Sengketa Batas Maritim : Tidak Semudah yang Dibayangkan

Muhammad Iqbal Habiburrohim
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
7 Desember 2021 20:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Iqbal Habiburrohim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : pexels.com
ADVERTISEMENT
Saat ini, sengketa mengenai batas maritim khususnya yang melibatkan Indonesia sedang sering terjadi. Sebenarnya hukum yang mengatur mengenai batas maritim antar negara telah diatur dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) dan telah ditandatangani pada Konvensi PBB tahun 1982. Lalu, apa yang menjadi permasalahan?
ADVERTISEMENT
UNCLOS sendiri telah membagi batas maritim yang dimiliki setiap negara. Apabila kita mengingat kembali pelajaran saat SMA dulu, batas maritim sebuah negara dibagi menjadi beberapa bagian mulai dari Laut Teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen. Masing-masing zona tersebut tentunya memiliki penjelasan tersendiri.
Zona pertama yaitu Laut Teritorial merupakan wilayah sejauh 12 mil yang diukur dari garis pangkal pantai. Nah, daerah yang masuk ke dalam wilayah ini menjadi milik suatu negara atau dengan kata lain negara tersebut memiliki kedaulatan penuh atas perairan tersebut.
Kemudian, beralih ke zona selanjutnya yaitu Zona Tambahan yaitu wilayah sejauh maksimal 24 mil dari garis pangkal pantai, dimana suatu negara sudah tidak memiliki kedaulatan penuh atas wilayah ini, namun masih bisa mendapatkan hak berdaulat. Menurut pasal 33 UNCLOS, negara memiliki hak untuk melakukan pengawasan yang diperlukan dalam mencegah terjadinya pelanggaran atas perundang-undangan seperti bea cukai, imigrasi, dll. Negara juga masih memiliki hak untuk melakukan tindakan menghukum pelanggaran yang terjadi. Terakhir, negara juga memiliki hak atas benda purbakala yang ditemukan dalam wilayah ini.
ADVERTISEMENT
Lalu, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) juga termasuk ke dalam wilayah yang bukan lagi menjadi kedaulatan penuh suatu negara, melainkan negara hanya memiliki hak berdaulat. Berdasarkan UNCLOS pasal 73, suatu negara berhak melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya hayati yang masuk ke dalam ZEE yaitu sejauh maksimal 200 mil dari garis pangkal pantai.
Terakhir, Landas Kontinen merupakan dasar laut beserta tanah di bawahnya yang merupakan kelanjutan alamiah daratan negara tersebut dengan batas terluar paling jauh adalah 350 mil dari garis pangkal pantai serta kedalaman maksimal 2500 meter. Kemudian, negara juga masih memiliki hak berdaulat atas wilayah ini seperti pada pasal 79, 80, dan 81 UNCLOS yaitu membuat kabel dan pipa dasar laut (Pasal 79), pulau buatan (pasal 80), dan melakukan pemboran (pasal 81).
ADVERTISEMENT
Kemudian, wilayah yang tidak termasuk ke dalam pembagian zona maritim tadi merupakan kawasan laut bebas yang tidak dimiliki oleh negara manapun. Setelah sudah sedikit mengerti mengenai penjelasan zona maritim, mungkin mulai timbul sebuah pertanyaan mengenai sengketa yang terjadi.
“Pembagian zona maritim sudah dilakukan dengan jelas, tapi mengapa masih ada sengketa?”
Kalau begitu, kita coba praktekkan langsung ke negara kita sendiri. Indonesia sendiri berbatasan dengan banyak negara lain, sedangkan setiap negara mana pun tak terkecuali juga memiliki hak yang sama atas batas maritim seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Sedangkan, negara kita bertetangga dengan banyak negara yang jaraknya tidak terlalu jauh. Hal tersebut tentu saja menyebabkan terjadinya pertampalan zona maritim antar negara yang tak bisa terhindarkan.
Jarak antar negara yang dekat menyebabkan terjadinya pertampalan zona. Sumber : Validnews.id
Sedangkan, masing-masing negara juga memiliki hak berdaulat yang sama atas zona yang bertampalan tadi. Khusus untuk laut teritorial, Indonesia dan negara tetangga telah menyepakati batas masing-masing negara. Nah, yang menjadi masalah adalah zona diluarnya, ZEE misalnya. Seperti penjelasan sebelumnya, negara berhak atas kekayaan alam di zona tersebut. Tentu saja masing-masing negara tidak ingin merelakan begitu saja kekayaan sumber daya hayati yang luar biasa di laut.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penentuan batas-batas zona maritim yang bertampalan antar negara memerlukan data dan informasi khususnya berkaitan dengan data spasial. Data tersebut dapat digunakan oleh suatu negara dalam memenangkan area yang bertampalan tadi. Sebagai contoh, Landas Kontinen yang mengharuskan dasar laut memiliki kelanjutan alamiah terhadap daratan (pasal 76 UNCLOS).
Belum lagi terdapat negara yang masih enggan mengakui UNCLOS seperti pada kasus Laut China Selatan yang diklaim oleh Tiongkok. Hukum yang dibuat sedemikian rupa saja masih belum bisa menyelesaikan semua permasalahan, ditambah lagi ada negara yang tidak mengakui hukum laut ini. Pada kasus ini, Tiongkok masih berpegang teguh pada sisi historis dimana mereka menganggap bahwa nenek moyang mereka telah berlayar pada perairan yang mereka tandai dengan Nine Dash Line.
ADVERTISEMENT
Jadi, kisruh yang terjadi mengenai sengketa batas maritim memang tidak semudah yang kita bayangkan. Kita mungkin menginginkan perairan di sekitar kita menjadi milik Indonesia, namun satu hal yang perlu digarisbawahi adalah kita tak sendirian di lautan ini. Terdapat banyak negara tetangga dan kita perlu merundingkannya secara diplomatis untuk tetap menjaga hubungan internasional antar negara tersebut.
Selain itu, kita juga membutuhkan data dan argumen yang kuat untuk bisa mendapatkan wilayah yang diinginkan. Oleh karena itu, kita pun tidak bisa berbuat seenaknya saat terjadi sengketa batas maritim. Jika negara bertindak secara gegabah, bukan tidak mungkin hubungan antar negara tetangga menjadi memanas dan tentunya negara lebih memilih menghindari kemungkinan tersebut.

Daftar Pustaka :

United Nations Convention on the Law of the Sea. (1982).
ADVERTISEMENT
CNN Indonesia. (2020). Kisruh Natuna, Indonesia Dinilai Bisa Gunakan Klaim Sejarah. Diakses dari : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200117211923-20-466449/kisruh-natuna-indonesia-dinilai-bisa-gunakan-klaim-sejarah