news-card-video
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Orde Baru: Antara Mitos Stabilitas dan Realitas Otoritarianisme

Rizky Mahfudz
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta
21 Maret 2025 15:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Mahfudz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2016/02/16/12/19/indonesia-1203250_1280.jpg (Ilustrasi petani di desa)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2016/02/16/12/19/indonesia-1203250_1280.jpg (Ilustrasi petani di desa)
ADVERTISEMENT
Ketika kita mendengar istilah "Orde Baru," yang terlintas di benak kebanyakan orang Indonesia adalah sebuah era panjang di bawah kepemimpinan Soeharto yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade, dari tahun 1966 hingga 1998. Sebuah periode yang kerap dikaitkan dengan pembangunan ekonomi yang pesat, stabilitas politik yang kokoh, namun juga bayang-bayang otoritarianisme yang menekan kebebasan individu. Namun, apakah Orde Baru benar-benar sesederhana itu? Apakah stabilitas yang dijanjikan pada masa itu benar-benar membawa kebaikan bagi masyarakat, atau justru menumpulkan demokrasi yang semestinya menjadi hak semua warga negara?
ADVERTISEMENT
Orde Baru lahir dari kekacauan politik yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an. Ketika itu, konflik ideologi antara kelompok komunis, nasionalis, dan Islam mencapai puncaknya, dengan tragedi 30 September 1965 sebagai titik balik yang mengubah wajah politik Indonesia secara drastis. Soeharto, seorang jenderal yang saat itu masih berada dalam bayang-bayang kepemimpinan Soekarno, muncul sebagai sosok yang membawa "ketertiban" setelah tragedi berdarah itu. Perlahan namun pasti, ia mengambil alih kekuasaan dari Soekarno dengan dalih menyelamatkan bangsa dari ancaman komunisme.
Namun, stabilitas yang ditawarkan Soeharto bukanlah stabilitas dalam arti kebebasan dan kesejahteraan bagi semua. Itu adalah stabilitas yang diperoleh melalui represi politik, kontrol ketat terhadap media, serta pembungkaman terhadap mereka yang dianggap sebagai ancaman bagi rezim. Semua orang yang berseberangan dengan pemerintah—baik aktivis, akademisi, maupun tokoh politik—dapat dengan mudah dicap sebagai simpatisan komunis dan berakhir di balik jeruji besi, atau bahkan lenyap tanpa jejak.
ADVERTISEMENT
Salah satu aspek yang sering dijadikan pembelaan terhadap Orde Baru adalah keberhasilan ekonominya. Di atas kertas, memang terlihat mengesankan. Angka pertumbuhan ekonomi yang stabil, infrastruktur yang berkembang pesat, serta meningkatnya investasi asing membuat Indonesia tampak seperti negara yang sedang menuju kejayaan. Namun, pertanyaannya adalah: siapa yang sebenarnya menikmati hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut?
Bagi segelintir elite yang dekat dengan kekuasaan, Orde Baru adalah era keemasan. Bisnis berkembang pesat, proyek-proyek besar mengalir ke tangan kroni-kroni pemerintah, dan akses terhadap modal begitu mudah bagi mereka yang memiliki koneksi. Sementara itu, rakyat kecil tetap berkutat dengan kehidupan yang sulit. Sistem ekonomi yang dibangun Soeharto adalah sistem yang bertumpu pada hubungan antara pemerintah dan para konglomerat, yang kemudian menciptakan kesenjangan ekonomi yang tajam. Pada akhirnya, meskipun pertumbuhan ekonomi terlihat impresif, kesejahteraan tidak merata, dan yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin tetap tertinggal.
ADVERTISEMENT
Bicara tentang Orde Baru tidak bisa lepas dari pembatasan kebebasan berpendapat. Jika hari ini kita bisa dengan bebas mengkritik pemerintah, membuat meme politik, atau mengutarakan pendapat di media sosial, situasinya sangat berbeda di era Orde Baru. Pers dikontrol dengan ketat, buku-buku yang dianggap berbahaya dilarang, dan organisasi yang bersuara kritis langsung dicap sebagai pengganggu stabilitas negara.
Bukan hanya itu, individu yang berani melawan arus akan segera berhadapan dengan aparat keamanan. Tak terhitung jumlah aktivis yang ditangkap, dipenjara tanpa proses peradilan yang jelas, atau bahkan "menghilang" tanpa pernah ditemukan kembali. Rezim ini memiliki cara tersendiri untuk membungkam lawan politiknya—dari penculikan hingga rekayasa kasus hukum. Singkatnya, stabilitas yang digadang-gadang Orde Baru adalah stabilitas semu yang dibangun di atas ketakutan.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh nyata dari represi politik pada masa itu adalah kasus Wiji Thukul, seorang penyair dan aktivis yang suaranya menjadi ancaman bagi pemerintahan Soeharto. Lewat puisinya, ia menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kebungkaman. Namun, pada 1998, di tengah gejolak reformasi, ia menghilang tanpa jejak. Hingga hari ini, keberadaannya masih menjadi misteri. Kasus ini bukanlah satu-satunya. Banyak orang lain yang mengalami nasib serupa hanya karena berani bersuara.
Kalau ada satu hal yang sangat identik dengan Orde Baru dan masih terasa dampaknya hingga sekarang, itu adalah budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ketika Soeharto berkuasa, ia membangun jaringan kekuasaan yang sangat erat dengan keluarga, kerabat, dan kolega bisnisnya. Anak-anaknya menguasai berbagai sektor industri, sementara para pejabat mendapatkan keuntungan besar dari proyek-proyek pemerintah.
ADVERTISEMENT
Korupsi pada masa itu bukan lagi sekadar perilaku menyimpang, tetapi sudah menjadi bagian dari sistem pemerintahan itu sendiri. Semua lini pemerintahan, dari yang tertinggi hingga yang terendah, dipenuhi praktik suap dan penyalahgunaan kekuasaan. Yang lebih ironis, masyarakat pun menjadi terbiasa dengan sistem ini—bahkan hingga hari ini, warisan KKN masih terasa dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.
Tak ada kekuasaan yang abadi, dan Orde Baru pun akhirnya runtuh pada 1998. Krisis ekonomi yang melanda Asia pada 1997 menjadi pemicu utama yang memperlihatkan betapa rentannya sistem yang telah dibangun Soeharto selama puluhan tahun. Ketika nilai rupiah anjlok dan harga kebutuhan pokok melambung tinggi, rakyat yang selama ini hidup dalam tekanan mulai bangkit. Mahasiswa turun ke jalan, masyarakat mulai bersuara, dan tekanan internasional semakin kuat.
ADVERTISEMENT
Namun, belakangan ini, muncul pertanyaan yang menggelitik: apakah Orde Baru bisa terlahir kembali? Dengan disahkannya RUU TNI yang memberikan lebih banyak ruang bagi militer dalam ranah sipil, kekhawatiran itu semakin nyata. Kita telah belajar dari sejarah bahwa salah satu pilar utama Orde Baru adalah dominasi militer dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Jika hari ini peran itu kembali diperluas, apakah kita sedang berjalan mundur ke arah masa lalu yang penuh kontrol dan represi? Ataukah ini hanya langkah politik biasa yang tidak akan berujung pada kembalinya era otoritarianisme?
Hari ini, kita masih sering mendengar orang-orang yang merindukan Orde Baru. Mereka meromantisasi masa lalu dengan mengingat harga kebutuhan pokok yang stabil, keamanan yang terjaga, dan pembangunan yang terasa nyata. Namun, apakah mereka juga mengingat bahwa kebebasan mereka dibungkam? Bahwa demokrasi dikorbankan demi stabilitas semu? Bahwa kesejahteraan yang mereka rasakan sebenarnya tidak pernah benar-benar merata?
ADVERTISEMENT
Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran bagi kita, bukan nostalgia yang ingin kita ulangi. Kita memang tidak bisa menafikan bahwa ada beberapa hal positif yang muncul dari era tersebut, tetapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menutup mata terhadap segala bentuk represi yang terjadi. Jika kita ingin belajar dari sejarah, maka yang harus kita lakukan adalah memastikan bahwa kesalahan yang sama tidak terulang kembali—bahwa stabilitas tidak harus dibayar dengan kebebasan, dan bahwa pembangunan harus benar-benar inklusif, bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Jadi, apakah kita masih ingin kembali ke Orde Baru? Ataukah kita ingin membangun Indonesia yang lebih baik tanpa harus mengorbankan demokrasi dan keadilan? Jawabannya ada di tangan kita sendiri.
ADVERTISEMENT