu contoh perihal beli rumah. Berita tentang susahnya buat rumah di Indonesia sudah merajalela. Ketakutan-ketakutan generasi muda tentang rumah semakin menjadi-jadi.
Mereka khawatir tidak bisa membeli rumah, setidaknya disebabkan oleh dua hal, pertama karena lahan yang mulai sempit dan harga rumah yang sudah sangat melambung.
Saya tidak benar-benar mengerti perihal ketakutan anak muda atas rumah. Di satu sisi, tanah di Indonesia ini masih sangat luas. Mereka bisa membangun rumah dengan desain dan luas seberapapun tanpa perlu khawatir kekurangan lahan.
Tapi, ketakutan itu nyata. Kesimpulan sementara saya mengatakan kalau mereka yang takut ini adalah penduduk Jakarta. Kita semua tahu bahwa Jakarta memiliki wilayah yang terbatas. Penduduknya semakin padat. Tidak menyisakan ruang sedikitpun untuk membangun rumah, bahkan untuk senam yoga.
ADVERTISEMENT
Atas alasan itu, saya percaya kalau memang orang-orang Jakarta ini kesulitan memiliki rumah. Tapi, tidak lantas kesulitan punya rumah itu level susahnya sama dengan orang-orang di luar Jakarta, dong.
Awalnya saya berpikir demikian, akan tetapi lambat laun berubah. Anak kuliahan bilang, Indonesia adalah negara sentralis. Apa-apa Jakarta, apa-apa kota besar. Tidak ada sesuatu hal apapun yang tidak berhubungan dengan kota besar.
Dalam konteks khawatir tidak bisa beli rumah, anak-anak daerah juga mengalami ketakutan yang serupa. Mereka mungkin lupa kalau sawah-sawah orang tua mereka masih bisa dipakai untuk membangun lapangan sepak bola.
Fenomena itu membuktikan bahwa daerah-daerah pinggiran tidak memiliki daya untuk menentukan nasib sendiri. Masyarakat daerah tidak memiliki akses untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan di daerahnya. Mereka tidak bisa mandiri dalam hidup, termasuk dalam trend.
ADVERTISEMENT
Ini semakin diperkuat dengan kejadian yang baru saja saya temui beberapa waktu yang lalu. Saya terkaget-kaget mendengar umpatan anak kecil di daerah saya sendiri. Mereka ketika tengah asyik bermain game dengan kawan-kawannya tidak lagi menggunakan umpatan yang dulu sering kami pakai.
Orang-orang di daerah kami terkenal sekali dengan umpatan Janc*k. Bahkan, saat di luar kota, ketika saya tidak mengumpat, teman-teman baru saya tidak percaya kalau saya berasal dari daerah timur Pulau Jawa.
Umpatan bocil-bocil itu berubah dan bertransformasi menjadi umpatan ala anak Jakarta, ala gamers yang sering melakukan streaming di YouTube, dan ala anak-anak TikTok. Seperti ngent*t, anj*ng, bangk*, dan lain sebagainya.
Saya yang mendengar tentu merasa terganggu. Ini bukan umpatan ala kami. Mengumpat adalah budaya kami dan nenek moyang sudah memberikan umpatan yang khas yang disesuaikan dengan lidah medok orang Jawa Timuran.
ADVERTISEMENT
Fenomena itu membuktikan bahwa bocil-bocil pun mengalami Fomo. Tidak heran, lha wong orang dewasanya juga mengalami hal yang serupa. Bedanya, generasi sebelumnya Fomo dalam hal gaya hidup, dan bocil-bocil Fomo dalam hal umpatan.
Apapun itu, seharusnya, Fomo bisa digunakan sebagaimana mestinya. Takut ketinggalan trend itu ada bagusnya. Akan tetapi juga banyak jeleknya.
Bagusnya adalah supaya kita (orang-orang di desa) tidak tertinggal jauh dari peradaban di perkotaan. Orang-orang desa bisa mendapatkan akses informasi yang sama dengan orang kota. Mereka juga memiliki kesempatan yang sama.
Namun, Fomo juga bisa jelek, ketika sesuatu yang seharusnya tidak di Fomo-in, menjadi diikuti. Misalnya saja perihal umpatan dan trend-trend yang tengah dikembangkan oleh anak-anak Jakarta.
Tentu saya bukan korban Fomo. Saya sibuk. Keadaan saya sekarang memaksa untuk bekerja keras supaya bisa membeli rumah. Kalau tidak, saya tidak bisa punya rumah sampai tua. Rumah sekarang harganya mahal-mahal, coy. Gila, nggak, tuh?
ADVERTISEMENT