Konten dari Pengguna

Bisakah Pohon Menuntut Hak Politiknya di Pesta Demokrasi 2024?

Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy
Dosen Psikologi dan Peneliti di Pusat Studi Masyarakat Kepulauan (Pussaka) IAIN Ambon
21 Mei 2023 18:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi masyarakat adat mempertahankan ruang hidup. Foto: David Tesinsky
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi masyarakat adat mempertahankan ruang hidup. Foto: David Tesinsky
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak Christopher D. Stone menerbitkan artikelnya tentang “Should Trees Have Standing?” pada tahun 1972, sontak argumentasi ini menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para akademisi dari sejumlah negara. Inti dari artikel itu adalah mempertanyakan soal apakah pohon dapat menjadi subjek hukum?
ADVERTISEMENT
Jika pohon-pohon di tebang secara sembarangan, apakah ia dapat menuntut haknya di depan pengadilan agar diperlakukan lebih adil? Perdebatannya masih terus berlangsung hingga detik ini. Secara implisit, pertanyaan itu sebetulnya ingin menggugat paradigma antroposentrik yang menjadi spirit proses pembangunan era modern hingga postmodern sekarang ini.
Pohon dalam paradigma antroposentrik adalah tidak lebih dari sekadar makhluk irasional yang dapat dikuasai oleh makhluk rasional yakni manusia. Dengan kekuatan akal yang dimiliki manusia, maka manusia percaya bahwa alam dapat dikuasainya.
Jika alam rusak, maka dengan kekuatan akal juga manusia yakin dapat memperbaikinya. Pandangan ini telah menjadi pijakan dasar dari program Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah dianut sebagian besar negara di dunia (Muthmainnah, Mustansyir, dan Tjahyadi, 2020).
Ilustrasi keindahan wisata alam Indonesia. Foto: Shutterstock
Apa motivasi dasar dari pandangan tersebut? Motivasi dasarnya adalah tentang pemuasan keuntungan hanya bagi manusia saja. Lantas, bagaimana dengan alam? Bagaimana dengan pohon? Apakah mereka tidak menginginkan pemuasan yang sama seperti halnya manusia?
ADVERTISEMENT
Disparitas antara pohon sebagai makhluk irasional dan manusia sebagai rasional inilah yang membuat jurang pemisah di antara keduanya semakin terbuka lebar, sehingga berdampak pada terciptanya disekuilibrium ekosistem (Dewi, 2022).
Padahal, pohon juga makhluk rasional sekaligus punya emosional, yang hal ini bisa diketahui apabila manusia mengaktifkan sensibilitas emosionalnya terhadap pohon.
Melalui sensibilitas emosional (empati) maka manusia akan menyadari bahwa pohon juga dapat mengalami rasa sakit apabila ia (pohon) ditebang secara sembarangan. Dampak nyata dari kondisi emosionalitas si pohon ketika ditebang secara sembarangan adalah kemarahannya berupa banjir dan tanah longsor.
Ilustrasi hutan dan penanaman pohon. Foto: KLHK
Kemarahan ini tentu akan mengganggu kelangsungan hidup bersama. Orang-orang di sekitarnya menjadi takut karenanya, sehingga mendorong manusia harus mengeluarkan kebijakan pelestarian pohon.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks itu, pohon sebetulnya memiliki suara politik alih-alih dapat terlibat dalam pengambilan keputusan politik bersama. Menjelang pesta demokrasi 2024 mendatang, pertanyaannya adalah bisakah pohon berpartisipasi dalam pesta demokrasi tersebut? Apakah para calon anggota legislatif dan juga calon presiden dapat mendengar suara politik si pohon demi kelangsungan hidup bersama di masa mendatang?

Pohon sebagai Warga Negara

Ilustrasi pohon di hutan Foto: Dok. KLHK
Belakangan ini, istilah citizenship (warga negara) telah mengalami evolusi makna. Citizenship tidak hanya tentang manusia, melainkan semua makhluk hidup lainnya seperti hewan dan pohon juga adalah citizenship (Dobson, 2004).
Sementara di Indonesia, istilah citizenship masih menaruh porsi lebih pada manusia (masyarakat) sebagai warga negara yang sah. Hal ini tentu berimplikasi pada persoalan hak dan kewajiban. Bahwa yang dapat menuntut hak dan menjalankan kewajiban pada negara hanyalah manusia.
ADVERTISEMENT
Hak-hak masyarakat Indonesia sebagaimana tertuang di dalam amanah UUD 1945 yang harus dipenuhi oleh negara adalah hak perlindungan hukum, hak atas penghidupan yang layak, hak mengembangkan diri melalui pemberian pendidikan, dan masih ada banyak hak-hak lainnya.
Sementara kewajiban masyarakat Indonesia pada negara adalah bela negara, menghormati hak asasi manusia lainnya, dan wajib menaati hukum serta pemerintah. Dalam hal ini negara masih menaruh porsi hak dan kewajiban yang lebih bagi manusia-manusia Indonesia sebagai makhluk rasional.
Ilustrasi hutan dan penanaman pohon. Foto: KLHK
Lantas, bagaimana dengan hak pohon? Padahal jika kita cermati lebih kritis lagi, sebetulnya pohon-pohon Indonesia telah memberi kontribusi besar dalam upaya menangkal emisi karbon global. Kita tahu saat ini suhu global terus mengalami peningkatan.
Olehnya itu, dalam beberapa pertemuan seperti COP26 di Skotlandia tahun 2021 lalu, sebagian besar negara bersepakat untuk mengerem laju kenaikan suhu global tidak boleh melewati angka 1,5 derajat Celsius. Dengan melibatkan kinerja pohon, maka suhu global “ekstrem” akibat emisi karbon dapat teratasi.
ADVERTISEMENT
Beberapa pulau di Indonesia yang pohon-pohonnya telah berupaya mencegah emisi karbon global adalah Papua, Sumatera, dan Kalimantan (BPS, 2021).
Ilustrasi jalan setapak di puncak pohon. Foto: Shutterstock
Hal ini menunjukkan bahwa pohon-pohon Indonesia sebetulnya telah menjalankan kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Meminjam istilah Andrew Dobson bahwa pohon-pohon Indonesia sudah menjadi “warga negara kosmopolitan” yang baik dalam konteks global.
Dengan kata lain, pohon-pohon Indonesia sejatinya telah mengaktualisasikan amanah UUD 1945 yakni menciptakan perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi semuanya melalui upayanya mengerem laju emisi karbon yang berdampak buruk bagi suhu global tersebut.
Kalau pohon-pohon Indonesia sudah berupaya menjalankan kewajibannya sebagai warga negara (citizenship) yang baik, maka pemerintah sebagai penyelenggara negara semestinya harus memperhatikan dan memenuhi hak-hak politiknya.
ADVERTISEMENT

Pohon Menyuarakan Hak Politiknya

Ilustrasi pohon Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Memang pohon tidak punya mulut, tapi ia bisa bersuara melalui mulut masyarakat adat di Indonesia. Pohon dapat menuntut hak-hak politiknya melalui tuntutan masyarakat adat pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Sudah ada banyak temuan dan berita yang menginformasikan tentang bagaimana upaya masyarakat adat mempertahankan keberlangsungan hidup si pohon ketika perusahaan-perusahaan ekstraktif masuk ke daerah mereka.
Upaya masyarakat adat itu sebetulnya sedang menyuarakan hak-hak politik si pohon sebagai kerabat warga negara yang setara di Indonesia.
Hal ini karena hampir sebagian besar masyarakat adat di Indonesia selalu menganggap pohon sebagai kerabat dekatnya (Chao, 2018; Maarif, 2014).
Menanam Pohon (Ilustrasi) Foto: Shutter Stock
Relasi pohon dan masyarakat adat ini sudah seperti kakak-beradik. Olehnya itu, jangan heran apabila masyarakat adat rela menjadi pagar hidup demi mempertahankan hak-hak kehidupan si pohon.
ADVERTISEMENT
Hak-hak politik si pohon yang disuarakan oleh sebagian masyarakat adat itulah yang merupakan wujud partisipasi politik si pohon dalam pesta demokrasi 2024 mendatang di Indonesia.
Hal ini harus didengar oleh para calon presiden dan juga calon-calon legislatif yang nantinya menjadi penyelenggara negara di masa depan. Tentu, yang diharapkan oleh kita semua adalah para calon-calon legislatif juga calon presiden tidak sekadar mendengar dengan menggunakan rasionalitas semata, melainkan juga melibatkan sensibilitas emosional (empati) untuk mendengar hak-hak politik si pohon tersebut demi kelangsungan hidup bersama.