Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Etika Kantian Sebagai Peneguhan Integritas dan Profesionalisme Profesi Hukum
8 Januari 2021 21:02 WIB
Tulisan dari Muhammad Farhan Ghibran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![ilustrasi niai-nilai etika: (waccglobal.org)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1610113485/in3if65bifcuc1ul8vcn.jpg)
ADVERTISEMENT
Berdasarkan definisi dari Britannica, profesi hukum adalah pekerjaan yang didasarkan pada keahlian dalam bidang hukum dan penerapannya. Profesi hukum terdiri atas hakim, jaksa, advokat, notaris, polisi, dan lainnya berkaitan dengan hukum. Walau definisi di atas terkesan terlalu menyederhanakan, tetapi itu cukup mencakup perbedaan kategori mengenai profesi hukum antara tradisi sistem hukum civil law dan common law yang disebabkan sejarah perkembangan profesi hukum masing-masing tradisi memiliki alur yang kompleks dan unik.
ADVERTISEMENT
Salah satu karakteristik atau ciri-ciri profesi menurut Herbert M. Kritzer adalah bahwa suatu profesi mempunyai satu atau lebih organisasi yang melayani kebutuhan internal dan eksternal dari profesi tersebut. Jika kita melihat konsep profesi tersebut pada profesi hukum, maka terdapat begitu banyak organisasi yang menaungi masing-masing profesi hukum.
Organisasi profesi berkewajiban dalam merumuskan norma-norma untuk melayani kepentingan dari anggotanya dan melindungi hak-hak masyarakat pengguna jasa mereka, yakni berupa kode etik profesi. Kode etik profesi ini berisi prinsip-prinsip moral yang disusun secara sistematis oleh suatu organisasi profesi. Setiap anggota profesi tersebut wajib mematuhi dan menjalankan kode etik tersebut dalam berprofesi.
Masing-masing profesi hukum mempunyai kode etiknya sendiri. Untuk profesi advokat mempunyai Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), profesi notaris mempunyai Kode Etik Notaris (KEN), profesi hakim mempunyai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), profesi polisi mempunyai Kode Etik Profesi Polri (KEPP), profesi jaksa mempunyai Kode Perilaku Jaksa (KPJ), dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kendati kode etik tersebut memuat prinsip-prinsip moral yang mengharuskan anggotanya menjauhi perbuatan-perbuatan tercela dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, kemandirian, dan tanggung jawab agar tetap berintegritas dan profesional dalam menjalankan profesinya serta menjadi rujukan dan aturan tertinggi dalam berprofesi, justru yang terjadi sebaliknya.
Mengutip dari BBC, pada profesi hakim, laporan yang dikeluarkan oleh MA pada 10 September 2020 mencatat bahwa terdapat 93 hakim yang dikenakan sanksi pada tahun 2020, di antaranya 53 orang dikenai tindakan disiplin dan 40 orang dikenai sanksi ringan. Mengutip dari beritasatu, pada profesi polisi, Kapolri Jendral Idgam Azis dalam Rilis Akhir Tahun 2020 mengatakan bahwa berdasarkan putusan sidang disiplin dan kode etik, ada 129 anggota polri yang diberhentikan secara tidak hormat (PTDH) sepanjang tahun 2020. Mengutip dari mediaindonesia, pada profesi jaksa, dari 524 laporan masyarakat yang masuk pada Kejagung (Kejaksaan Agung) sejak Oktober 2019 sampai Oktober 2020, sebanyak 109 orang jaksa dikenakan sanksi.
ADVERTISEMENT
Dari kasus-kasus pelanggaran kode etik oleh sejumlah profesi hukum di atas menunjukkan bahwa kode etik tersebut tidak berjalan dengan baik, pelanggaran terhadap kode etik berarti melukai integritas dan profesionalisme dari profesi tersebut. Ironisnya, pelanggaran kode etik dilakukan oleh profesi hukum yang dianggap memiliki kesadaran hukum yang tinggi dan seharusnya menjamin hukum terlaksana sebagaimana semestinya.
Diperlukan suatu sistem nilai di luar kode etik yang mendorong supaya para anggota di setiap profesi hukum menaati aturan terkait profesinya dengan suka rela dan menyeluruh. Etika kantian sebagai salah satu sistem nilai yang berorientasi pada tugas atau kewajiban (deontologi) menawarkan hal tersebut.
Etika Kantian
Etika kantian adalah etika yang dibangun oleh filsuf Jerman bernama Immanuel Kant. Menurut Kant, suatu perbuatan bernilai moral jika sesuai dengan norma atau kewajiban batiniah (hukum). Ketaatan tersebut bukan lantaran karena takut akan dampak atau efek dari pelanggaran norma atau hukum, tetapi justru karena menyadari bahwa hukum tersebut adalah kewajiban. Untuk menerangkan hal ini lebih lanjut, Kant membagi moralitas dalam dua kategori. Pertama adalah moralitas heteronom. Kedua adalah moralitas otonom.
ADVERTISEMENT
Moralitas heteronom merupakan ketaatan manusia akan norma atau hukum disebabkan oleh faktor di luar diri atau kehendak dari subjek, sedangkan moralitas otonom ialah ketaatan manusia akan norma atau hukum disebabkan adanya kesadaran dalam diri subjek bahwa melaksanakan kewajiban tersebut adalah sesuatu yang baik. Jadi, sikap manusia berdasarkan moralitas otonom ini menurut Kant adalah satu-satunya bernilai moral, sebab untuk bertindak secara rasional manusia membutuhkan kebebasan.
Selanjutnya, Kant membedakan dua macam perintah atau imperatif. Pertama adalah imperatif kategoris. Kedua adalah imperatif hipotetis. Imperatif kategoris merupakan perintah mutlak dan tanpa syarat, tidak tergantung pada maksud, dampak, dan tujuannya, Kant menerapkan prinsip universalisasi untuk menentukan apa suatu perbuatan tersebut sesuai dengan imperatif kategoris, bahwa perbuatan tersebut menjadi maksim (aturan atau prinsip moral) dan dapat berlaku secara universal, contoh: Jangan berbohong, kembalikan barang yang kau pinjam, jangan mencuri, jangan membunuh. Sedangkan imperatif hipotetis adalah perintah yang bersyarat, tergantung pada maksud, dampak dan tujuannya, contoh: Jika ingin mendapat nilai yang bagus, maka kau harus belajar, jika kau ingin sembuh, maka minumlah obat.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada pembagian moralitas Kant sebelumnya, maka imperatif kategoris masuk ke dalam moralitas otonom, sedangkan imperatif hipotetis masuk dalam moralitas heteronom. Sekilas rumusan etika Kant tidak memberikan ruang bagi perasaan atau kecenderungan dalam diri manusia untuk bertindak moral. Kant memang menolak bahwa perasaan atau kecenderungan menjadi alasan satu-satunya manusia dalam bertindak secara moral, karena akhirnya moralitas bergantung pada naik-turunnya perasaan atau kecenderungan dalam diri manusia, contoh: Seorang penjaga toko yang berbuat jujur agar dagangannya laris atau seorang dermawan yang menyumbangkan hartanya pada orang miskin karena merasa simpati. Perasaan atau kecenderungan boleh menjadi alasan seseorang berbuat moral asalkan didahului oleh kesadaran akan kewajiban dan demi untuk kewajiban itu sendiri.
Terakhir, telah disebutkan bahwa melaksanakan kewajiban merupakan sesuatu yang baik, sebab menurut Kant hal yang baik tanpa pengecualian dan tak terbatasi adalah Kehendak yang Baik. Kemudian, wujud dari Kehendak yang Baik ini adalah kemauan untuk melakukan kewajiban, ketaatan terhadap kewajiban merupakan aturan batin yang mendasari setiap tindakan. Kewajiban menaati hukum adalah demi menghormati hukum.
ADVERTISEMENT