Konten dari Pengguna

Ironi Bubarnya Persipura Jayapura di Tengah Isu Separatisme dan Rasisme

Muhammad Ian Hidayat Anwar
Manusia bumi yang menjadi pembelajar Ilmu Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Alauddin Makassar
3 Februari 2021 8:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ian Hidayat Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Persipura Jayapura. Foto: Dok. PT LIB
zoom-in-whitePerbesar
Persipura Jayapura. Foto: Dok. PT LIB
ADVERTISEMENT
Bubarnya klub sepak bola Persipura Jayapura menjadi sebuah kondisi yang menyedihkan bagi masyarakat pecinta sepak bola seluruh tanah air terlebih masyarakat Papua yang mencintai sekaligus membanggakan keberadaan klub tersebut. Sebenarnya, isu ini sudah ramai diperbincangkan awal Januari kemarin, namun penulis masih menunggu hingga sebulan berikutnya berharap cemas semoga ada perkembangan baik dari klub Persipura maupun nasib kejelasan kompetisi yang tak kunjung menemui solusi.
Ironi Bubarnya Persipura Jayapura di Tengah Isu Separatisme dan Rasisme (1)
zoom-in-whitePerbesar
Bubarnya Persipura tidak terlepas dari efek regulasi akibat pandemic yang mengharuskan orang-orang menjaga jarak satu sama lain demi menghindari penyebaran virus COVID-19.
ADVERTISEMENT
Cukup disayangkan memang, mengingat Persipura merupakan klub papan atas sepak bola Indonesia yang telah mengharumkan nama bangsa secara internasional. Persipura. Di kancah cakupan local Persipura pernah menjadi juara 4 kali Liga Indonesia dari tahun 2005 hingga 2013. Di level antar klub Asia klub dari Tanah Papua ini pernah membanggakan nama Indonesia dengan menembus semifinal AFC Cup 2014. Belum lagi setiap era tim nasional Persipura selalu melahirkan pemain pemain berkualitas yang menjadi pemain kunci, sebut saja Boaz Salossa, Ian Luis Kabes, Titus Bonai, Todd Ferre, Osvaldo Haay dan banyak lagi.
Masih banyak lagi sebenarnya prestasi klub berjuluk mutiara hitam ini yang tidak akan penulis sebut satu per satu karena sudah banyak artikel yang membahas tentang prestasi tim Papua ini.
ADVERTISEMENT
Penulis hanya ingin beropini perihal sepak bola yang dijadikan sebagai instrumen politik. Seperti yang terjadi pada politik demokrasi di Brasil, orang orang di sana tidak awam dengan nama Socrates. Bukan Socrates filsuf Yunani yang menjadi figur dalam tradisi filosofis Barat yang dimaksud, melainkan seorang Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Viera de Oliveira seorang pemain sepak bola berposisi gelandang dengan sikap tangguh dan visioner. Walaupun memiliki sifat indisipliner yang tidak disukai beberapa orang namun harus diakui Socrates yang ini punya kontribusi terhadap demokrasi Brasil saat ini dengan kampanye politik “Corinthians Democracy” –Nya.
Atau di Italia ada Cristiano Lucarelli dan Paolo di Canio yang secara terang terangang menunjukkan ideologi mereka masing masing komunis dan fasis. Masih di Italia sebut saja Silvio Berlusconi, yang menggunakan AC Milan untuk memulai karier politiknya dan menjadi perdana menteri Italia.
ADVERTISEMENT
Dan masih banyak hubungan politik kenegaraan yang dimulai dari sepakbola.
Di Indonesia sendiri, Persipura Jayapura menjadi representasi kegagalan menjalankan sistem desentralisasi negara. Diskriminasi perlakuan organisasi sepak bola nasional dalam hal ini PSSI terhadap klub Persipura Jayapura sesungguhnya mencerminkan citra birokrasi kita selama ini yang abai terhadap permasalahan di Timur sana maupun daerah luar Pulau Jawa, dampak dari abai tersebut menyebabkan harga bahan industrial maupun bahan pokok jauh di atas harga barang di Pulau Jawa.
Sebagai bentuk diskriminatif terhadap Persipura juga baru ini terjadi, ketika PSSI mendaftarkan Persija Jakarta untuk mewakili Indonesia di Piala AFC Cup 2021 yang seharusnya menjadi jatah Persipura Jayapura. Dalam aturan AFC disebutkan prioritas utama tampil di kejuaraan Asia ini adalah juara kompetisi (Liga 1), juara Piala Domestik (Piala Indonesia), runner up kompetisi serta juara 3 kompetisi. Kejuaraan Asia sejatinya diisi oleh Kampiun Liga 1 2019 Bali United dan Juara Piala Indonesia 2018/2019 PSM Makassar, PSM tak memenuhi syarat untuk ikut AFC Cup sehingga harus digantikan. PSSI melalui rapat Exco memberikan jatah kepada Persija Jakarta yang menjadi runner up Piala Indonesia 2018/2019.
ADVERTISEMENT
Persipura yang memahami hal tersebut sebagai kekeliruan melayangkan surat keberatannya kepada AFC sebagai induk sepak bola Asia dan diterima.
Dilansir dari Kompas.com alasan PSSI memilih Persija menggantikan PSM Makassar karena Persija merupakan runner up. Namun, itu tidak sesuai dengan regulasi yang seharusnya.
Ini juga menjadi suatu cerminan bagaimana birokrasi kita berjalan. Hal dasar yang seharusnya dipahami anggota klub tidak dijalankan dengan baik. Suatu hal yang biasa sebenarnya ketika dalam birokrasi kita mereka yang menjalankan sistem tidak paham regulasi dan alhasil seperti kejadian di atas, merugikan partisipan. Cukup menggelikan memang sekelas pengurus PSSI tidak memahami regulasi dasar seperti di atas, sepertinya mereka harus sedikit mengurangi waktu rapat untuk sekadar menonton tayangan-tayangan sepak bola dan Liga Champion.
ADVERTISEMENT
Persipura kemudian hadir, selain sebagai pesaing kuat dalam sepak bola tanah air Persipura hadir memberikan suara suara perlawanan terhadap kezaliman yang ada.
Di tengah maraknya aksi seperti dari sana serta riuhnya isu rasisme di mana-mana, seharusnya sepak bola dijadikan sebagai sebuah bentuk instrumen politik baik itu untuk menyampaikan keadaan di daerah sana yang jarang tersentuh oleh media atau sebagai wadah pemersatu bangsa, karena sejatinya sepak bola tidak mengenal warna kulit, agama, suku, dan berbagai hal rasial lainnya.
Sekali-kalilah boleh muncul seorang pemain timnas yang merayakan selebrasi golnya dengan dengan memamerkan kaos dalamnya yang bertuliskan “Apakah Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia?”