Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pancasila dalam Sexy Killers
27 Oktober 2020 13:03 WIB
Tulisan dari Muhammad Ian Hidayat Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Manusia dalam pembahasan Thommas Hobbes dalam bukunya berjudul De Cive. Mengistilahkan manusia dengan Homo Homini Lupus yan berarti manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, hal ini didasari pada manusia yang dapat sewaktu waktu menjadi egois dan bahkan dapat merugikan manusia lain, sebagaimana interpretasi serigala yang dapat menikam sewaktu waktu. Homo Homini Socius muncul sebagai perlawanan dari istilah tersebut, Homo Homini Socius yang berarti manusia adalah sacral bagi yang lain didasarkan pada sifat alamiah manusia yang saling membutuhkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Untuk itu manusia menciptakan kelompok yang memiliki keterikatan antara satu dengan yang lainnya agar dapat hidup secara sosial. Manusia mulai menemukan konsep negara. Harold J. Laski menuturkan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegritaskan karena mempunyai wewenang dan sifat memaksa.
Negara tentunya lebih berwenang daripada individu individu. Untuk meredam kekuasaan negara agar tidak sewenang wenang maka manusia merumuskan hukum dan konstitusi, sejalan dengan adagium inde datae leges be fortifor onia poss.
Dengan adanya pembatasan kekuasaan sedemikian rupa menuntut jaminan perlindungan atas hak warga negara. Maka dari itu menjaga kedaulatan sebuah konstitusi sangat penting. Konstitusi yang berlaku di negara kita adalah Undang Undang Dasar Negara Indonesia.
Sebagai negara yang menganut UUD sebagai konstitusi maka dapat dituliskan ada 4 fungsi negara:
ADVERTISEMENT
1. Melindungi segenap bangsa
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
A. Film Sexy Killers
Film Sexy Killers merupakan film yang rilis tahun 2019 garapan Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta tentang industri pertambangan dan hubungannya dengan dunia perpolitikan tanah air, bergenre documenter.
Film ini dimulai dari lekuk tubuh yang sexy mendekskripsikan bagaimana para pembunuh yang begitu sexy dan lihai menjalankan siasatnya untuk memulai bisnis. Di tengah peradaban yang makin maju saat ini diperlihatkan ironi di negri agraris yang rakyatnya secara tidak langsung tidak dapat mengolah tanah pertanian akibat kejamnya industry pertambangan. Di beberapa adegan film tersebut dapat kita lihat bagaimana sampah sisa produksi tambang dibuang dan menjadi limbah yang merugikan masyarakat sekitar. Beberapa petani yang melakukan perlawanan lewat protes dikriminaliasi dan dianggap sebagai pemberontak, lagi lagi ironi memang. Mereka yang dirugikan hendak meluangkan keresahannya menjadi narapidan.
ADVERTISEMENT
Pertengahan film tersebut menjadi adegan yang cukup klimaks, dimana lingkungan hijau kalimanatan digeruk dengan berbagai beton beton berupa alat berat. Tanpa mengenal luka alat alat berat industry bekerja menghiraukan dampak lingkungan dan masyarakat sekitar. Belum lagi lubang tambang yang jumlahnya sekitar 17 titik dengan kedalaman yang cukup untuk menelan 32 korban jiwa termasuk anak anak. Satu hal yang menarik ketika dilakukan wawancara dengan pemangku jabatan daerah setempat. Ketika ditanyai tanggapannya mengenai kasus kasus kematian tersebut dengan entengnya oknum pemangku kekuasaan tersebut mengatakan “Mati itu urusan akhirat.” Memang benar mati merupakan aktivitas mitologi yang terjadi berdasar doktrin agama di akhirat. Namun,menjadi tanggung jawab penyelenggara industry tambang dan pemerintah daerah untuk mencegah hal hal seperti itu terjadi.
ADVERTISEMENT
Lagi lagi ironi memang dikala agama muncul sebagai nilai dogma untuk memberikan kebahagian spiritual kepada manusia saat itu digunakan sebagai alat jualan politik untuk meredam permasalahan publik. Apalagi hal tersebut keluar dari mulut orang berkuasa.
Adegan beberapa menit terakhir juga tidak kalah menarik. Dalam film tersebut dipaparkan bagaimana keterlibatan oligarki dalam industry pertambangan yang melahirkan korban korban jiwa. Nama nama pengurus pemerintah pusat bermunculan, nama nama politikus yang sedang bertarung dalam Pemilu 2019 juga tidak kalah eksistensi di keterlibatannya dalam industry pertambangan.
Tidak mengherankan memang ketika program Nawacita yang diusung pada pemilu 2014 lalu tidak berjalan maksimal. Belum lagi cita cita reforma agraria yang diusung semenjak kemerdekaan Indonesia masih hanya menjadi mimpi basah bagi para penunggu janji janji negara yang tak kunjung diwujudukan secara maksimal. Negara kita seharusnya dapat berkembang dengan pesat mengingat kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang begitu luar biasa dan melimpah.
ADVERTISEMENT
Film ini telah mengangkat isu yang sangat sensitive yaitu soal batu bara dan tambang yang ada di Indonesia. Semenjak rilis pada aplikasi YouTube banyak massa yang mengadakan aksi Diskusi Film. Dampaknya ketidakpercayaan rakyat pada Pemilu meningkat, gerakan golput membludak dan diviralkan di berbagai platform media sosial.
B. Fungsi Negara dan Film Sexy Killers
Mari kita kembali ke pembahasan awal mengenai fungsi negara. Berdasar amanah Undang Undang Dasar tanpa doktrin westernisasi, dapat dituliskan ada 4 fungsi negara:
1. Melindungi segenap bangsa, jika dilihat dalam perspektif film tersebut maka dapat diketahui penduduk yang berada pada daerah pertambangan yang notabene merupakan dari kalangan petani, sebagaimana seharusnya negara agraris. Itu kemudian, tidak mendapat perlindungan yang cukup dari negara. Mengingat diksi tentang kematian yang dilontarkan ole salah seorang pemangku jabatan negara yang muncul dalam adegan film tersebut.
ADVERTISEMENT
2. Memajukan kesejahteraan umum, mengingat kondisi negara Indonesia yang dianugrahi oleh kekayaan tambang yang cukup melimpah. Seharusnya kemakmuran rakyatnya bisa terjamin. Namun sayang, birokrasi yang korup menyebabkan kemiskinan oleh kaum tani dan sebagainya.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, di situasi seperti yang diberitakan dalam film. Tidak masalah kiranya jika kita meminjam gumam Bung Karno yang mengatakan bahwa “orang terpelajar di negri kita hanya berpikir normative, tidak mampu menghasilkan hal baru”. Sejalan dengan sistem pendidikan kita sifatnya stagnan pada pengajaran itu itu saja. Padahal menurut Hegel ilmu pengetahuan sifatnya dinamis.
Baru baru ini legislator di negri kita baru saja mengesahkan undang undang baru mengenai cipta tenaga kerja yang tergabung dalam undang undang omnibus law. Hal ini mengundang gelombang penolakan secara besar besaran di masyarakat umum. Undang undang yang keluar penuh konroversi dan disahkan disaat publik ramai membahas Pandemi Corona Virus 19. Seperti hal nya mencuri curi waktu rapat ini dilakukan secara terbatas di tengah malam.
ADVERTISEMENT
Aksi aksi massa terus hadir di berbagai daerah di Indonesia, dihadiri oleh kalangan akademisi, mahasiswa, pelajar, buruh, dan berbagai kalangan masyarakat yang terdampak lainnya. Masih terasa politis ketika audiensi aksi yang dilakukan di beberapa daerah malah dilakukan oleh fraksi yang menolak. Dengan gagahnya mereka dari fraksi itu menolak undang undang ini. Seharusnya juga hadir mereka yang menolak agar kita dapat berdiskusi mengenai alasan pengesahannya. Aksi massa yang terjadi pun hanya menjadi ajang pamer eksistensi dari kalangan fraksi penolakan. Sia sia memang.
Bukankah cita cita keadilan sosial ditujukan bagi seluruh rakyat Indonesia?