Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Toxic Leadership dan Dampaknya pada Organisasi
24 Januari 2022 16:35 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Jasrif Teguh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Leadership adalah faktor penting penentu keberlanjutan kinerja organisasi. Ada beragam bentuk leadership. Toxic leadership adalah salah satunya. Namun sayangnya ia memiliki dampak yang merugikan organisasi.
ADVERTISEMENT
Secara umum, leadership telah identik dengan makna konstruktif yang ditandai dengan niat, metode, dan konsekuensi positif.
Namun, belakangan ini semakin banyak peneliti dan praktisi manajemen yang membahas tentang aspek negatif dari leadership. Di antaranya yaitu berfokus pada hubungan antara sisi gelap leadership dan disfungsi organisasi.
Para ahli manajemen melabeli leadership yang buruk dengan sejumlah nama atau istilah yang berbeda-beda. Antara lain negative or dark leadership, abusive leaders, bad leadership, narcissistic leaders, toxic leadership, destructive leadership.
Bahkan terbaru oleh Boddy dkk (2017) dalam makalahnya memakai istilah yang agak ekstrim yaitu corporate psychopaths. Namun dari sekian banyak istilah tersebut, yang cukup populer adalah toxic leadership.
Ini didasari bahwa leadership yang buruk dapat menyebar secara diam-diam dan tidak terdeteksi seperti racun dan tidak hanya mencemari individu; melainkan juga mempengaruhi tim dan pada akhirnya seluruh organisasi (Bhandarker dan Rai, 2020).
ADVERTISEMENT
Leaders, bagaimanapun, tidak berdiri sendiri. Leaders ada dalam kerangka organisasi. Para ahli manajemen sepakat bahwa toxic leadership itu penyebab dan wujudnya kompleks.
Bisa berupa tindakan ketidaksopanan, gangguan kepribadian dan perilaku, gejolak emosi dan narsisme hingga kebijakan perusahaan yang bermasalah, ketidakstabilan perusahaan dan pasar, dan pergolakan sistemik akibat dari restrukturisasi, merger, akuisisi, pengurangan jabatan dan karyawan.
Beberapa ciri dari toxic leadership yang dirangkum dari berbagai sumber literatur yaitu :
Penelitian lain juga menguraikan beberapa dampak yang ditimbulkan dari toxic leadership, meliputi :
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Respons Karyawan
Secara umum, karyawan sebagai bawahan bereaksi terhadap toxic leadership dengan cara apa yang dikenal sebagai coping response yaitu mengacu pada upaya perilaku spesifik yang digunakan individu untuk menguasai, mentolerir, mengurangi atau meminimalkan peristiwa stres (Folkman dan Lazarus, 1980).
Coping response dilakukan dengan 3 cara yitu :
1. Assertive coping
Ditandai dengan mengambil tindakan cepat untuk menghadapi pemimpin yang toksik melalui keluhan langsung ke otoritas internal yang lebih tinggi atau pejabat terkait di atasnya. Baik secara terbuka maupun tanpa nama.
Contohnya melaporkan tanda-tanda toksik, perilaku, dan kesalahan yang dilakukan oleh toxic leaders. Terkadang dalam bentuk protes terbuka dan mencoba memobilisasi pendapat orang lain terhadap toxic leaders.
2. Adaptive coping
ADVERTISEMENT
Ditandai dengan penggunaan mekanisme adaptif oleh bawahan seperti menjaga hubungan positif dengan pemimpin. Bahkan jika mereka marah dengan perilaku toxic leaders tersebut, mereka berusaha mengendalikan amarah mereka dan menunggu waktu yang tepat untuk berdiskusi. Dalam hal ini, memilih untuk tetap diam dan menutup mata terhadap perilaku dan tindakan toxic leaders.
3. Avoidance coping
Di mana karyawan cenderung untuk menyeimbangkan perilaku yang dirasakan tidak adil dari toxic leaders baik dengan menghindari mereka atau memiliki interaksi minimal dengan toxic leaders tersebut baik secara aktif maupun pasif.
Misalnya dengan menahan informasi, tidak berbagi masalah atau peluang bisnis dengan pemimpin serta tidak membantu rekan kerja lain. Ini tentu merupakan hal yang merugikan bagi karyawan dan organisasi.
ADVERTISEMENT
Dari ketiga respons di atas, yang paling sering dilakukan oleh karyawan dalam menghadapi toxic leaders adalah dengan Adaptive coping. Karyawan menganggap bekerja dengan toxic leaders sebagai "fase buruk" yang pada akhirnya akan berlalu. Alasannya lainnya karena tidak mau mempertaruhkan karier masa depannya.
Selain itu, Duffy dkk. (2002) juga menemukan bahwa bawahan sering menggunakan cara-cara yang tidak jelas seperti menyebarkan desas-desus, diam-diam tidak mematuhi dan menyensor informasi dari atasan yang berdampak negatif pada toxic leaders dari waktu ke waktu. Hal ini juga dapat merusak suasana dan meracuni budaya kerja dan iklim organisasi.
Pada kasus yang lebih ekstrem, karyawan pada akhirnya memilih keluar dari organisasi meninggalkan pekerjaan. Ini merupakan langkah terakhir untuk mengurangi tingkat stres serta emosi negatif yang disebabkan oleh perlakuan buruk yang dirasakan akibat toxic leaders.
ADVERTISEMENT
Peran Organisasi
Seperti dijelaskan sebelumnya. Perilaku destruktif seorang leaders pada akhirnya berdampak negatif terhadap loyalitas, produktivitas, motivasi, kesehatan, dan kebahagiaan karyawan.
Pada banyak perusahaan Fortune 500 telah menyadari dan mengelola sisi gelap toxic leadership ini sebagai realitas kehidupan organisasi.
Oleh karena itu, organisasi harus mengambil tindakan proaktif yang tepat untuk mengidentifikasi, mengoreksi dan mengelola toxic leadership yang ada di organisasi.
Pertama, organisasi harus lebih berhati-hati menganalisis kinerja menyeluruh sebelum memberi penghargaan atau promosi karier kepada seorang talent.
Baik dalam bisnis keluarga atau perusahaan, individu yang bermasalah dan destruktif terkadang cukup sulit untuk dideteksi oleh pewawancara yang kurang terlatih. Bahkan pada saat tes atau wawancara pada level top manajemen.
Kedua, organisasi juga harus merancang mekanisme whistle-blowing system, sehingga karyawan dapat mengekspos kesalahan toxic leaders melalui saluran intenal tepercaya.
ADVERTISEMENT
Karena jika karyawan diam-diam beradaptasi dengan kondisi dan keinginan toxic leaders, itu akan merugikan tidak hanya bagi karyawan, tapi juga pada kinerja organisasi.
Ketiga, melembagakan praktik SDM profesional berbasis psikologi klinis untuk mengatasi keluhan karyawan dapat membantu mengurangi efek negatif dari toxic leadership.
Keempat, organisasi secara berkala melakukan tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) untuk menilai kepribadian dan psikopatologi pada senior leaders. Ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan mental, sehingga ahli profesional bisa menentukan ada atau tidaknya gangguan mental pada para pemimpin organisasi.
Diharapkan dengan mengidentifikasi, mengoreksi dan mengelola toxic leadership, organisasi dapat meminimalisasi dampak buruk yang ditimbulkan agar keberlanjutan kinerja dapat tercapai dengan baik.