Konten dari Pengguna

Tradisi Lisan Ratu Nyai Undang

MULIATI
Mahasiswi program studi sejarah peradaban islam, fakultas ushuluddin adab dan dakwah, IAIN PALANGKA RAYA
5 Juni 2024 10:25 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MULIATI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber foto google maps: lokasi legenda nyai undang
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto google maps: lokasi legenda nyai undang
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kalimantan Tengah, salah satu provinsi yang ada di indonesia yang terdapat banyak cerita rakyat diwariskan secara lisan dan beragam dalam berbagai bahasa daerah. Cerita-cerita ini memiliki tema dan kemiripan dengan cerita rakyat dari daerah lain, contohnya cerita Bukit Tangkiling yang memiliki kesamaan tema dengan cerita Sangkuriang dari Jawa Barat. Namun, cerita rakyat Kalimantan Tengah rentan mengalami kepunahan di karenakan minimnya bukti tertulis dan kebanyakan cerita masih menggunakan tradisis lisan yang bermodalkan ingatan dari masyarakat setempat. Untuk menyelamatkan cerita-cerita tersebut, telah dilakukan upaya seperti merekam, menerjemahkan, dan mencetak cerita rakyat tersebut. Upaya ini didasarkan pada asumsi bahwa sastra daerah memiliki kekayaan spiritual yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sastra daerah dianggap sebagai kekayaan budaya daerah yang penting untuk mempertahankan keanekaragaman budaya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Legenda nyai undnag sendiri merupakan warisan budaya berupa cerita dari kalimantan tengah. Yang menceritakan seorang ratu nan cantik ruparawan bernama nyai undang dari pulau kupang, yangkelak wilayah tersebut di kenal dengan kuta bataguh dan menjadi sebuah kecamatan di kabupaten kapuas. Nyai undang di gambarkan sebagai sosok pemimpin wanita yang adil dan bijaksana.
Selanjutnya Kabar kecantikan dan juga kebijaksanaan ratu terdengar sampai ke polosok negeri, termasuk oleh prabu sawang dan prabu nyaliwan, keduanya di kenal sebagai sosok yang angkuh dan sama-sama ingin memiliki ratu nyai undang. akan tetapi mereka yang terkenal sombong tersebut di tolak oleh ratu nyai undang. Yang berujung kepada kematian, rakyat dari kedua raja tersebut menaruh dendam dan berniat membalalaskan demdam raja mereka dengan menyerang kerajaan nyai undang akhirnya perang dimenangkan oleh kerajaan nyai undang dan nyai undnag pun menikah dengan pangeran sangalang.
sumber foto: dokumentasi asli situs peninggalan nyai undang
Legenda Nyai Undang di Kuta Bataguh Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah dapat dibuktikan dengan tradisi lisan dan cerita. Lokasi kejadian Tanjung Pematang Sawang Pulau Kupang dan Handel Alai Kecamatan Bataguh, terdapat situs, kayu ulin (sisa bangunan), peralatan rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Pada suatu hari, tiga perahu singgah di negeri Pamatang Sawang, yang dihuni oleh suku Dayak. Pemimpin rombongan itu adalah Nawang, adik dari Raja Soso (Sulu) di Filipina Selatan. Ia ditemani oleh dua pengawalnya, Daeng Dong dan Harioh Boloang.
Sesuai dengan adat suku Dayak, penduduk setempat menyambut tamu mereka dengan ramah. Mereka mengadakan pesta penyambutan dengan minum tuak dan tarian adat yang disebut manasai, untuk menghormati para tamu.
Pada pesta tersebut, Nawang terpesona dengan kecantikan Nyai Undang, lalu menyampaikan maksudnya untuk melamarnya. Namun, Nyai Undang dengan sopan menolak lamaran tersebut. Nawang tetap memaksa, bahkan ketika Nyai Undang berbalik dan masuk ke dalam ruangan, Nawang yang sudah tidak terkendali berusaha meraih tangannya.
ADVERTISEMENT
Setelah Nawang memaksa dan berusaha meraih tangan Nyai Undang, Nyai Undang merasa malu atas perbuatan Nawang. Dengan cepat, Nyai Undang menghunus senjata pusaka bernama Duhung Raka Hulang dan menusukkannya ke tubuh Nawang yang sama sekali tidak mengira akan serangan mendadak tersebut. Nawang pun tewas bersimbah darah.
Melihat Nawang terbunuh, pengawal setianya, Daeng Dong dan Dayoh Boloang, menjadi marah. Mereka diikuti oleh seluruh pasukan yang turun dari kapal, dan mengamuk serta menuntut balas. Namun, Nyai Undang yang sudah dalam keadaan "sawuh" (gelap mata), dibantu oleh warga Pamatang Sawang, nyaris membantai seluruh pasukan musuh. Sisa pasukan musuh yang menyerah kemudian diampuni dan dijadikan "jipen" (budak).
Setelah kejadian ini, dikatakan pula bahwa ada seorang Raja Utara bernama Raja Nyaliwen yang juga mengalami nasib yang sama dengan Nawang. Ia terbunuh, dan sisa pasukannya menyerah lalu dijadikan jipen. Hal ini menjadi awal dikenalnya perbudakan atau jipen dalam budaya masyarakat Dayak Ot Danum dan Dayak Ngaju.
ADVERTISEMENT
Kabar kematian Nawang sampai ke seberang lautan, dan kakaknya, Raja Sawang, berniat untuk membalas dendam. Mendengar rencana balas dendam itu, membuat Nyai Nunyang khawatir dan akhirnya jatuh sakit hingga meninggal dunia. Setelah kematian ibu Nyai Undang, ia menggantikan ibunya sebagai pemimpin di Tanjung Pamatang Sawang. Menyadari ancaman yang mengintai keselamatan dirinya dan penduduk Pamatang Sawang, Nyai Undang mengirimkan "Totok Bakaka" (semacam sandi berbentuk tombak) sebagai tanda meminta bantuan kepada saudara-saudaranya di Tumbang Pajangei.
Setelah menerima Totok Bakaka, Rambang dan Ringkai segera pergi ke Tanjung Pamatang Sawang untuk membahas pembangunan benteng pertahanan. Diputuskan bahwa Rendan, adik Mandang dari Mantangai, ditugaskan memimpin pencarian kayu ulin untuk membangun benteng tersebut. Benteng yang dibangun kemudian disebut Kuta Bataguh.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Bungai dan Tambun bertugas merekrut pasukan dari kampung-kampung di sepanjang Sungai Kahayan untuk mempertahankan Pamatang Sawang. Tercatat ada 25 panglima yang memimpin pasukan tersebut, dengan jumlah total mencapai sekitar 5.000 orang.
Setelah semua pasukan berkumpul di Kuta Bataguh, Rambang dan Ringkai melakukan ritual "manajah antang" (meminta petunjuk pada burung elang) untuk menentukan langkah selanjutnya. Burung elang yang datang, Antang Kabukung Kawus, meramalkan bahwa mereka akan menang.
Beberapa hari kemudian, 25 pencalang (perahu besar) yang dipimpin langsung oleh Raja Sawang mendekati Kuta Bataguh. Salah satu pencalang mengibarkan bendera kuning bergambar jangkar merah dikelilingi tiga bintang, menandakan bahwa kapal itu dinaiki oleh Raja Sawang.
Panglima Latang, wakil Raja Sawang, kemudian mendarat dan menyampaikan bahwa mereka datang untuk menghukum penduduk Kuta Bataguh dan memerintahkan mereka untuk menyerah tanpa syarat. Rambang mencoba mengajak untuk berunding secara damai, tetapi tawaran itu ditolak dan Panglima Latang kembali ke pencalangannya.
ADVERTISEMENT
Serentak, pencalang-pencalang yang mengitari Kuta Bataguh mulai mendekati tepi. Ribuan pasukan Raja Sawang yang bersenjatakan tombak, pedang, dan perisai tembaga menaiki dinding benteng. Namun, mereka disambut dengan tebasan mandau (parang panjang) yang bagaikan menebas ilalang, serta anak sumpitan beracun yang menyebabkan banyak pihak musuh tewas.
Di bawah, ratusan orang mencoba menghancurkan pintu benteng yang terbuat dari kayu ulin (kayu besi) berdinding dua jengkal tebal, tetapi tidak berhasil. Pasukan Kuta Bataguh lalu menghujani musuh dengan anak sumpit beracun, yang membuat banyak musuh tewas. Meskipun sudah ribuan nyawa melayang, serangan terus berlanjut tanpa henti.
Ketika hari menjelang senja, musuh akhirnya mundur dan kembali ke pencalangnya. Saat itu, Tambun dan Bungai keluar dari pintu benteng untuk menyerang pasukan musuh yang sedang mundur. Melihat semangat Tambun dan Bungai, pasukan Kuta Bataguh pun bergegas keluar dan berhasil membabat habis musuh yang terjepit di pinggir sungai. Pasukan Raja Sawang hancur lebur, dan beberapa pencalang yang ditumpangi para panglima beserta pasukannya dirusak bahkan diseret ke darat.
ADVERTISEMENT
Nyai Undang, yang tergerak oleh kematian ibunya di tangan Raja Sawang, bertempur melawan Raja Sawang didampingi calon suaminya Sangalang. Nyai Undang berhasil membunuh Raja Sawang dan menghancurkan seluruh pasukan musuh. Suku-suku Dayak di Kalimantan kemudian berkumpul untuk melakukan upacara pembersihan dan peneguhan hati pasca perang. Dalam kesempatan itu, dilangsungkan juga pernikahan antara Nyai Undang dan Sangalang, serta empat pasangan lainnya, yang berlangsung selama 40 hari 40 malam. Selain itu, Mangku Djangkan juga mengadakan pesta pernikahan Njaringana kingoi dan Manjanganak Mangku Djangkan selama 7 hari 7 malam di Pulau Kantan.
ADVERTISEMENT