Konten dari Pengguna

Pemerintah Kita Sedang Terjebak dalam Perasaan Insecure

Farih Fanani
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga
29 Agustus 2021 9:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farih Fanani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penghapusan mural di jalan-jalan semakin membuktikan bahwa pemerintah kita benar-benar sedang merasa insecure. Bukannya memperbaiki, malah menghapus media masyarakat untuk berekspresi.
Sumber: Pixabay
Saya terkekeh saat membaca sebuah berita tentang penghapusan mural bertuliskan “Tuhan Aku Lapar!!” beberapa waktu yang lalu di Kota Tangerang. Tidak berhenti di situ, penghapusan itu berujung pada pemberian bantuan berupa sembako kepada seniman mural yang menuliskan kalimat di pinggir jalan tersebut.
ADVERTISEMENT
Tindakan pemberian sembako terhadap pembuat mural tersebut tentu konyol dan sepertinya cukup layak untuk kita tertawakan. Pasalnya, bagaimana mungkin seorang penegak hukum berpikir bahwa seniman jalanan penulis mural tersebut benar-benar berperut kosong?
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana proses berpikir yang dilakukan oleh jajaran penegak hukum tersebut ketika memutuskan untuk menyumbang sembako. Apakah dalam proses pembuatan keputusan itu tidak ada satupun yang menyanggah keputusan konyol itu? Tidak adakah anggota rapat yang angkat tangan dan berusaha bilang “Pak, maaf, sepertinya dia hanya menyalurkan aspirasi masyarakat dan tidak benar-benar lapar”.
Ini semakin memprihatinkan kalau penegak hukum dan pemegang kebijakan di negeri ini tidak benar-benar memahami situasi bahwa yang lapar adalah semua masyarakat Indonesia. Meskipun begitu, saya berharap dugaan saya salah. Mereka tentu sudah mengerti bagaimana situasi dan kondisi negara ini dari atas permukaan hingga pelosok pedalaman.
ADVERTISEMENT
Kalau memang benar, semoga beliau-beliau pemegang kebijakan bisa lebih percaya diri dan berhasil membawa negara kita melewati masa yang sulit ini. Dengan begitu, mereka mungkin tidak akan tidak insecure secara berlebihan ketika datang sebuah kritikan.
Baru saja saya berusaha untuk berpikir optimis, pikiran itu langsung dipatahkan oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Polisi kembali menghapus sebuah mural berlukiskan wajah Presiden Jokowi di sebuah tembok jalanan. Kejadian ini terjadi di kota yang sama yaitu Tangerang. Mural tersebut berisi “Jokowi 404: Not Found”, yang ditulis di atas wajah Presiden Jokowi. Tepatnya di bagian kedua mata Presiden.
Sebuah mural mirip Presiden Joko Widodo dengan tinggi sekitar 2 meter dan lebar 2,5 meter menghiasai badan konstruksi Flyover Pasupati Kota Bandung. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Tentu dari segi kepantasan dan kesopanan, mural kedua jauh lebih tidak sopan dari mural pertama. Namun, bagaimanapun juga, para seniman jalanan ini sedang melakukan kritik. Seorang seniman memang kerjaannya mengkritisi zaman, yang diwujudkan dalam bentuk seni. Dalam hal ini adalah mural atau gravity.
ADVERTISEMENT
Namun, mural tersebut kini sudah dihapus. Sebelum tindakan konyol kembali terjadi, saya harap, penegak hukum tidak kembali membuat keputusan yang mencengangkan seperti yang sudah-sudah. 404: Not Found adalah sebuah peringatan yang muncul ketika sebuah browser tidak berhasil menemukan halaman yang diakses. Saya khawatir, polisi merespons dengan memutuskan untuk memberikan bantuan berupa hosting yang berkapasitas lebih besar, atau bahkan bantuan akses internet yang lebih cepat. Semoga itu tidak terjadi.
Sekarang ini, memang sebagian besar orang mengalami kesulitan. Kesulitan yang mereka rasakan tentu menimbulkan perasaan berontak yang selama ini tertahan. Beruntung, usaha-usaha pemberontakan mereka hanya berujung pada pembuatan mural berisi aspirasi. Padahal apabila diibaratkan, kejengkelan masyarakat Indonesia terhadap keadaan saat ini, tidak sebanding dengan ekspresi kemarahan yang mereka lampiaskan.
ADVERTISEMENT
Di Jogja pun demikian, beberapa waktu yang lalu muncul sebuah perlombaan mural yang dilakukan oleh aliansi Gejayan Memanggil di Yogyakarta. Penilaiannya unik, bagi mural yang paling cepat dihapus petugas, mendapatkan poin tambahan. Ini semakin menegaskan bahwa masyarakat benar-benar sudah jengkel.
Bayangkan saja, di masa PPKM yang tidak kunjung usai ini, muncul berita peringanan hukuman terhadap seorang tersangka korupsi dana Bansos yang sangat tidak masuk akal. Dari yang sebelumnya terancam hukuman mati, dipotong menjadi 12 tahun penjara, dengan alasan sudah cukup menderita dengan cacian masyarakat. Bahkan dalam pledoi yang disampaikan sebelumnya, sang tersangka meminta untuk dibebaskan dari segala dakwaan.
Mendengar itu, tentu wajar jika masyarakat merasa sangat marah. Sampai-sampai di media sosial, muncul trending sebuah tagar berisi dua kata yang terdiri dari nama koruptor tersebut diikuti sebuah kata tidak senonoh yang tidak patut untuk saya sebutkan di sini.
ADVERTISEMENT
Dari itu semua, sebetulnya pemerintah tidak perlu insecure dengan keadaan. Tidak perlu menghapus mural yang bernada kritik. Apabila pemerintah memang percaya diri dengan kebijakan yang dilakukan, tanpa perlu menghapus aspirasi para seniman, masyarakat akan sepenuhnya percaya dengan langkah-langkah yang ditempuh pemerintah.
Masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan selain menghapus mural di jalanan. Memastikan masyarakat menerima jatah vaksin misalnya. Kepastian tentang vaksin ini jauh lebih penting untuk diperhatikan ketimbang tersinggung dan membungkam masyarakat untuk melakukan kritik di jalanan. Terlebih, sekarang banyak sekali orang yang kesulitan dalam mendapatkan akses vaksin.
Pemerintah seharusnya tidak perlu tersinggung ketika dikritik. Ibarat orang gendut yang percaya diri tidak akan marah ketika dibilang gendut. Akan tetapi orang kurus yang tidak percaya diri akan tersinggung dan merasa insecure ketika dibilang gendutan.
ADVERTISEMENT
Saya sempat berpikir kalau penghapusan mural berisi kritik tersebut merupakan buntut dari tidak terbiasanya pemerintah kita untuk dikiritik. Bagaimana tidak, peran oposisi dalam pemerintahan sejak awal sudah tidak sekuat dulu. Kritik kepada pemerintah dari orang-orang luar sudah tidak segencar dulu, sehingga pemerintah bisa dengan aman sentosa membuat kebijakan tanpa perlu khawatir dikritik. Saya menduga zona nyaman itulah yang mengakibatkan pemerintah kaget dengan kritikan-kritikan yang datang belakangan ini.
Namun, tentu asumsi liar saya tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Tapi perlu diingat bahwa demokrasi memberikan kesempatan bagi warga negara untuk menyalurkan aspirasinya. Masyarakat memiliki kebebasan untuk mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai dengan isi hatinya. Kalau saya tidak salah, kebebasan berekspresi tersebut juga diatur dalam Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Pungkasnya, sudah seharusnya negara kita kembali mendengar suara masyarakat yang telah lama tidak didengar. Pemerintah tidak perlu menutupi teriakan masyarakat hanya karena khawatir akan memperburuk situasi. Situasi memang sudah buruk. Maka dari itu, sikap percaya diri dan tidak insecure sangat perlu diwujudkan untuk membenahi segala sesuatu yang sedang sakit di negara kita ini.