Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Tulisan Untukmu, Ibu (Bagian 1) : Bukan Hanya Menjadi Ibuku
11 Desember 2021 11:58 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Iqbal Habiburrohim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ibu memang bukan hanya menjadi ibuku seorang, melainkan menjadi ibu dari banyak orang. Tapi tenang, ibuku menjadi ibu dari banyak orang karena profesi beliau sebagai guru. Ibu memang sangat passionate dengan kegiatan mengajar terlihat dari cerita beliau mengenai murid-muridnya yang sangat lengket kepadanya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ibu juga sangat konsisten dalam hal pengabdian ini. Tak tanggung-tanggung, beliau rela menempuh jarak lebih dari 50 km dalam sehari untuk pulang-pergi ke SD tempatnya mengajar yaitu di Kabupaten Kulon Progo, D.I.Yogyakarta. Sedangakan, kami memiliki tempat tinggal di Kabupaten Bantul.
Ibu memang seorang PNS yang ditempatkan di sana, namun selama lebih dari 10 tahun mengajar, saya tak pernah melihat raut bosan atau menyerah dari wajah ibu. Beliau tetap semangat dalam mendidik anak-anak walaupun harus menempuh perjalanan yang jauh. Tentu saja, anak-anak tersebut juga memiliki hak pendidikan yang sama seperti anak-anak yang tinggal di kota.
Beliau sering menceritakan bagaimana dinamika mengajar murid yang sangat beragam mulai dari murid yang pintar, nakal, hingga mereka yang memiliki kebutuhan khusus pun diajar di SD tempat ibu mengajar. Dengan berbagai dinamika tersebut, ibu tidak pernah sekalipun menyalahkan muridnya di saat bercerita. Ibu dapat menempatkan diri bagaimana harus bersikap dengan murid yang pintar, lalu bagaimana berhadapan dengan murid yang nakal, hingga bersikap sabar saat mengajar murid yang spesial.
Dengan kecintaannya pada mengajar, apakah ibu menjadi lupa akan kewajiban menjadi seorang “ibu” yang sebenarnya?
ADVERTISEMENT
Jawabannya tidak. Ibu tetap memperhatikan kedua anaknya termasuk saya sebagai anak kedua tanpa membeda-bedakan. Dulu, di saat saya masih duduk di bangku SD hingga SMP, ibu bahkan rela untuk menjemput saya saat pulang sekolah. Padahal sejak SD hingga SMP, saya bersekolah di daerah Kota Yogyakarta, namun ibu tetap meluangkan waktu istirahat pulang bekerja untuk saya, anaknya.
Kata-kata yang selalu beliau lontarkan di atas motor saat itu adalah,
“Arep jajan, po? Urung maem, to?” (Mau jajan, kah? Belum makan, kan?)
Meskipun makanan yang kami santap hanya semangkuk soto atau bakso, namun suasana tersebut masih akan tetap teringat sampai kapan pun. Obrolan mengenai pelajaran di sekolah atau kesulitan dalam belajar selalu menjadi langganan. Pada saat itu, beliau bertransformasi dari seorang “ibu” yang dicintai di sekolah menjadi “ibu” yang dicintai di keluarga.
ADVERTISEMENT
Pada pagi hari, ibu tak pernah absen menyiapkan sarapan untuk keluarga. Selepas pulang, beliau tetap beraktivitas sebagaimana ibu-ibu pada umumnya seperti pergi arisan dan bermasyarakat. Saat malam tiba, ibu juga tetap melakukan pekerjaan rumah, meskipun sebenarnya sudah ada yang ikut membantu melakukan pekerjaan rumah.
Itulah ibu, sosok “ibu” yang dicintai muridnya dan sosok “ibu” yang dicintai keluarganya. Dengan kata lain, ibu menjadi pahlawan kehidupan saya dan banyak orang. Maka tak heran apabila saya menyebut ibu bukan hanya menjadi ibuku saja~