Haedar Nashir dan Jalan Baru Untuk Indonesia Maju

Muhammad Muchlas Rowi
Dosen, penulis, serta pegiat Literasi Media yang aktif di berbagai organisasi. Saat ini menjabat sebagai Komisaris Independen di PT Jamkrindo
Konten dari Pengguna
7 Maret 2024 8:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Muchlas Rowi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. (Foto: Facebook/Persyarikatan Muhammadiyah)
zoom-in-whitePerbesar
Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. (Foto: Facebook/Persyarikatan Muhammadiyah)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
INDONESIA lahir melalui sejarah panjang dan berliku. Cita-cita awalnya bahkan disebut sudah ada sejak lama. Peter Carey dalam bukunya ‘The Origin of The Indonesian Revolution” menyebut sejak zaman Majapahit.
ADVERTISEMENT
Sementara Benedict Anderson dalam bukunya “Imagined Communities” menyebut kesadaran kolektif tersebut muncul sejak abad ke-17. Saat industri percetakan mulai berkembang. Memungkinkan informasi dan ide-ide baru disebar lebih luas.
Negara majemuk dengan 300 suku bangsa ini akhirnya benar-benar jadi entitas negara pada 17 Agustus 1945. Ia lahir dari satu rahim perjuangan, melawan penjajahan. Penduduk nusantara bersatu di bawah panji yang sama, pengalaman pahit di bawah cengkeraman kolonialisme.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia lalu menandai dimulainya era baru bagi bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa, seperti Soekarno dan Mohammad Hatta, menginginkan Indonesia menjadi negara yang demokratis. Dimana Pancasila menjadi titik temu semua ideologi, paham, dan orientasi kebangsaan.
Fragmentasi Identitas
Belum genap satu abad [79 tahun], globalisasi dan disrupsi datang menerjang bak tsunami di malam hari. Membawa beragam idiologi dan gerakan transnasional yang mulai mewarnai lanskap politik dan sosial Indonesia. Mengarus bersama kekhawatiran soal radikalisme dan ekstremisme yang diwadahi media sosial.
ADVERTISEMENT
Kedatangan mereka membuat kita kikuk. Karena perubahan skema baru identitas ke-Indonesian tak terselesaikan. Bangsa Indonesia lalu terfragmentasi menuju spirit primordialisme, parokial, xenocentrisme atau bahkan etnosentrisme. Sementara spirit multikulturalisme terbunuh sepi.
Banyak orang lalu keliru melihat dan menempatkan istilah radikal. Istilah yang sejatinya punya pengertian yang netral dalam khazanah ilmu pengetahuan. Akibatnya, radikalisme disematkan hanya kepada kalangan tertentu saja.
Matang secara usia ternyata tak serta merta membuat Indonesia memiliki kematangan dalam berbangsa dan bernegara. Terutama dalam konteks demokrasi, usianya bahkan disebut masih terlalu muda.
Nyatanya dalam pelaksanaan pesta demokrasi, kita masih menemukan banyak kekurangan. Termasuk kata yang saat ini sangat populer selain ‘janggar’ dan ‘prabroro’ yaitu ‘curang’. Narasinya terus didengungkan, seolah jadi bagian dari kekecewaan publik. Namun minim usulan yang konstruktif.
ADVERTISEMENT
Jika betul-betul sudah tertanam dengan baik, budaya politik demokratis mestinya mendorong siapa pun untuk teguh menjaga nilai-nilai demokrasi. Termasuk siap kalah ataupun menang. Meski dalam situasi dimana kesulitan ekonomi mengimpit kehidupan sehari-hari sekalipun.
Di tengah masyarakat yang secara umum tak melihat demokrasi sebagai sebuah sistem yang dapat melindungi hak warga negara, menjamin kompetisi pemilu nan adil, pengawasan kekuasaan, keseimbangan beragama, maka menarik untuk mencermati sodoran paradigma baru dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir. Gagasannya bukan sekadar solusi pragmatis, tapi sebuah visi yang berakar pada nilai-nilai luhur agama dan tradisi Indonesia.
Buah pikirnya tersebut telah ditulis oleh sekira 23 akademisi dan intelektual. Lalu dibukukan dengan judul ‘Jalan Baru Moderasi Beragma: Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir. Peluncurannya dihelat begitu santai dan hangat di Aula Perpustakaan Nasional, Jalan Merdeka Selatan, Senin [4/3/2024] malam.
ADVERTISEMENT
Paradigma Baru
Meski sebagian besar hidupnya dihabiskan di Kota Gudeg, Yogyakarta, Haedar Nashir mengaku punya irisan sangat kuat dengan tradisi masyarakat Sunda. Tidak saja dalam bagaimana ia bersikap, tapi juga soal pandangan hidupnya.
Haedar Nashir, lahir di Tatar Sunda. Tepatnya di Ciparay, Kabupaten Bandung. Seperti masyarakat Sunda pada umumnya, ia lahir dan besar dalam masyarakat yang meladang. Entitas sosial yang memiliki karakter egaliter.
Jalan baru moderasi beragama ala Haedar Nashir ia umpamakan seperti sebuah ‘siger mahkota’. Dimana siger atau mahkota, dalam tradisi Sunda, harus diletakan di atas kepala dan harus sangat presisi.
‘Siger’ merupakan kependekan dari kata ‘sineger’, yang berarti ‘sangkar’ atau ‘jalan’. Merujuk pada sebuah perhiasan kepala khas Indonesia yang lazim dikenakan kaum hawa. Siger dibuat dari bahan logam, berbentuk melekuk dan dihiasi batu permata.
ADVERTISEMENT
“Kebetulan saya ada irisan dengan konsep sunda, yang disebut siger tengah. Siger itu mahkota, dan mahkota mesti diletakan di atas, dan mesti pas,” terang Haedar Nashir.
Moderasi beragama menurut Haedar Nashir bukan tentang menyamakan semua agama [sinkretisme], melainkan tentang membangun jembatan antarumat beragama. Ini tentang memahami perbedaan dengan penuh hormat, dan mencari titik temu di tengah keragaman.
Jalan baru ini menawarkan tiga pilar utama: Pertama, Teologi dan Spiritualitas. Keduanya harus didorong untuk memperkuat pemahaman agama yang moderat, toleran, dan inklusif. Titik tekannya kita harus kembali ke esensi agama yang menekankan kasih sayang, perdamaian, dan persaudaraan.
Kedua, Budaya dan Etika. Menyasar tentang pentingnya menumbuhkan budaya dialog, toleransi, dan saling menghormati antarumat beragama. Dalam konteks ini, penting sekali untuk menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Politik dan Kebijakan. Yang diharapkan dapat mendorong kebijakan publik yang mendukung moderasi beragama dan mencegah ekstremisme. Harapannya, moderasi beragama dapat menciptakan ruang publik yang inklusif dan ramah bagi semua.
Moderasi beragama memang bukan tugas yang mudah. Namun, Haedar Nashir yakin bahwa jalan baru ini adalah satu-satunya cara untuk membangun Indonesia yang damai dan sejahtera.
Gagasan Haedar Nashir telah mendapat banyak dukungan dari berbagai kalangan, termasuk pemimpin agama, akademisi, dan aktivis. Gagasan ini juga sejalan dengan agenda pemerintah Indonesia dalam membangun toleransi dan kerukunan antarumat beragama.
Jalan baru moderasi beragama yang ditawarkan Haedar Nashir adalah sebuah langkah penting. Ini adalah sebuah undangan untuk membangun masa depan Indonesia maju yang lebih toleran, damai, dan sejahtera.
ADVERTISEMENT
Muhammad Muchlas Rowi
Dosen dan pegiat Literasi Media