Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Ekonomi dalam Kabut: Mencari Arah di Tengah Ketidakpastian
20 April 2025 11:15 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Jasrif Teguh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setelah euforia pemilu akhir tahun lalu mereda dan transisi pemerintahan mulai berjalan, Indonesia dihadapkan pada kenyataan ekonomi yang diselimuti kabut ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
Di tengah janji pemerintah yang menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, justru sejumlah indikator utama menunjukkan gejala perlambatan yang tidak bisa diabaikan.
Alih-alih menguat, berbagai sinyal peringatan bermunculan. Penerimaan pajak menurun, belanja negara melambat, nilai tukar rupiah tertekan, sektor riil mengalami kontraksi, serta turunnya tingkat kepercayaan baik dari pasar maupun konsumen. Ini bukan sekadar fluktuasi musiman, melainkan cerminan risiko ekonomi yang memerlukan respons cepat, kebijakan yang akurat, dan kolaborasi nyata.
Gejolak Domestik dan Global
Sinyal peringatan dari sisi fiskal mulai tampak jelas. Laporan APBN mencatat bahwa realisasi belanja pemerintah pusat hingga Maret 2025 mengalami penurunan tajam, di tengah melemahnya pendapatan negara, khususnya dari sektor perpajakan. Kondisi ini tentu berdampak luas ke daerah, yang sangat bergantung pada aliran dana pusat. Padahal, belanja negara selama ini berfungsi sebagai penggerak utama aktivitas ekonomi, terutama di luar wilayah Jawa.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, di saat ruang fiskal mengalami tekanan, justru muncul berbagai wacana program populis yang mendapat sorotan dari masyarakat. Mulai dari rencana pembentukan koperasi merah putih, dorongan terhadap rancangan undang-undang yang tak masuk prioritas legislasi, hingga megaproyek tanggul laut yang manfaat riilnya terhadap ekonomi masih dipertanyakan. Kini saatnya pemerintah mengambil sikap tegas—memprioritaskan penyelamatan ekonomi atau membebani fiskal dengan agenda populis jangka pendek.
Di sisi pasar, ketidakpastian ini menimbulkan reaksi negatif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi tajam di awal April, sementara nilai tukar rupiah terus melemah hingga mendekati Rp17.000 per dolar AS. Sentimen pelaku pasar belum pulih, bukan hanya karena tekanan eksternal, melainkan juga karena arah ekonomi nasional yang belum menunjukkan kepastian. Pasar tidak menyukai ketidakjelasan dan itulah yang kini terjadi.
ADVERTISEMENT
Dari sektor ekonomi riil, tekanan pun semakin terasa. Data dari APINDO menunjukkan bahwa di awal tahun 2025, sektor industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki mulai melakukan PHK dalam skala besar. Puluhan ribu pekerja terdampak. Ini menggerus daya beli masyarakat, yang tercermin dari menurunnya indeks keyakinan konsumen dan melemahnya konsumsi selama momentum Lebaran. Bahkan sektor-sektor andalan seperti properti dan otomotif sebelumnya telah ikut menunjukkan perlambatan.
Tak kalah penting, dinamika global juga ikut menambah tekanan. Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat memicu babak baru ketegangan dagang, terutama dengan Tiongkok. Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan memicu gelombang proteksionisme baru di pasar global, yang berisiko menyeret negara berkembang ke dalam turbulensi baru.
ADVERTISEMENT
Bagi Indonesia yang masih sangat bergantung pada impor pangan dan barang konsumsi, situasi ini membawa konsekuensi serius. Ekspor nasional pada Januari 2025 tercatat anjlok lebih dari 8 persen, sementara laju impor tetap tinggi. Akibatnya, tekanan terhadap neraca perdagangan semakin berat dan menuntut penanganan segera.
Manajemen Krisis
Menghadapi kondisi ekonomi yang penuh tekanan saat ini, diperlukan langkah nyata dalam pengelolaan krisis. Pemerintah dituntut untuk menerapkan efisiensi belanja yang terukur, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa di tingkat daerah, guna menjaga denyut kehidupan ekonomi lokal tetap berputar. Relaksasi kebijakan belanja bukan lagi pilihan, melainkan keharusan agar aktivitas ekonomi masyarakat tetap hidup.
Masukan dari berbagai lembaga seperti CELIOS patut menjadi bahan pertimbangan. Salah satunya menyangkut kebijakan impor dalam Permendag No. 8 Tahun 2024 yang dinilai terlalu permisif dan belum mampu memberikan perlindungan optimal bagi industri dalam negeri. Mekanisme pengawasan impor berbasis produk perlu diperkuat agar barang jadi buatan lokal tidak tersingkir oleh produk asing. Barang jadi buatan dalam negeri perlu dilindungi secara cerdas, bukan hanya dengan retorika formal.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks stabilitas moneter, peran Bank Indonesia (BI) menjadi kunci. Bukan melalui pelonggaran moneter ekstrem seperti pencetakan uang, melainkan lewat kebijakan penurunan suku bunga yang terukur dan bertanggung jawab. Dengan cadangan devisa mencapai US$156 miliar, BI memiliki ruang yang cukup untuk menjaga kestabilan nilai tukar sambil tetap mendorong konsumsi dan investasi domestik.
Sementara itu, Danantara melalui BUMN dan perbankan Himbara perlu diarahkan pada pembiayaan proyek-proyek yang betul-betul strategis, memberikan dampak ekonomi luas, dan imbal hasil jangka panjang. Intervensi fiskal melalui proyek besar harus dijalankan dengan tata kelola yang ketat dan transparansi penuh. Mendorong proyek-proyek yang tidak memiliki arah dan nilai ekonomi hanya akan memperbesar risiko sistemik pada stabilitas keuangan nasional.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi genting seperti sekarang, aspek komunikasi publik memegang peranan krusial. Pemerintah harus hadir dengan sikap terbuka dan responsif. Menyampaikan kondisi secara jujur dan menjelaskan solusi secara konkret akan jauh lebih membangun kepercayaan daripada retorika yang defensif. Transparansi, keterbukaan, dan kepemimpinan komunikasi yang kuat adalah fondasi penting dalam menjaga optimisme pelaku usaha dan masyarakat.
Saatnya Kolaborasi
Di sisi dunia usaha, inilah saatnya mengubah pendekatan. Ketergantungan pada pasar tradisional dan produksi berbiaya rendah tidak lagi relevan di tengah gejolak global dan tekanan biaya. Digitalisasi, inovasi produk, dan diversifikasi pasar ekspor—khususnya ke Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan kawasan ASEAN—harus segera dijalankan.
Lebih dari itu, kolaborasi strategis antara pemerintah dan swasta menjadi kunci pemulihan. Setidaknya terdapat tiga sektor yang harus menjadi prioritas. Pertama, Sumber Daya Alam dan Hilirisasi. Pengolahan komoditas di dalam negeri akan meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat neraca perdagangan.
ADVERTISEMENT
Kedua, sektor pangan. Investasi pada produktivitas, infrastruktur, dan stabilisasi harga penting untuk menjaga ketahanan pangan dan menekan impor. Ketiga, sektor manufaktur. Industri seperti elektronik, otomotif, farmasi, dan alat kesehatan perlu didorong sebagai penggerak ekspor dan substitusi impor. Namun, pengembangan manufaktur juga harus menyasar kebutuhan domestik agar tidak terlalu rentan terhadap pasar global.
Sementara itu, masyarakat perlu diperkuat dengan literasi keuangan dan peningkatan kapasitas diri di tengah kondisi ketidakpastian seperti saat ini. Pengelolaan keuangan yang bijak, kesiapan menghadapi disrupsi pekerjaan, serta keterampilan baru akan menjadi penentu daya tahan ekonomi keluarga.
Pemerintah perlu menjadikan pelatihan vokasi, transformasi UMKM, dan insentif berbasis kinerja sebagai agenda prioritas, bukan sekadar jargon kebijakan.
Penutup
Indonesia memiliki modal besar dalam hal pasar domestik yang luas, bonus demografi, dan posisi strategis di regional. Namun semua potensi itu bisa sia-sia tanpa kepemimpinan yang tangguh, kolaborasi lintas sektor, dan keberanian mengambil keputusan sulit.
ADVERTISEMENT
Di tengah kondisi gejolak saat ini, maka pilihan kita hari ini akan menentukan apakah Indonesia akan keluar dari kabut ketidakpastian dengan kepala tegak dan arah yang pasti atau terpuruk dalam stagnasi panjang. Inilah saatnya semua pihak baik itu pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat bergandengan tangan untuk membangun ekonomi yang lebih tahan banting, adaptif, dan inklusif.