Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
AI, Child-Free, dan Tantangan Demografi
2 November 2024 17:21 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Muhammad Muchlas Rowi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Muhammad Muchlas Rowi
[Komisaris Independen PT Jamkrindo, Dosen S3 Ilmu Hukum Universitas Borobudur, dan Wakil Bendahara Majlis Diktilitbang PP Muhammadiyah]
ADVERTISEMENT
SAAT berkunjung ke Indonesia, Paus Fransiskus sempat menyinggung contoh baik dari keluarga di Indonesia yang memiliki banyak anak. Bahkan Paus memuji sikap dari keluarga di Indonesia yang masih ingin memiliki anak merupakan hal yang baik.
Namun Paus juga mengingatkan, soal munculnya keengganan sebagian anak muda untuk menikah atau bahkan memiliki anak [child free]. Banyak orang, kata Paus, lebih memilih mengasuh hewan peliharaan ketimbang anak hasil hubungan biologis.
Data Koran Kompas [Edisi 28/10/2024] yang diolah dari BPS [2012-2022] menunjukkan kecenderungan yang berbeda dari apa yang disampaikan Paus. Nyatanya kini, di Indonesia makin banyak warga Indonesia yang hidup melajang. Sejalan dengan itu, usia warga yang menikah cenderung menua.
Laporan tersebut juga menulis, setidaknya ada sepuluh alasan yang membuat warga Indonesia tidak atau menunda pernikahannya. Tiga diantaranya adalah karena finansial yang belum mapan [13,9%], Selektif memilih pasangan [13,3%], dan belum prioritas [12,7%].
ADVERTISEMENT
Jika ditarik menjadi lebih makro, kekhawatiran
Paus memantik pikiran kita tentang bagaimana mestinya Ai diadaptasi di negeri ini. Ai memang menawarkan solusi canggih di berbagai bidang, tetapi penerapannya tidak bisa dilakukan secara seragam di semua tempat dan sektor. Ada beberapa faktor kunci yang harus dipertimbangkan dalam mengadopsi Ai, salah satunya adalah demografi. Negara-negara dengan populasi menua, seperti Jepang, menghadapi tantangan kekurangan tenaga kerja dan peningkatan kebutuhan layanan kesehatan bagi lansia.
Di sinilah Ai dapat membantu dengan menciptakan sistem otomasi dalam industri serta robot perawatan yang mendukung kesejahteraan penduduk lansia.
Meski tentu saja, Jepang juga mestinya turut memikirkan apa yang sempat disinggung Paus Fransiskus. Bagaimana kemudian negara dapat meredam ketakutan anak-anak muda untuk menikah dan menjalani kehiduan dalam sebuah keluarga. Di titik ini, Ai bisa menjalankan tugasnya; meringankan tugas-tugas pekerjaan baik di tempat kerja, sekolah, bahkan di rumah.
ADVERTISEMENT
Konteks Indonesia
Di sisi lain, negara-negara dengan populasi muda seperti Indonesia menghadapi tantangan berbeda. Dengan populasi yang besar dan muda [meski kecenderungan bisa berbalik gegara childfree syndrome], tantangan utama bukan kekurangan tenaga kerja, melainkan menyediakan lapangan kerja yang cukup dan meningkatkan keterampilan digital.
Karena seperti disinggung peraih nobel Fisika sekaligus Bapak Kecerdasan Buatan, Geofrey Hinton, soal kekhawatirannya bahwa Ai akan banyak mengambil pekerjaan manusia. laporan bank investasi Goldman Sachs menyebut, potensi tersebut mencapai 300 juta pekerjaan [hampir seperempat tugas pekerjaan di Amerika Serikat dan Eropa].
Penggunaan Ai secara sporadis, tanpa mempertimbangan faktor demografi akan menimbulkan tantangan sosial-ekonomi yang besar. Mulai dari peningkatan pengangguran, terutama sektor-sektor yang bergantung pada tenaga kerja manual atau proses yang dapat diotomatisasi, seperti manufaktur, transportasi, dan retail. Hal ini bisa memperlebar ketimpangan ekonomi antara mereka yang memiliki keterampilan tinggi (dan bisa beradaptasi dengan teknologi) dan mereka yang tidak memiliki akses ke pelatihan atau keterampilan yang relevan.
ADVERTISEMENT
Sementara sektor tertentu mungkin mengalami penurunan, pekerjaan baru di sektor teknologi dan layanan berbasis AI akan muncul. Namun, transisi ini memerlukan pelatihan ulang yang intensif. Indonesia harus mempersiapkan tenaga kerjanya untuk beradaptasi dengan ekonomi digital dengan menyediakan akses ke pendidikan teknologi, terutama di bidang seperti data science, coding, dan manajemen Ai. Tanpa pendidikan yang cukup, tenaga kerja akan sulit menyesuaikan diri, dan Indonesia bisa tertinggal dari negara lain yang lebih cepat beradaptasi dengan teknologi baru.
Indonesia memiliki sektor informal yang besar, dan dampak Ai terhadap sektor ini mungkin tidak langsung terasa. Namun, ketika sektor formal mulai mengalami otomatisasi, masyarakat yang bekerja di sektor informal bisa terkena dampaknya secara tidak langsung, misalnya melalui penurunan daya beli atau permintaan akan jasa yang mereka tawarkan.
ADVERTISEMENT
Penggantian pekerjaan oleh Ai juga bisa menyebabkan kecemasan sosial. Ketakutan kehilangan pekerjaan dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan bisa memicu ketidakpuasan, alienasi, dan bahkan potensi gejolak sosial. Ini bisa menimbulkan tantangan baru bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas sosial, terutama jika perubahan teknologi tidak diikuti dengan kebijakan sosial yang mendukung, seperti program jaring pengaman sosial atau kebijakan kerja.
Ai untuk Pendidikan
Karena itulah, Ai di sini lebih relevan jika difokuskan pada pendidikan dan pengembangan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri masa depan, serta penciptaan peluang baru dalam ekonomi digital.
Oleh karena itu, meskipun Ai adalah teknologi yang revolusioner, penerapannya tidak bisa dianggap berhasil begitu saja tanpa mempertimbangkan konteks demografi, infrastruktur, dan kebijakan di tiap negara. Ai yang sukses adalah Ai yang dapat beradaptasi dengan realitas setempat, sehingga teknologi ini benar-benar dapat memberikan manfaat yang maksimal sesuai dengan kebutuhan dan tantangan unik di setiap wilayah.
ADVERTISEMENT
Untuk negara dengan populasi yang menua seperti Jepang, dimana lebih dari 28% penduduknya berusia di atas 65 tahun, maka pengembangan Ai bisa diarahkan melalui untuk pengembangan teknologi robotika dan Ai untuk mendukung perawatan lansia. Robot perawat seperti "Pepper" dan "Paro," yang dirancang untuk memberikan bantuan fisik dan emosional kepada lansia, kini menjadi pemandangan yang semakin umum di panti jompo. Di sektor kesehatan, Ai digunakan untuk memantau kondisi kesehatan lansia secara real-time, memberikan peringatan dini kepada tenaga medis jika ada tanda-tanda penurunan kesehatan.
Selain itu, Ai juga dimanfaatkan untuk otomasi industri, menutupi kekurangan tenaga kerja di sektor manufaktur. Pabrik-pabrik di Jepang kini dilengkapi dengan robot dan sistem AI yang memungkinkan operasi tanpa keterlibatan manusia secara langsung. Hal ini membantu menjaga produktivitas di tengah menurunnya jumlah angkatan kerja.
ADVERTISEMENT
Sementara di Indonesia, yang memiliki dinamika demografi berbeda. Dengan populasi yang didominasi oleh kaum muda, Indonesia saat ini tengah menikmati bonus demografi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hampir 44% penduduk Indonesia berusia di bawah 30 tahun. Ini adalah peluang besar bagi ekonomi, tetapi juga membawa tantangan dalam menyediakan lapangan kerja yang memadai dan mempersiapkan generasi muda dengan keterampilan yang tepat untuk menghadapi era digital.
Ai di Indonesia perlu berfokus pada pembangunan keterampilan digital dan peningkatan produktivitas di sektor-sektor yang relevan dengan populasi mudanya. Salah satu area yang bisa dioptimalkan adalah pendidikan berbasis Ai. Dengan menggunakan Ai, sistem pendidikan dapat disesuaikan untuk memberikan materi pelajaran yang personal dan adaptif, membantu siswa mengembangkan keterampilan sesuai dengan minat dan kebutuhan pasar tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Di sektor ekonomi digital, Ai bisa memainkan peran besar dalam mendukung wirausaha muda. Ai dapat digunakan untuk menganalisis data pasar, membantu wirausahawan memahami tren konsumen, serta memberikan rekomendasi yang tepat untuk meningkatkan strategi bisnis mereka. Dengan populasi muda yang melek teknologi, Indonesia berpotensi besar memanfaatkan Ai untuk mendorong inovasi di sektor teknologi dan startup.
Sambil merawat ingatan kita soal alasan muculnya kekhawatiran soal Ai dari penciptanya sendiri, penting mengambalikan Ai pada fondasi awalnya saat diciptakan yaitu kemampuannya untuk belajar dari data dalam jumlah besar dan mendeteksi pola yang kompleks [deep learning]. Bukan kepada apa yang dikhawatirkannya, yaitu pengembangan otomatisasi pekerjaan terlalu massif [job losses], munculnya, manipulasi gambar atau video [deep fake], dan senajata otonom [autonomous weapon].
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kita pun harus satu suara, bahwa Ai bukanlah solusi satu ukuran untuk semua (one-size-fits-all). Setiap negara memiliki kondisi dan tantangan yang berbeda, sehingga pendekatan terhadap teknologi ini harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Jepang, dengan populasi tua, mengandalkan Ai untuk mengisi kekurangan tenaga kerja dan meningkatkan layanan perawatan lansia. Sementara itu, Indonesia, dengan populasi mudanya, membutuhkan Ai untuk mendorong pendidikan dan lapangan kerja di sektor digital.
Hal serupa juga bisa dilihat di negara-negara lain seperti Finlandia dan India. Finlandia, dengan populasi kecil dan berpendidikan tinggi, menggunakan Ai untuk meningkatkan efisiensi layanan publik dan pendidikan. Sementara India, dengan populasi besar dan tantangan pendidikan serta infrastruktur, lebih memfokuskan Ai untuk meningkatkan layanan dasar dan mengatasi masalah ketimpangan.
ADVERTISEMENT
Ai adalah alat yang sangat kuat dengan potensi besar untuk menyelesaikan banyak masalah global. Namun, penerapannya tidak bisa dianggap pasti berhasil di setiap negara. Ai hanya akan sukses jika disesuaikan dengan realitas lokal masing-masing negara, baik itu kondisi sosial, ekonomi, maupun demografi. Indonesia saat ini membutuhkan semacam peta jalan penggunaan Ai. Agar teknologi super canggih ini tidak malah membuat kita tersesat, atau alih-alih malah punah.