Konten dari Pengguna

Serawung Perlahan Mulai Mengkhawatirkan

Farih Fanani
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga
17 April 2021 14:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farih Fanani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
Saya cukup tertohok ketika salah satu kawan saya bilang “Mbok kamu itu jangan ngerjakan proposal terus, serawung gitu lho, ke rumah warga, atau nongkrong di pos ronda. Bikin proposalnya kan bisa nanti”.
ADVERTISEMENT
Dengan mengernyitkan dahi saya heran dan bertanya-tanya dalam hati. “Memangnya kenapa kalau saya tidak ke rumah warga dan ke pos ronda? toh nanti juga bakal ketemu warga dan ngobrol di masjid. Lagi pula, bikin proposal juga penting.”
Tapi seruan itu tidak membuat saya mengelak. Saya segera bangkit dari depan laptop, mencoba nurut dan berusaha mengerti apa yang dia minta. Saya pun keluar dan nongkrong dengan pemuda desa di pos ronda.
Sebagai orang yang tidak pandai berserawung, tentu hal itu cukup membuat saya tidak nyaman. Saya gelagapan ketika mengobrol tanpa bahan. Mengangguk-ngangguk sambil mendengarkan cerita yang random, berusaha tertawa atas lelucon-lelucon yang receh, dan yang paling menyiksa adalah menahan untuk tidak menguap ketika situasi sudah mulai membosankan. “Hemmm, pulang sajalah,” kataku dalam hati.
ADVERTISEMENT
Masa itu, kami sedang melakukan kegiatan KKN di salah satu dusun di Gunungkidul. Kami kerap kali menyebutnya perbatasan Indonesia dan Australia. Kawan saya selalu menegaskan pentingnya serawung untuk menanamkan citra baik di mata warga. Karena kalau tidak serawung, menurutnya, kami akan menjadi buah bibir dari warga setempat, dan itu akan membawa kesan yang tidak baik.
Sejujurnya, dalam hati saya masih mempertanyakan, tapi saya mencoba mengerti. Mengingat saya sedang tidak berada di kampung sendiri, dan tentu tiap kampung memiliki peraturan tidak tertulis yang berbeda-beda.
Tujuan serawung memang baik. Berkumpul di satu tempat bersama warga, berbicara semua topik dari ekonomi sampai politik, dari presiden sampai pak RT, dan dari Sabang sampai Merauke. Semuanya bisa menjadi bahan obrolan.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, dewasa ini budaya serawung semakin tidak diprioritaskan oleh anak muda. Bukan karena tidak ingin dan tidak suka serawung, tapi lebih kepada tidak sempat untuk serawung. Mengingat pola hidup dan pekerjaan orang semakin beragam.
Ditambah lagi hadirnya media sosial. Media sosial memang tidak berpartisipasi secara jelas dalam merongrong budaya serawung. Namun, semua orang sepakat bahwa media sosial berperan menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Prinsip itulah yang secara tidak langsung juga akan mengikis sedikit demi sedikit kebutuhan orang untuk berinteraksi dengan orang lain.
Manusia adalah makhluk sosial. Dahulu, kebutuhan sosial manusia diwujudkan dengan cara bertemu secara langsung. Namun sekarang, lahir sebuah media yang mampu memenuhi hasrat sosial manusia tanpa harus bertemu, yakni media sosial. Facebook, Instagram, Line, Twitter, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Budaya serawung adalah budaya masyarakat agraris. Masyarakat kala itu bisa bercengkrama, mengobrol, dan makan bersama di sawah. Dahulu serawung bisa digalakkan dan dijalankan secara masif karena seluruh warga di kampung masih berprofesi sebagai petani.
Namun, sekarang berbeda. Tipe pekerjaan orang sudah mulai bergeser dari sektor agraris ke sektor industri dan kemudian bergeser lagi ke sektor jasa. Pergeseran ini diakibatkan oleh banyak hal, mulai dari kualitas pendidikan yang semakin tinggi, sawah-sawah yang semakin lenyap, hingga pendapatan petani yang tidak pasti dan semakin menyusut. Hal itu membuat anak dari para petani berduyun-duyun untuk tidak meneruskan pekerjaan orang tuanya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, pergeseran tersebut akan mengubah manajemen waktu, kebiasaan, dan tentunya pergaulan. Akibatnya, ukuran moral pergaulan seseorang juga ikut bergeser. Orang tidak lagi bisa bergaul dan bercengkrama dengan orang lain di waktu-waktu tertentu. Itu disebabkan karena tiap orang memiliki waktu longgar yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Petani misalnya, mereka memiliki waktu longgar di sore hingga malam hari. Sedangkan seorang yang berprofesi sebagai satpam rumah sakit, barista, dan bahkan freelancer, terkadang malah menggunakan waktu malamnya untuk bekerja.
Hal itu membuat budaya serawung teramat sulit untuk menghadirkan banyak orang. Serawung yang sering kali dilakukan saat ronda dan kerja bakti, tidak lagi mampu menjadi ajang bagi warga untuk berkumpul dan bercengkrama. Mungkin masih ada yang sempat, tapi tidak banyak.
Keadaan tersebut memaksa warga untuk mengubah gaya komunikasi sosial mereka, termasuk serawung. Serawung harus berubah dari konsep yang lama. Tidak relevan lagi jika menilai orang dari sesering apa dia menampakkan diri di pos ronda. Standar aturan sosial masyarakat tidak bisa lagi seketat dahulu.
ADVERTISEMENT
Masih ada peran lain yang bisa kita perankan dalam rangka menguatkan solidaritas sosial di kampung. Misalnya, menyumbang sejumlah uang untuk tetangga yang tengah mengadakan hajatan, menyuguhkan makanan ringan kepada bapak-bapak yang masih sempat serawung di pos ronda, atau mempersilakan mereka menggunakan teras rumah kita untuk bercengkrama. Ya, setidaknya suguhilah mereka segelas teh panas dan tiga atau empat porsi tempe mendoan hangat.
Melihat kenyataan itu, Anda tidak perlu sedih dan gundah gulana, juga tidak perlu meratapi dan menangis tersedu-sedu atas realita ini. Rupanya, kini serawung bukan satu-satunya ajang untuk berperan di lingkungan kampung. Kita masih bisa memilih peran apa yang mampu kita mainkan. Tentu saja itu boleh dan tidak dosa.
Pungkasnya, zaman telah berubah. Pemakluman terhadap perubahan kini menjadi sebuah kewajiban. Ketimbang menyesali perubahan yang terjadi di masa sekarang, lebih baik kita semua belajar untuk lebih bisa berkompromi dan memaklumi.
ADVERTISEMENT