Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Keterkaitan Bahasa, Sastra, dan Politik
14 September 2023 9:11 WIB
Tulisan dari Muhammad Rojak Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak sekali pandangan dan keterkaitan mengenai bahasa, sastra, dan politik di tahun 2023. Begitu juga pandangan saya pribadi mengenai hal tersebut pada sekarang ini, yang juga berkaitan pada sejarah politik terdahulu. Dimana mulai terangkat pada tahun ini di dalam sebuat mata kuliah, dan juga kasus baru yang memasuki masa-masa PEMILU tahun 2024/2028. Tentu secara pemikiran akademik, sistem analisa mampu membawa pemikiran untuk lebih sadar dengan pilihan.
ADVERTISEMENT
Seperti yang telah saya pelajari sebelumnya sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, saya pun sempat membaca 1 buku yang berjudul Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Dimana pada buku tersebut cukup membatu memberikan saya suatu pandangan lebih jauh untuk menganalisa keterkaitan bahasa, sastra, dan politik. Terlebih dibantu oleh Bapak Washadi S.pd, M.pd. selaku dosen mata kuliah bahasa, sastra, dan politik pada semester 7 saat ini.
Tentu karena banyak sekali penejelasan dan diskusi dari beliau membuat pandangan saya mengeksplor lebih jauh, tentunya mengenai keterkaitan ketiganya dalam perannya di ranah politik pada saat ini. Kalau begitu saya akan mencoba sedikit menjelaskan mengenai bahasa terlebih dahulu, tentu tulisan ini dari pemikiran dan pandangan saya pribadi terkait sastra dan politik, sebagai suatu pengingat atau pemikiran dalam menganalisa keterkaitan ketiganya.
ADVERTISEMENT
Bahasa terbentuk dari berbagai komponen yang memiliki suatu pola yang sifatnya tetap dan tentu dapat dikaidahkan, begitu juga sesuai dengan buku yang sebelumnya saya baca. Bahasa dalam politik tentu sangat berkaitan, karena bahasa sifatnya luas dan dapat digunakan untuk berbagai tujuan hingga tertentu (internal/ekternal) bahkan bisa juga dalam ranah rahasia. Bahasa sangat berpengaruh dalam politik, namun sastra pun sangat berperan penting karena sifat intelektual.
Karena bahasa dan politik tidak akan mampu berjalan hingga sampai saat ini kalau tidak ada sastra di dalamnya sebagai suatu alat atau senjata untuk mempertahankan PANCASILA dan UUD. Bahasa dan sastra tentu memiliki aspek yang sama dalam retorika, tentu dari bahasa kita semua pun dapat mencapai tujuan. Terlebih bahasa adalah suatu penghubung antar bangsa dan negara, dan sastra memiliki sejarah dalam hubungan ketiganya.
ADVERTISEMENT
Adapun sastra dengan sifatnya yang luas dan bagi saya itu tidak terbatas akan sejarah dan segala bentuk kesenian yang ada. Dengan berbagai potensi-potensi yang telah dikeluarkan oleh sastra, sehingga seorang sastrawan pun dapat menyimpulkan suatu gagasan-gagasan untuk bertujuan membenarkan sesuatu yang tidak dimengerti dengan mengumpulkan data-data tertentu secara valid/sesuai.
Dalam keterkaitannya, politik tidak akan berjalan tanpa adanya senjata atau alat sebagai penengah dan jalan keluar. Dan hal itu yang sangat saya pahami bahasa sebagai senjata dan sastra sebagai alat analisis, karena realita dan dari begitu banyak buku yang sempat saya pelajari mengenai bahasa, sastra, dan politik yang membuat pandangan saya lebih tajam untuk mempelajari ranah politik intelektual. Ada pun buku yang sempat saya baca karena buku tersebut sangat membantu saya prihal pandangan terhadap politik yang berjudul The 48 Laws Of Power karya Robert Greene, dan juga The Priciples Of Power karya Dion Yulianto dan lainnya.
Hal itulah yang membuat saya selalu fokus pada suatu hal yang sifatnya magis, karena realita dalam kehidupan mampu digunakan untuk menganalisis suatu hal agar cara berpikir saya tidak dapat dipengaruhi oleh hal-hal yang sifatnya tidak jelas. Dengan banyak sekali pelajaran, dan juga dengan banyaknya buku yang dapat kita pelajari, tentunya membuat saya mampu mempertajam suatu pandangan dengan sistem bahasa analisis sesuai data dengan berbagai sumber teori untuk menguji kebenaran sesuai realita.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh bahasa, sastra, dan politik dapat saya terangkan seperti yang sama-sama mungkin kita semua lihat pada kasus Rocky Gerung yang terjadi pada saat ini. Dengan penjelasannya, beliau yang menggunakan Aspek Retorika (bahasa) dan juga dari segi Sastra dengan Sistem Intelektual dalam Sejarah Politik. Beliau banyak sekali menerangkan argumentnya sesuai pada ranahnya sebagai Intelektual Politik, tentu semua kritiknya terhadap Presiden itu berdasarkan riset dan observasi yang beliau telah lakukan sebelumnya.
Namun, hal itu membuat beliau saat ini banyak sekali laporan dan diteror oleh orang-orang yang berbeda pendapat, sehingga beliau saat ini sering sekali mendatangi kepolisian dengan memenuhi panggilan laporan yang yang menitik beratkan pada beliau karena gagasan dan kritiknya yang merunjuk kepada Presiden Joko Widodo itu dianggap penghinaan. Sedangkan, Rocky Gerung hanya mengkritik Presiden karena Simbol Negara, bukan sebagai Masyarakat.
Saya sebagai mahasiswa Sastra Indonesia tentu sangat keberatan dengan akal politik yang sekarang ini penuh dengan drama oleh orang-orang yang mencari sensasi, terlebih saat ini banyak sekali kebenaran-kebenaran yang ditutupi oleh kebohongan-kebohongan yang tidak masuk akal dengan Aspek Retorika.
ADVERTISEMENT
"Akal itu hanya bisa menyala kalau hatinya membakar, jadi akal hidup karena dibakar oleh api. Api punya ituisi untuk mendengarkan ketidakadilan. Hati punya kepekaan, untuk mengetahui mana yang bohong mana yang gak bohong. Jadi, kan saya hubungkan tadi, akal itu adalah fasilitas yang di atifkan oleh gangguan nurani, jadi kalau nurani keganggu akal kita akan hidup, jadi orang yang gak punya nurani setuju gak, kalau dia tidak punya akal sehat. Karena itu, dia butuh pencitraan, dia butuh berbohong. Kalau saya berakal saya saya gak takut berhadapan tanpa data sekalipun, tapi kalo gak punya akal cara untuk mengatasi ketidakberakalan adalah dengan berbohong."
-Rocky Gerung
Dan saya sangat setuju dengan penyataan beliau dalam vidio singkat yang saya lihat pada suatu Aplikasi. Karena manusia dalam ilmu psikologi disebut sebagai sebagai Homo Ludance selain sebagai Homo Simbolikum, manusia adalah makhluk yang bermain tentu dengan kenikmatan di dalam bahasa, dalam imajinasi. Homo Simbolikum mengolah simbol untuk menghasilkan peradaban. jadi itulah dasarnya kenapa kita sebenarnya gagal untuk berludens dan bersimbol karena kecemasan, ketakutan pada semacam konfrontasi intoleransi.
ADVERTISEMENT
Dan saya dapat simpulkan bahwa dari maksud kritik atau pernyataan Rocky Gerung kepada Presiden sekarang adalah membongkar dan mencairkan, supaya kita semua balik pada percakapan warga negara pada kehangatan antar warga negara tanpa adanya blocking. Tentu semua bebas berpendapat tanpa adanya blocking pada umat Agama, dan Ras. Menurut saya upaya akan hal itu tidak ada salahnya, karena kebaikan dalam upanyanya sejauh ini berdasarkan riset dan observasi.
Mungkin sekian dulu pembahasan kali ini, semoga bermanfaat dan juga bisa membantu untuk mempertajam suatu riset dari segi pengalaman. Tentu saya tidak ada maksud menggurui atau pun sebagainya, jelas semua ini hanya dari pemikiran saya pribadi dari berbagai hal yang saya baca, simak, dan catat. Semoga kalian semua bisa berdiskusi akan hal ini dengan komentar di bawah sebagai kritik untuk saya agar dapat menulis materi lebih baik.
ADVERTISEMENT
"Kalau anda tidak tahan dikritik silahkan tutup kuping, bukan tutup mulut si pengkritik". Salam satu aspal, nikmat sehat nikmat rejeki untuk kita semua. Amin