Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 Ā© PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Kejahatan dan Kriminalisasi: Apakah Sama atau Berbeda?
24 Maret 2025 17:25 WIB
Ā·
waktu baca 3 menitTulisan dari Rizky Mahfudz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kalau dengar kata "kejahatan," yang terbayang di kepala kita biasanya pencurian, pembunuhan, atau korupsiāhal-hal yang jelas bikin rugi orang lain. Sementara itu, "kriminalisasi" mungkin bukan istilah yang sering kita pakai sehari-hari, meskipun dampaknya nyata dalam kehidupan kita. Tapi, sebenarnya kejahatan dan kriminalisasi itu sama atau beda sih?
ADVERTISEMENT
Jawabannya enggak sesederhana iya atau tidak. Ada banyak hal yang bikin suatu perbuatan dianggap kejahatan atau malah dikriminalisasi. Hukum, moral, dan perubahan sosial punya andil besar dalam menentukan batas antara keduanya.
Kejahatan itu bukan sekadar soal melanggar hukum. Bisa dibilang, kejahatan adalah tindakan yang bikin orang lain rugi, entah secara fisik, mental, atau finansial. Tapi, kalau ditelusuri lebih dalam, konsep ini nggak selalu mutlak. Di satu negara atau zaman tertentu, sesuatu bisa dianggap kejahatan, tapi di tempat lain bisa aja nggak. Contohnya, di beberapa negara, penggunaan ganja itu ilegal, tapi di negara lain malah dilegalkan buat medis atau rekreasi.
Di sinilah hukum dan realitas sosial sering kali bentrok. Apakah sesuatu disebut kejahatan karena benar-benar merugikan, atau cuma karena aturan bilang begitu? Hukum sendiri kan kesepakatan sosial yang terus berkembang, jadi definisi kejahatan pun bisa berubah seiring waktu.
ADVERTISEMENT
Nah, kalau kriminalisasi, itu adalah proses di mana sesuatu yang sebelumnya boleh-boleh aja jadi terlarang karena aturan baru. Misalnya, dulu merokok di tempat umum biasa aja, tapi sekarang banyak negara yang melarangnya dan bisa kena denda. Dari sini kelihatan kalau kriminalisasi lebih banyak dipengaruhi keputusan hukum dan politik dibanding sekadar soal moral atau dampak sosial.
Menariknya, nggak semua yang dikriminalisasi itu benar-benar berbahaya. Sepanjang sejarah, hukum sering dipakai bukan buat melindungi masyarakat, tapi buat mengontrolnya. Banyak kelompok yang jadi korban kriminalisasi cuma karena tekanan politik atau norma sosial saat itu. Misalnya, di beberapa negara, hubungan sesama jenis pernah dianggap kriminal bukan karena mereka merugikan siapa pun, tapi karena nggak sesuai sama nilai-nilai yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada juga kejahatan yang nggak dikriminalisasi, atau sebaliknya, sesuatu yang dikriminalisasi padahal nggak bikin rugi siapa pun. Contoh gampangnya, korupsi. Jelas-jelas merugikan banyak orang, tapi sering kali hukumannya nggak sebanding. Sementara itu, ada aturan yang melarang hal-hal yang sebenarnya nggak berbahaya, seperti larangan demonstrasi damai di beberapa negara.
Contoh menarik lainnya adalah kebijakan "Prohibition" di Amerika Serikat pada awal abad ke-20, di mana alkohol dilarang dengan harapan mengurangi kejahatan dan meningkatkan moral masyarakat. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Pasar gelap tumbuh subur, mafia makin kuat, dan tingkat kejahatan naik. Akhirnya, pemerintah sadar kalau kriminalisasi ini malah bikin masalah baru dan mencabut aturan tersebut.
Dari sini, kita bisa belajar kalau hukum yang baik bukan cuma soal menghukum, tapi juga soal menjaga keseimbangan antara keadilan, keamanan, dan kebebasan masyarakat. Nggak semua yang buruk dikriminalisasi, dan nggak semua yang dikriminalisasi itu benar-benar buruk. Jadi, kita perlu terus berpikir: apakah sesuatu dianggap kejahatan karena memang merugikan, atau cuma karena hukum bilang begitu? Pertanyaan ini bukan cuma buat ahli hukum, tapi buat kita semua yang hidup di dalam sistem hukum yang terus berubah.
ADVERTISEMENT