Konten dari Pengguna

Ruang Publik dan Demokrasi

muhammad fathir sulthoni
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
30 Desember 2020 11:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari muhammad fathir sulthoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ruang Publik dan Demokrasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ruang Publik dan Demokrasi
Ruang publik secara definisi itu adalah ranah kehidupan sosial dalam bentuk ruang/tempat untuk kepentingan publik. Ruang publik tidak hanya berbentuk fisik melainkan juga berbentuk media massa seperti surat, majalah, radio, televisi adalah media dalam ruang publik, ruang publik juga digunakan untuk berkumpul, deliberasi dan berekspresi secara bebas dalam melayani kepentingan-kepentingan umum.
ADVERTISEMENT
Habermas mendifinisikan bahwa ruang publik adalah perkumpulan orang-orang yang berdiskusi berdasarkan rasionalitas. Dan ruang publik pun mempunyai peranan besar dalam sebuah proses demokrasi, karena dalam demokrasi rakyat bebas berargumen dan bersikap tanpa ada batasan dan perbedaan apapun. Habermas menambahkan juga bahwa ruang publik harus bebas dari intervensi dan terbebas dari unsur politik dan permintaan pasar.
Akan tetapi pada realitas fenoma sekrang, untuk menerapkan ruang publik demokrasi yang seutuhnya telah tergelincir dalam permainan para pemodal atau bisa dikatakan oligarki dan kpentingan pasar, yang mana percakapan di ruang publik yang berbasis kekuatan rasional telah ternodai oleh oligarki dan kepntingan pasar, akibatnya, bahasa percakapan, opini, dan diskursus di ruang publik selalu diawasi oleh mereka yang gemar membungkam pikiran dengan kepentingan-kepentingannya, padahal demokrasi mengedepankan diskursus rasional dalam ruang publik yang bebas dominasi tetapi justru mengalami resesi akibat ekspansi kolaboratif kepentingan pasar dan kepentingan oligarki. Ruang publik yang merupakan tempat proses deliberasi berlangsung, dan menjadi bagian penting dalam demokrasi sekarang telah terkontaminasi oleh budaya konsumerisme dari kapitalisme, alhasil menjadikan ruang publik hanya berisikan massa yang mudah dimobilisasi dan dipenuhi opini yang syarat dan kepentingan. Hal ini bisa mengaburkan ruang publik itu sendiri, karena sulit mana yang merupakan suara ruang publik yang otentik yang mencerminkan kepentingan publik, dan mana suara mementingkan kepentingan individu
ADVERTISEMENT
Kenapa saya sebutkan ruang publik menjadi bagian penting dalam demokrasi? Karena iklim demokrasi yang cenderung dimiliki oleh mayoritas serta waja-wajah buruk elit politik yang dipertontonkan hari ini, ruang publik dapat menjadi institusi masyarakat yang otonom tanpa adanya kepentingan dari kekuasaan, untuk mengawasi pelaksanaan demokrasi.
Bahkan F Budi Hadirman dalam wawancaranya, yang dimuat dalam buku esei “Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca Reformasi (2014) menegaskan pentingnya model demokrasi deliberatif, dimana forum-forum dan institusi-institusi masyarakat warga untuk secara kritis dan juga oposisional mengawasi pemerintahan legitim melalui ruang-ruang publik. Lebih jauh lagi Hadirman menekankan pentingnya ruang publik yang utuh dan otonom dari imperatif pasar dan negara dianggap sebagai syarat terpenting demokrasi. (2010: 185)
ADVERTISEMENT
Tetapi apa yang dibicarakan Hadirman dalam wawancara itu tidak akan terwujud karena apa? Ya karena tadi, balik lagi pada tulisan pertama di atas bahwasannya ruang publik yang mampu menghasilkan “efek publik” ketika opini yang berhasil di himpun oleh partisipan secara luas dan melahirkan diskursus-diskursus yang punya kekuatan untuk mengubah kebijakan rezim yang legitim, akhirnya di hegemoni oleh apa yang disebut oleh Hadirman yaitu imperatif pasar dan kepentingan politik oligarki. Sehingga efek publik yang dihasilkannya menjadi semacam efek publik yang justru terasing dari publik.
Kita lihat ketika peristiwa 212, dan lanjutannya yang diinisiasi oleh elit dari suatu habitat politik berbasis agama, gerakan itu dikomandoi dalam ruang publik (media digital), dan mampu memaksa presiden melakukan kunjungan politik ke berbagai faksi yang memiliki kepentingan dan kekuatan politik dalam peristiwa itu. Terlihaat nampak jelas ruang publik, dimana para peserta aksi 212 dan lanjutannya bukanlah ruang publik yang otonom melainkan ruang publik yang dikendalikan beberapa pemodal tokoh yang mempunyai kepentingan politis terkait pilkada jakarta, dengan itu publik hanya sekedar boneka yang bisa diatur-atur oleh elit.
ADVERTISEMENT