Konten dari Pengguna

PUSAT KESENIAN TIM, MASIH KAH DIPERLUKAN?

Mulia Nasution
Pernah bergiat menulis puisi, cerpen, dan novel. Bekerja untuk The Jakarta Post, RCTI, Trans TV. Founder Cikini Studi. Konsultan marketing communications
3 Januari 2020 15:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mulia Nasution tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebisingan protes revitalisasi TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta belakangan ini, menembus batas-batas komplek kesenian ini. Gaungnya meluas jauh, melibatkan pelaku seni dari luar Jakarta yang juga merasa memiliki TIM. Saat kegiatan memperbaiki maupun membangun sarana dan prasarana TIM yang kini berlangsung, penentangan dengan orasi dan poster-poster protes di komplek TIM kian marak. Menunjukkan eskalasi peningkatan tanpa batas waktu. Tanpa pemecahan jalan keluar alias kebuntuan.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, “perang” wacana dan sindiran di media sosial seperti Facebook, malah menemukan habitat baru di luar ekosistem kesenian itu sendiri. Di lain sisi, kemampuan Pemerintah Daerah DKI Jakarta sebagai pemilik lahan TIM secara administratif, relatif terbatas untuk melakukan penetrasi atas gagasannya merevitalisasi TIM. Belum kelihatan langkah cerdas kecuali mozaik-mozaik wacana, dan itu pun muncul sepotong-sepotong di saat letupan protes menggema kian kencang.
Bila protes ini dibiarkan tanpa upaya negoisasi yang intens, bukan tidak mungkin akan menafikan kehadiran maupun fungsi TIM sebagai PKJ atau Pusat Kesenian Jakarta. Sebab bila dicermati lebih jauh, protes dapat saja bergulir menjadi aktivitas politis di luar kepentingan kesenian itu sendiri seperti yang mulai terasa. Bukan mustahil pula bila “sasaran tembak” adalah Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, sosok yang style kepemimpinannya menjadi antitesa dari pendahulunya, yaitu Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
ADVERTISEMENT
Tapi, sebenarnya, bukan masalah “sasaran tembak” yang urgens dibicarakan dalam tulisan ini. Melainkan, masih kah diperlukan Pusat Kesenian seperti TIM bagi laboratorium, etalase, dan ekosistem kesenian di Jakarta maupun bagi Tanah Air kita? Bagi ekuilibirium titik keseimbangan pembentukan karakter anak bangsa melalui aktivitas kesenian, khususnya diskusi-diskusi di dalam lingkungan komplek.
Elite Kesenian
Penulis terlebih dahulu ingin berkisah secara empiris di awal. Mengenal TIM tahun 1975. Saat itu, sebagai murid sekolah dasar, rombongan sekolah kami dibawa ke TIM. Tapi bukan untuk menonton pertunjukan seni yang ada di TIM. Melainkan untuk menikmati pertunjukan di Planetarium dan Observatorium yang berada di komplek TIM. Menonton galaksi-galaksi yang dipertunjukkan. Tontonan ini memberi pemahaman tentang bumi dan planet-planet yang ada di jagad raya. Menyadarkan kami sebagai murid-murid yang hadir, bahwa bumi tempat berpijak hanya salah satu di antara planet-planet antariksa yang ada. Ada galaksi-galaksi yang bekerja sebagai ekosistem bagi keseimbangan jagad raya.
ADVERTISEMENT
Bila ditarik ke garis yang lebih kecil, setelah menonton Planetarium di TIM kian menyadarkan, bumi bukan satu-satunya planet. Manusia bukan satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan. Sebab di bumi ada hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Manusia tidak boleh egois menyatakan, bahwa hanya mereka yang berhak menghuni bumi, lalu mengabaikan kehadiran tanaman dan binatang. Bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia, semua kita agaknya bisa paham. Tapi manusia tetaplah memerlukan tanaman dan binatang bagi keberlangsungan kehidupannya.
Analogi sederhana di atas, dapat ditarik benang merahnya ke dunia kesenian, dan sejarah pendirian TIM. Dulu tempat ini dikenal sebagai ruang rekreasi umum Taman Raden Saleh yang merupakan Kebun Binatang Jakarta. Sebagai paru-paru kota dan tempat melihat hewan. Sampai kemudian Gubernur Ali Sadikin menjadikan TIM sebagai ruang ekspresi seniman yang menyajikan karya-karya inovatif sejak tahun 1968.
ADVERTISEMENT
Dengan kehadiran TIM sebagai ekosistem tempat berkesenian, hadir seniman sebagai pekerja seni atau pelaku yang melakoni kerja-kerja cipta, karsa, dan karya dari produk kesenian. Baik seni teater, seni musik, seni rupa, seni sastra, seni kriya, dan sebagainya. Di masa awal pamor TIM berkibar, Rendra dengan Bengkel Teater-nya menampilkan drama mini kata di TIM. Sutradara Teater Arifin C. Noer, Teguh Karya, Suyatna Anirun, dan lainnya, juga besar bersama TIM. Koreografer seperti Sardono W. Kusumo, Farida Oetoyo, Bagong Kusudiardjo, Huriah Adam, tak bisa dilepaskan dari TIM. Begitu puyla pelukis kondang seperti Affandi, S. Sudjojono, Rusli, Hendra Gunawan. Sastrawan Ramadhan KH, Trisno Sumarjo, Mochtar Lubis, adalah sebagian nama besar yang menghiasi jagad kesusasteraan nasional.
ADVERTISEMENT
Lalu untuk apa dan untuk siapa kesenian itu diperlukan? Apakah hanya untuk seniman? Atau untuk masyarakat luas di luar seniman, atau masyarakat penikmat karyanya? Atau malah untuk kepentingan birokrasi, sebab ada budget dari APBD yang harus “dihabiskan” bila tidak ingin menjadi sisa anggaran tahun berjalan? Atau mungkin untuk kepentingan dunia usaha, sebab ada potensi bisnis di balik anggaran belanja daerah yang digunakan bagi aktivitas TIM, maupun stakeholder-nya seperti Planetarium dan Observatorium, Perpustakaan Daerah, PDS HB Jassin, DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), atau AJ (Akademi Jakarta), atau IKJ (Institut Kesenian Jakarta)?
Mari kita urai lebih lanjut. Penulis ingin membedah lebih awal, binatang jenis apa sih kesenian itu. Bila mengacu kepada pengertian yang lebih umum, kesenian adalah bagian dari kebudayaan dan merupakan sarana untuk mengekspresikan rasa keindahan di dalam jiwa manusia. Kegiatan manusia dalam menciptakan gagasan, menciptakan norma untuk perilaku melalui karya bermutu, dan keahlian yang tinggi guna mempererat ikatan solidaritas suatu masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun produk kesenian itu bukan monopoli para elite yang “mengaku” dirinya seniman, dan mendiami suatu tempat seperti komplek kesenian. Tapi juga hasil cipta produk masyarakat luas yang memiliki keterampilan dan keahlian di bidang cipta dan karsa. Sebab dalam batas-batas tertentu, produk kesenian juga diciptakan oleh masyarakat luar di luar komplek TIM. Baik mereka yang berada di kampus, komunitas, di tengah-tengah “oase” kehidupan masyarakat, dan sebagianya. Kesenian telah melekat di dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas cakupannya. Produk kesenian bukan hanya milik segelintir orang yang “merasa” dirinya memakai label “elite kesenian”, meski selalu ada standarisasi dan nilai-nilai dalam menentukan kualitas nilai seni.
ADVERTISEMENT
Dalam pengertian yang lebih luas, produk kesenian dengan segala kreativitas mayarakat telah menyatu di dalam turunannya seperti produk fashion, kriya, teknologi, bahkan disain produk persenjataan militer. Sebagian orang boleh saja beranggapan turunan itu sebagai produk hiburan, tapi kenyataannya justru dinikmati masyarakat luas. Apalagi para cendekiawan cenderung menafsirkan, bahwa produk kesenian menjadi milik “elite” dengan label sastrawan, seni rupawan, teaterawan, penata tari atau koreografer. Bahkan sebagian dari mereka cenderung melupakan diri mereka adalah para Mcendekiawan, atau kaum intelektual yang “berumah” di awan. Mungkin tidak memerlukan “sangkar” yang terbatas sebab dapat berkarya di mana pun, kapan pun, dan dengan siapa pun mitra kerjanya.
ADVERTISEMENT
Sebagai pekerja intelektual, sejatinya seniman tidak terlalu memerlukan “bungkus” melainkan lebih mementingkan “isi” atau “roh” dari produk kesenian yang mereka ciptakan. Supaya karya seniman yang mengedepankan intelektualitas lebih kental gaungnya, mereka memerlukan masyarakat sebagai penikmatnya. Atau mungkin, penikmat itu berkenan untuk “membelanjakan” sebagian uangnya untuk menghargai ongkos kerja para seniman. Sebab dalam konteks ini, seni bukan untuk seni, melainkan seni untuk masyarakat yang lebih luas melalui apresiasi mereka.
Taman Budaya
ADVERTISEMENT
Dalam konteks yang kurang lebih serupa, saat protes “seniman” kian masif, kenangan penulis berkelindan ke tahun 1980-an. Mungkin ini hanya pengalaman sentimentil, tapi tak ada salahnya bila kita ingin berbagi, bergotong royong, dan sharing pengalaman bagi cara pandang melihat iklim berkesenian. Tentu saja subyektivitas menonjol di dalamnya.
TBP atau Taman Budaya Padang pada awal tahun 1980-an menjadi oase yang kondusif bagi kalangan seniman di Sumatera Barat. Karya atau produk-produk kesenian “puncak” dipentaskan, dipamerkan, didiskusikan di sini. Intelektual kesenian yang menjadi “suhu” di Sumatera Barat masa itu seperti Chairul Harun, Wisran Hadi, Abrar Yusra, A Alin De, Hamid Jabbar, AA Navis, Darman Moenir, Mursal Esten, Mustafa Ibrahim, Hendrik Makmur, Harris Efendi Thahar, mewarnai aktivitas kesenian di TBP. Mereka sebagai intelektual juga lahir dan besar bersama TBP. Memberikan pencerahan bagi anak-anak muda pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Mereka, maaf, tidak mengejar sensasi. Melainkan lebih mengedepankan cakrawala berpikir, intelektualitas, cita rasa seni, dan membangun peradaban bagi kerja-kerja seni. Selain pentas, pameran, ada “kerja” dalam bentuk diskusi karya yang sangat hidup, setiap bulannya di hari Minggu. Agaknya, sekali lagi, ini pandangan subyektif. Mursal Esten sebagai Kepala TBP masa itu, telah mampu membangun ekosistem kesenian, tradisi intelektual dengan diskusi bulanan, member tempat bagi sanggar-sanggar kesenian yang “ditampung” di TBP. Lomba-lomba baca puisi, festival teater, pentas tari, didukung oleh stakeholder yang lain seperti kehadiran tiga surat kabar masa itu seperti Haluan, Singgalang, dan Semangat. Apa yang menjadi “concern” dan bahasan hangat, disebarluaskan di media massa. Masyarakat luas menjadi paham apa makna yang hadir dengan pementasan, wacana pemikiran yang sedang berkembang, atau daya ungkit pemikiran strategis dari para seniman, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sanggar kesenian yang bernaung di TBP masa itu, hadir sebagai “sanggar” yang sesungguhnya. Dalam pengertian, sanggar bukan hanya komunitas melainkan secara fisik hadir di TBP. Sanggar bukan hanya tempat berlatih kesenian seperti teater, tari, musik, lukisan, melainkan juga “tempat” hidup para seniman dalam arti yang sesungguhnya. Sebagian mereka menjadikan sanggar sebagai rumah, meski penulis yakini tidak ada di dalam SOP (standard operating procedure) TBP melainkan kebijaksanaan Mursal Esten untuk menghidupi ekosistem kesenian dan tradisi intelektualitas di sana.
Beberapa dari pemimpin dan aktivis sanggar massa itu, hari-hari ini telah menjadi sosok yang “diperhitungkan” di dunia kesenian di daerahnya. Sebut saja beberapa di antaranya seperti koreografer Ery Mefri dengan Nan Jombang Dance Company, teaterawan M Ibrahim Ilyas bersama Sanggar Dayung-dayung, Boyke Sulaiman dan Junaidi Usman dengan Sanggar Bojo, pengarang Syarifuddin Arifin. Di lapis berikutnya, ketika itu mereka masih “bocah ingusan” telah hadir pula menjadi sosok yang menggeliat seperti Aidil Usman.
ADVERTISEMENT
Apa yang ingin penulis katakan, bahwa kerja kesenian itu adalah kerja intelektual, tempat mengasah gagasan, sarana mewujudkan cita rasa seni yang ada di dalam diri manusia. TBP adalah salah satu wadahnya. Sebab di luar itu, masih ada wadah lain yang hidup, yaitu sanggar-sanggar yang bermarkas di luar TBP. Kehadiran TBP telah menjadi oase bagi terciptanya iklim kesenian yang kondusif, dibiayai oleh negara melalui APBD, dan perangkat birokrasi yang menjalani administrasi negara sebagai pegawai negeri (kini ASN).
Dalam konteks serupa, penulis punya pengalaman cukup intens dengan pusat kesenian lain, yaitu TBM (Taman Budaya Medan). Pada masa tahun 1980-an juga, TBM menjadi oase kesenian dalam pengertian yang lebih luas. Para pekerja seni kreatif seperti teater, seni sastra, seni tari, seni rupa, menjadikan TBM sebagai “rumah kedua” mereka. Kerja-kerja seni dipentaskan di sini, karya sanggar atau kelompok kesenian di luar TBM juga bisa ditampilkan. Oase kesenian juga didukung oleh surat kabar besar masa itu seperti Waspada, Analisa, Mimbar Umum, Bukit Barisan, Sinar Indonesia Baru, majalah Dunia Wanita.
ADVERTISEMENT
Di luar TBM, ada komunitas Simpassri (Simpaian Seniman Seni Rupa Indonesia ) yang memiliki gedung megah sendiri , dan menjadi tempat pameran seni rupa. Pada tahun 1970-an, pernah menjadi kiblat pameran sejumlah pelukis ternama seperti Affandi, Amri Yahya, Popo Iskandar, Maria Tjui, Nurzulis Koto. Sedangkan sanggar lain yang eksistensinya terjaga seperti Teater Nasional (dirikan oleh Burhan Piliang, Sori Siregar, dan didukung Taguan Hardjo tahun 1963), Teater Propesi yang diasuh As. Atmadi, Teater Kartupat (Raswin Hasibuan), Teater Nuansa (S Dalimunthe), Teater Imago ( D Rifai Harahap), Lembaga Studi Tari Patria (Jose Rizal Firdaus), dalam berkarya tidak mengandalkan bantuan pemerintah.
Dari generasi ini, lahir pegiat kesenian yang kini menjadi motor di Sumatera Utara seperti Sugeng Satya Dharma, Choking Susilo Sakeh, Yan Amarni Lubis, Baharudin Saputra, Idris Pasaribu, Porman Wilson, Yondik Tanto, Syahrial Felani, Retno Ayumi, Amir Aryad Nasution. Sekedar menyebut beberapa nama sebab masih banyak nama yang lain.
ADVERTISEMENT
Di antara mereka berkecimpung di luar bidang kesenian. Melahirkan intelektual dan akademisi yang telah mewarnai dunia kampus seperti Dr. Phil. Ichwan Azhari (Universitas Negeri Jakarta) yang kental dengan minat di bidang kebudayaan khususnya arkeologi, bahasa, dan sejarah peradaban, Dr. Iskandar Zukarnain MSi (dosen Fisip Universitas Sumatera Utara), Rizaldi Siagian MA (pendiri jurusan Etnomusikologi FIB USU), Irwansyah Harahap MA (Etnomusikologi FIB USU), Drs. Mihar Harahap MM (dosen FKIP UISU), Dr. Wan Hidayati (birokrat), Dr. T Suhaimy atau TSI Taura (jaksa dan kini advokat ), Dr.dr Iwan Fauzi (politisi PDI Perjuangan dan dosen perguruan tinggi), dan masih banyak lagi. Sedangkan diaspora yang bergiat di bidang kesenian, jurnalistik, dan entrepreneurship ada nama-nama seperti Asro Kamal Rokan, Arie F Batubara, Bersihar Lubis, Foeza ME Hutabarat, Fadmin Prihatin Malau, Izharry Agusjaya Monzier, Teddy Mihelde Yamin, Rizal Siregar. Tak semuanya memilik kesenian sebagai ladang pengabdian kendati sejak belia, mereka menekuni kesenian.
ADVERTISEMENT
Artinya apa? Ekosistem kesenian, termasuk hadirnya taman budaya, telah mewarnai intelektualitas mereka. Mewarnai cakrawala berpikir sebagai akademisi maupun seniman yang berpegang kepada nilai-nilai kesenian sebagai pemersatu masyarakat.
Maecenas
Di luar TBP, sebenarnya Pemerintah Sumatera Utara telah membangun pusat kesenian Tapian Daya (Taman Impian Kebudayaan), komplek megah di pinggiran kota Medan pada tahun 1978. Komplek ini awalnya dicanangkan untuk laboratoium kesenian, ruang pentas teater, seni tari, studio film mini, dan wisma seni. Namun dalam perjalanan, kepentingan kesenian justru berbenturan dengan kepentingan pemerintah dengan menjadikan Tapian Daya sebagai tempat penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Maka hancurlah Tapian Daya sampai kini. Berbeda jauh dengan apa yang dicita-citakan oleh penggagas awal seperti Burhan Piliang, Zakaria M Passe, Zaidan BS, Rusli A Malem di mana keempatnya adalah seniman cum wartawan.
ADVERTISEMENT
Di luar konteks sarana dan prasarana kesenian, pada pertengahan tahun 1980-an, muncul seorang impresario muda yang brilian, yaitu Ali Djauhari dengan lembaganya AJP. Ali dengan modal swadaya dari koceknya, menghadirkan pentas kesenian bermutu di tempat bergengsi seperti Tiara Convention Center. Bahkan Ali Djauhari mendatangkan Teater Koma, pembacaan puisi WS Rendra, dramatic reading oleh Arifin C Noer, pentas keliling Iwan Fals. Setelah Ali Djauhari hijrah ke Jakarta, ia juga aktif memberi dukungan pentas musik Sawung Djabo di TIM, Fikar W Eda dengan campaign KASUHA (Kesenian untuk Ham), bahkan pernah “menjadikan” rumah Abdurahman Wahid (Gus Dur) di Jagakarsa, Jakarta Selatan, untuk pentas KASUHA. Sayangnya, Ali wafat dalam heart attack saat perjalanan bisnisnya di London, UK, dua tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Dapat penulis katakan di sini, panggilan kesenian dan intelektualitas telah mendorong Ali Djauhari untuk berkorban materi dan soul-nya. Ali juga dekat dan punya perhatian dengan kalangan seni seperti Leon Agusta, Wisran Hadi, Lian Sahar, AD Pirous, Sutardjie Colzoum Bachri. Bahkan dengan aktivis seperti Dr. Adnan Buyung Nasution, dr. Hariman Siregar, Dr. Maiyasyak Johan, MH, dr. Gurmilang Kartasasmita, Beathor Suryadi.
Apa artinya? Sebuah komplek kesenian seperti Tapian Daya dapat saja “lumpuh”, jauh berbeda dari apa yang dicanangkan. Situasi sosial, politik, dan ekonomi, meruntuhkan kehadirannya. Hal ini juga dapat menjadi peringatan bagi semua pihak yang berkepentingan dengan komplek kesenian bagi ekosistem dunia kesenian.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan hadirnya maecenas seperti Ali Djauhari, telah membantu iklim berkesenian dan memberi nafas baru bagi aktivitas intelektual. Penulis yakin, masih ada maecenas lain yang selama ini juga punya perhatian, dan memberi kontribusi bagi hadirnya karya-karya bermutu. Artinya, kontribusi pribadi juga perlu ditumbuhkan, tak harus selalu bergantung kepada lembaga pemerintah. Apalagi bila pemerintahnya kurang perduli kepada terciptanya iklim berkesenian dan tradisi intelektual.
TIM Mau Dibawa ke Mana?
Kembali ke pokok masalah. Mau dibawa ke mana TIM ini? Siapa yang ideal membawanya? Apa saja karya yang pantas untuk ditampilkan di TIM? Kenapa pendirian hotel berbintang di TIM mendapat tentangan? Siapa tokoh di balik protes tersebut? Agaknya, masih ada sederet pertanyaan lain.
ADVERTISEMENT
Tapi, penulis ingin membatasi diri. Mau dibawa ke mana TIM ini?
Selama ini, TIM telah menjadi barometer aktivitas kesenian di Jakarta dan Tanah Air kita. Bagaimana pun Jakarta adalah barometer dan sentral dari semua aktivitas kesenian di Tanah Air. Nama-nama besar selama tiga dekade awal pendirian TIM seperti Abdurahman Wahid atau Gus Dur (intelektual & mantan Presiden RI), Mochtar Lubis (jurnalis dan sastrawan), Taufiq Ismail (sastrawan dan), Ajip Rosidi (Sastrawan), Sutardji Calzoum Bachri, N Riantiarno (teaterawan), Putu Wijaya (teaterawan & sastrawan), Ikranagara (aktor & teaterawan), Dr. Abdul Hadi WM ( lecturer & sastrawan), Goenawan Mohamad ( sastrawan dan penerbit), Toety Heraty (akademisi dan sastrawan), Leon Agusta (sastrawan), Teguh Karya (teaterawan, Arifin C Noer (teaterawan & penulis naskah drama), Hamsad Rangkuti (sastrawan), Sori Siregar (jurnalis & sastrawan), Dedy Mizwar (aktor dan politisi), Roedjito (penata artistik), Hardi Danuwijoyo (pelukis), Seno Gumira Adjidarma atau Mira Sato (sastrawan & akademisi), dan masih banyak lagi lainnya, tak dapat dilepaskan dari kehadiran TIM. Beberapa dekade lalu, mereka adalah pelaku kesenian yang namanya menonjol, dan ikut menikmati prasarana yang ada di TIM sebagai tempat berkarya.
ADVERTISEMENT
Kehadiran dan ketokohan mereka telah menginspirasi anak-anak negeri di pelosok Tanah Air dengan karya-karya monumentalnya. Kenyataannya, sejarah kebudayaan negeri kita telah memilih mereka sebagai juru bicara melalui karya-karya yang diakui, khususnya sebagai maestro di bidangnya. Jejak monumental karya mereka masih terasa, dan dinimati khalayak. Tapi yang jelas, mereka bukanlah intelektual yang “mengemis” untuk minta kehadirannya dicatat dan minta dilibatkan di dalam arena keadiran TIM selama ini.
Dari generasi Forum Penyair Jakarta (1982) maupun Forum Puisi Indonesia ’87 yang diadakan DKJ di TIM, lahir dan hadir perajin yang secara konsisten berkarya di bidang kesusasteraan seperti Afrizal Malna, Eka Budianta, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Ahmadun Y Herfanda, Arief Djoko Wicaksono, Dorothea Rosa Herliani, Handry TM, Isbedy Stiawan ZS, Choking Susilo Sakeh, Nirwan Dewanto, dan lainnya. Bahkan dari mereka ada yang menekuni bidang akademisi seperti Prof. Dr. Andrik Purwasito (dosen UNS), Dr. Wahyu Wibowo (Universitas Nasional) yang pernah bergaung dengan Kritik Sastra Sawo Manila. Artinya, kehadiran TIM ikut mewarnai proses berkesenian dan intelektualitas mereka sebagai pencipta.
ADVERTISEMENT
Dalam imajinasi penulis, generasi milenial akan memulai perannya di TIM, baik melalui kesenian, stakeholder TIM seperti PKJ atau Yayasan Kesenian, DKJ, atau regerenasi AJ secara terukur. Tantangan zaman tentu berbeda, kebutuhan akan serapan karya-karya kesenian, bukan mustahil juga mengikuti tren terbaru. Namun prinsip dasar humanity dan universalitas karya tetap dalam pengaruhnya. Aspek kurotarial juga menjadi barometer yang menentukan standarisasi karya yang akan ditampilkan.
Berbicara tentang kesenian yang tampil di TIM, tentunya selama ini melalui proses kuratorial yang memadai. Koridor SOP, kualitas, nilai, etika, dan sebagainya, tentulah jadi pertimbangan tersendiri. Bagaimana untuk dapat menyerap pasar penonton yang lebih luas, melalui proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis seperti FGD (focus group discussion), telah dilakukan. Tak kalah mendesak melalui metode perencanaan SWOT ( strengths, weaknesses, opportunities, threats). Bagaimana menggunakan tools promosi dan marketing untuk meningkatkan kelayakan akan serapan pasar, butuh skill khusus, kemampuan manajerial maupun entrepreneurship. Bagaimana melobi pusat-pusat kekuasaan, sumber daya budgeting melalui APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), pendekatan ke pihak sponsor, impresario, maecenas, atau konglomerat yang punya dedikasi terhadap kesenian, bukan pekerjaaan gampang. Atau melakukan analisis SWOT untuk mendapatkan market penonton yang lebih luas seperti penonton dari kalangan wisatawan maupun peminat kesenian dari mancanegara.
ADVERTISEMENT
Artinya, pusat kesenian juga dapat dikelola dengan keandalan aspek manajerial dan marketing. Sebab subsidi tak selamanya dapat diandalkan sebagai satu-satunya sumber pemasukan. “Memanjakan diri” dengan subsidi, tentu saja bukan satu-satunya pilihan. Apalagi banyak seniman di sudut-sudut Jakarta maupun di daerah, berkarya dengan mengandalkan semangat juang dan egaliter, jauh dari “kemanjaan” pemerintah yang mungkin saja juga kurang peduli dengan kehadiran mereka.
Tentu saja, semua gagasan ideal tersebut butuh Capex (capital expenditure) maupun Opex (operational expenses) untuk mewujudkan ekuilibirium baru antara investasi dan pendapatan. Mungkin, tidak sepenuhnya dapat diterapkan pola-pola bisnis di dalam mengelola anggaran TIM, sebab ada tugas negara untuk pemajuan kesenian dan pemberdayaan seniman di dalamnya. Tapi juga harus diingat, negara kita ini juga berada dalam jebakan bahaya defisit, karena dikelola dengan semangat partisan, cenderung amatiran, dan mementingankan kelompoknya.
ADVERTISEMENT
Kemandirian Ekonomi
Sejarah panjang TIM dalam kejayaan, kemerosotan, ataupun pusaran konflik masa lalu, tak dapat dilepaskan dalam konteks kepentingan stakeholder-nya. Perebutan pengaruh atas sumber daya yang ada, wajar saja apabila memang berada dalam kerangka bagi pemajuan kesenian. Bukan ambisi person to person yang lebih mengedepankan ego pribadi maupun kelompoknya.
Di tengah pusaran tarik-menarik para maestro yang memiliki pengaruh bagi kelompoknya, kepentingan pusat kekuasaan, atau mungkin partai politik tertentu, seharusnya TIM sebagai wadah berkarya, dan anggota DKJ maupun AJ sebagai aktor intelektual, dapat menjaga jarak dan keseimbangan yang sepantasnya dengan pusat kekuasaan. Sebab seperti halnya cendekiawan yang “berumah” di atas angin, para seniman juga “berumah” di antara imajinasi dan realitas; antara gagasan, karya, dan pasar yang menghargai karyanya secara ekonomis.
ADVERTISEMENT
Lantas, di mana pula tempat bagi Pemda DKI dan Gubernurnya? Sebaiknya seniman juga tidak boleh sentimental, dan set back ke masa lalu. Apalagi bila tanpa melihat tantangan ke depan, perkembangan zaman, kebutuhan aktual masyarakat kekinian.
Apalagi bila mengabaikan situasi ekonomi, sosiologis, dan politik masa sekarang. Sebab semuanya saling terkait, dan punya pengaruh. Selayaknya dipertimbangkan benar bila Pemerintah DKI juga punya gagasan akan kemandirian dengan mengurangi subsidi anggaran. Bukan aib pula bila pusat kesenian dapat menghidupi dirinya sendiri, bahkan memberi kontribusi bagi PAD (Pendapatan Asli Daerah). Tapi, apakah dalam konteks TIM dapat dilakukian dengan mudah? Jakpro yang mendapat penugasan, mungkin sudah punya jawaban atas analisisnya. Sayangnya, Jakro tak terdengar suaranya untuk memberi pengertian, dan landasan berpikir atas tugas-tugasnya merivitalisasi TIM. Akhirnya justru Gubernur Anies Baswedan yang jadi “sasaran tembak”.
ADVERTISEMENT
Padahal di lain sisi, apa pula alasan mendasar bila sekelompok orang merasa “sewot” bila di TIM akan berdiri hotel berbintang lima yang juga bisa berfungsi sebagai wisma seni, tempat menginap seniman? Wajar bila ada yang melihat kehadiran hotel sebagai prasarana pendukung TIM, meski hal ini dibatalkan setelah mendapat protes. Penulis tak serta merta melihatnya hitam dan putih. Toh di sekitar TIM juga terdapat beberapa hotel berbintang dan apartment yang selama ini menikmati captive market dari aktivitas maupun selebrasi kegiatan di TIM. Dalam pikiran yang mungkin “naïf”, wajar pula bila ada pihak-pihak yang curiga bahwa “kesewotan” atas kehadiran hotel tersebut sebagai “titipan” pihak tertentu. Bukan mustahil bila Pemda DKI melalui Jakpro, punya market intelejen dalam soal potensi dan persaingan dunia usaha hotel di sekitar TIM. Seharusnya, Jakpro ikut bersuara.
ADVERTISEMENT
Dari pengalaman perjalanan penulis di beberapa kota dunia di Asia, Eropa,dan Timur Tengah, kehadiran Arts Centrer atau pusat kesenian merupakan pusat fungsional dengan kewenangan khusus guna mendorong praktik seni. Pusat kesenian menyediakan fasilitas seperti ruang teater, ruang galeri, tempat pertunjukan musik, area lokakarya, fasilitas pendidikan, dan lainnya. Pusat kesenian menjadi sesuatu yang lebih lengkap dengan fasiilitas hotel berbintang, sebab tak dapat dilepaskan dari kegiatan intelektual maupun turisme yang membutuhkan efisiensi dalam banyak hal seperti mobilitas tamunya.
Boleh saja ada keinginan untuk mengembalikan fungsi TIM sebagai laboratorium maupun etalase pertunjukan, tapi jangan juga melupakan bahwa selama ini di TIM sudah ada Planetarium, Perpustakaan Daerah, PDS (Pusat Dokumentasi Sastra) HB. Jassin, IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Sudah sepantasnya juga pihak stakeholder seperti DKJ dan AJ juga menyuarakan pendapatnya mengenai kisruh dan protes yang masih berlanjut, meski biaya pembangunan hotel sudah dipangkas oleh DPRD DKI.
ADVERTISEMENT
Di luar ekosistem kesenian itu sendiri, satu hal yang juga patut dicermati yaitu pernyataan Kepala BPS (Badan Pusat Statistik) Suhariyanto akan gambaran ekonomi 2020 bakal buram. Bukan hanya bagi Indonesia tapi juga dunia. Merosotnya harga komunitas seperti sawit di mana harga CPO (crude palm oil) cenderung merosot, dan komoditi batu bara yang sudah anjlok sampai 45 persen dari harga lazimnya, sebagai sinyal buruk. Akan terjadi perlambatan ekonomi masyarakat dan negara. Tentu saja akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 yang dicanangkan tumbuh 5,3 persen.
Dalam bahasa yang lebih lugas, Menkeu Sri Mulyani menyadari per Oktober 2019 saja, keuangan APBN defisit Rp 289 triliyun (1,8 persen dari GDP). Angka itu lebih dalam dari yang dicatat periode yang sama tahun 2018 sebesar Rp 237 triliyun atau 1,6 persen dari GDP (Gross Domestic Product). Sedangkan per November 2019, dari target APBN terdapat kekurangannya sebesar Rp 368,9 triliyun atau 2,29 persen dari GDP. Data kekurangan per Desember 2019 masih ditunggu.
ADVERTISEMENT
Begitu pula Rancangan APBD DKI tahun 2020, turun dari Rp 95,99 triliun menjadi Rp 89,55. Turunnya cukup signifikan yaitu 6,44 triliyun. Apa artinya? Ada alert warning, di mana unit-unit usaha pemerintah juga harus efisien, mampu membiayai unit atau menghidupi kebutuhan operasionalnya.
Artinyanya apa? Keuangan negara dalam dalam kontraksi yang berbahaya, sebab selama 10 tahun terakhir defisit APBN terus membengkak. Bukan tidak mustahil, langkah efisiensi akan terus digalakkan ke depannya.
Terlepas pihak lain tidak setuju, Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta akan berpikir hal serupa. Tentu saja mereka yang paling bertanggung jawab terhadap UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang ada di bawahnya. Seniman boleh saja protes, tapi seniman secara administratif tak bisa dimintai pertanggung jawaban oleh mitra gubernur seperti DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) DKI, atau oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Sebagai pemimpin Jakarta, Gubernur Anies Baswedan yang menjadi leader bagi semua golongan, sepantasnya berani tampil menjawab tantangan dengan segala argumentasi dan konsekwensinya. Tak cukup hanya berbalas pantun di media massa.
ADVERTISEMENT
Konteks Zaman
Lalu, terlepas dari semua pemikiran di atas, penulis selalu teringat apa yang sering didengung-dengungkan oleh dramawan WS Rendra dalam berbagai kesempatan dahulu. Rendra mengatakan, seniman itu sepantasnya belajar dan mengerti masalah sosial, ekonomi, dan politik. Artinya, sebagai seniman, mereka tidak bisa berdiri sendiri. Sebab ia terkait dengan kondisi lingkungannya, atau situasi di luar dirinya sendiri. Berkaitan erat dengan konteks zamannya. Membuka diri atau open mind, mungkin salah satu penyikapan yang perlu didorong ke depan.
Di sisi lain yang sulit dilupakan publik, bahwa TIM juga pernah mengalami masa suramnya dengan dugaan “raibnya” karya-karya lukis para maestro saat dipimpin oleh seorang Ketua DKJ yang juga aktivis politik. Pasti hal itu membekas dalam ingatan. Pantas bila kejadian seperti itu juga menjadi catatan bagi Pemda DKI. Selain itu, di masa lalu di awal reformasi, masalah protes seniman terhadap pembenahan yang dilakukan oleh Direktur Eksekutif TIM Jilal Mardhani, teknokrat lulusan ITB dan lama bekerja di RCTI, pernah juga terjadi. Jadi, protes itu hal yang biasa saja terjadi, asal mengerti bagaimana tindakan mencari solusi dari permasalahan atau konflik yang ada. Begitu pula dengan protes sebagian orang yang hari-hari ini belum juga reda.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang layak mendapat apresiasi, bahwa kesenian dapat menjadi soft power diplomacy. Memanfaatkan kesenian bagi kepentingan intelektual di kancah yang lebih luas. Pendekatan ini tidak mengenal menang atau kalah. Sudah saatnya pula upaya diplomasi juga ditempuh antara seniman yang kontra dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan TIM, termasuk Jakpro sebagai pihak yang ditugaskan Pemda DKI untuk melakukan revitalisasi. Penulis yakin, semua pihak masih membutuhkan pusat kesenian, termasuk TIM. Sebagai laboratorium dan etalase kesenian, pusat kesenian menjadi habitat bagi lahirnya pekerja seni dan intelektual bagi masa depan bangsa. Tapi pelajaran pahit dari terbunuhnya Tapian Daya di Medan, patut pula diambil hikmahnya.
ADVERTISEMENT
Sebab bila konflik terus bermetamorfosa, semua pihak termasuk seniman, akan dirugikan. Apalagi kini protes telah bergeser dari kehadiran hotel bintang lima kepada kehadiran Jakpro yang mendapat tugas untuk melakukan revitalisasi. Tak sulit untuk memotret gerakan protes yang kian masif ini.
Apalagi sebelumnya ada pihak yang “berkonco” dengan Jakpro, namun kini malah “mbalelo”, dan hadir dengan cara “memukul” balik pihak-pihak yang dahulu didukung. Sejak awal, mungkin Gubernur Anies Baswedan telah keliru memilih kawannya “berkonco”, dan belakangan ini baru menyadarinya.
ADVERTISEMENT
(R. Mulia Nasution, jurnalis yang kini bergiat di Cikini Studi (www.cikinistudi.co.id), menulis novel Rahasia Tondi Ayahku (Satria 2012, 321 hal)